"Aku bukan bermaksud menuduh, hanya saja mengklarifikasi supaya aku nggak bertanya-tanya terus." "Ya nggak apa-apa, tanya saja. Sebisanya nanti aku jawab," sahut Bobby. "Mas kenal sama Pak Tito nggak?" Seketika tubuh Bobby memberi kode aneh, dia reflek mengerutkan kening. Banyak arti memang dengan sikap refleknya itu. "Pak Tito yang mana ya?" Ditanya malah Bobby melempar perrtanyaan balik. "Gini, aku banyak kenalan dengan namanya Tito soalnya," tambahnya kemudian. "Pak Tito yang bekerja sebagai Manager di perusahaan pemasaran. Kenalkan?" "Enggak, aku nggak kenal sama orang yang kamu maksud. Emangnya kenapa ya, Vio?" Bobby mengelak, entah benaran tidak tahu atau memang hanya punya kesamaan namanya saja saa Pak Tito menyebut nama Bobby tadi pagi. "Yakin nggak kenal, Mas?" Viola tampak ragu dengan jawaban Bobby. Namun, yang terjadi beberapa detik kemudian saat Viola mempertanyakan lagi, Bobby mengangguk ragu, "Iya, aku nggak kenal." "Okelah, kalau memang mas tidak kenal, mungkin
"Ya, Mas. Halo."Viola mengangkat telepon dari Bobby yang kebetulan menghubunginya di jam makan siang."Gimana? Kamu masih digangguin sama perempuan itu?""Hmm, aman, Mas.""Yakin aman?""Aman, Mas. Kenapa nelpon, Mas?""Nggak cuma mastiin aja, kalau misal dia ganggu kamu lagi, biar ditindak sama Pak Tito."Ada rasa agak lain di hati Viola."Nggak perlu, Mas. Nanti malah kesannya mematikan rezeki orang lain.""Okelah, tapi kalau ada yang isengin kamu lagi, kasih tahu ya.""Siap."Komunikasi antara Viola dan Bobby tak begitu intens tak selayaknya orang yang sedang pendekatan."Mas, kamu yang kirim kopi ke kantor?"Pukul tiga sore saat Viola sedang fokus belajar, tiba-tiba ada gofood untuk dirinya."Gimana? Udah dicobain, enak nggak?""Belum sih, ini baru aja diambil. Nggak usah repot-repot, Mas. Nggak enak soalnya.""Nggak repot kok, pas juga aku lagi mesan, ingat kamu, sekalian aja dipesanin juga. Lagian cocok nemenin kamu yang lagi belajar." Senyuman Viola terukir tipis. "Terima kas
"Hai, salam kenal. Aku kagum dengan kamu. Apalagi namamu begitu harum di kantor akhir-akhir ini. Semoga nanti kita bisa duduk bareng-JK"Begitulah deretan kata yang terangkai dalam kartu nama bercorak biru langit. Dihiasi dengan tinta emas. Viola melipat kembali kartu nama itu, kemudian menaruh ke posisi semula. Bunga mawar putih itu bukan palsu, melainkan bunga mawar asli yang terdiri dari sepuluh tangkai."Siapa pengirim ini? Siapa inisial JK ini?" tanyanya membatin. "Ah sudahlah, paling juga orang iseng.""Keren kamu, Vio. Baru beberapa Minggu di sini udah dapat kiriman bunga," celetuk Rani, teman satu jabatan."Iya yang udah setahun di sini nggak pernah ya. Pakai pelet apa sih, Vio!" seru Naya lantang.Ruangan tiga kali tiga meter itu hanya diisi oleh tiga orang. Bagian atasan beda lagi ruangannya.Viola tak menjawab, dirinya hanya melempar senyum pada kedua rekan kerjanya."Kemarin dapat gofood kopi, sekarang bunga. Besok apalagi ya?" Naya menebak-nebak."Kalau orangnya beda-beda
"Saya akan proses masalah ini serta memberi tahu atasan kamu, biar kamu nggak seenaknya bersikap.""Tapi, Pak. Yang ada saya akan dikasih surat peringatan."Ya, memang itu yang saya inginkan. Biar kamu bisa lebih dewasa, nggak bertingkah seperti anak kecil yang tidak punya pertimbangan.""Pak, saya mohon, jangan lakukan itu. Saya tidak akan mengulanginya lagi, tapi ....""Tidak ada protes, itu resiko kamu. Supaya tidak ada korban lain yang diperlakukan seperti Viola.""Sepertinya dia spesial disini ya, Pak. Saya kalau dengan orang yang statusnya masih probation.""Atau kamu ingin dikeluarkan dari perusahaan ini secara tidak hormat?" Suara Pak Tito mulai meninggi.Tak menjawab lagi, Mayang pun pergi setelah mendapat instruksi dari Pak Tito.Dirinya memilih untuk tidak berdebat lagi, daripada dipecat secara tidak hormat.Pukul setengah enam sore, saat bersiap untuk pulang ke rumah, tiba-tiba ponsel dalam genggamannya berdering. Dia mengangkat dan kembali duduk di kursi kerja."Ya, Mas."
Esok hari sesampainya di kantor, Viola menyisir pandangan dari basement menuju gedung. Biasanya sosok Mayang sangat tidak dia harapkan, tapi kali ini berbeda."Kemana dia? Tumben dia menunggu ku seperti biasanya." Dalam hati Viola terus bertanya-tanya."Apa perlu disusul ke ruang kerjanya saja?" pikirnya membatin kemudian.Viola masih menyisir pandangannya di lobby kantor berharap menemukan orang yang dia cari, akan tetapi masih saja tak ditemui sosok perempuan yang satu bulan belakangan ini sudah mengusik dirinya. Lantas, sekarang saat Mayang tak tampak lagi, kenapa Viola seperti mencari-cari keberadaan perempuan itu?Pikiran Viola sangat tidak tenang."Mbak Mayang, tunggu!"Saat menuju ruangan Mayang yang beda lantai dengannya, di koridor, ketika baru keluar dari lift Viola melihat sosok perempuan di depannya seperti Mayang."Mbak Mayang," panggil Viola sekali lagi, karena Mayang sama sekali tak menoleh apalagi menghentikan langkahnya. Melihat gelagat Mayang seolah acuh tak acuh, Vi
[Assalamu'alaikum][Selamat pagi, Pak][Maaf saya mengirim pesannya Subuh begini][Ini, Pak. Saya izin tidak masuk hari ini, ya. Soalnya kurang enak badan]Selepas sholat Subuh, Viola memberanikan diri mengirim pesan pada Pak Tito, yang mana jelas dirinya berbohong karena Viola tidak dalam keadaan sakit. 'Maaf, Pak. Saya harus berbohong, karena saya perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi Maura.'Viola tak ingin berlarut dengan ribuan pertanyaan yang muncul di benaknya soal Maura.[Oh iya, Pak. Tadi saya juga udah input di aplikasi.]Pesan terakhir yang dikirim Viola pada Pak Tito.Pukul delapan Viola meninggalkan rumahnya, menuju rumah yang ditempati Mayang. Bukan tanpa sebab dirinya memilih berbohong kali ini, dia hanya mengambil kesempatan waktu, saat Mayang pergi bekerja, Viola berharap bisa menemui Maura dan mencari tahu tentang semuanya. Ada terbesit rasa penyesalan dan bersalah di hatinya.Di pinggir jalan depan rumah Mayang, Viola memantau keadaan, tak terlihat lagi mobil Maya
"Maaf sebelumnya, tadi aku terpaksa lacak kamu melalui nomor hape. Soalnya aku khawatir, apalagi kamu sempat menolak dengan usulku."Kedua mata Viola membola sempurna, penuturan Bobby sangat membuat dirinya terkejut.'Segitunya kamu, Mas? Sampai melakukan hal yang tak terpikirkan olehku.'"Kok diam? Kamu marah?""Mau marah juga nggak ada gunanya, Mas. Udah terlanjur kamu ke sini, tapi sebaiknya kamu pulang, lanjut kerja lagi. Ini aku bukan ngusir, ya. Tapi pasti kamu paham."'Semoga dia nggak bantah, yang ada bisa tahu kalau aku sama sekali nggak sakit.'Bobby mengangguk paham, sebelum beranjak dari tempat duduknya, dia masih sempat-sempatnya menenggak kopi dingin itu hingga tetesan terakhir."Sayang nggak dihabisin," ucapnya sebelum permisi.Viola hanya tersenyum tipis, ada kelegaan yang dia rasakan. Tak berlama-lama di teras, Viola membereskan buah dan gelas bekas minum Bobby tadi, dan membawanya kembali ke dalam rumah. Tak langsung mencucinya, Viola sengaja membiarkan gelas kotor i
Mayang bergeming di ambang pintu ruang kerja."Tidak. Keputusan saya tidak bisa diganggu gugat sekalipun kamu memilih berhenti di perusahaan ini. Saya tahu, pasti hari-harimu kusut 'kan?"Mayang melipat tangan di dadanya, tampak dirinya mengejek Viola."Memang itu yang saya harapkan. Tapi ... kamu masih waras, masih punya harapan itu, dan masih bisa memperbaiki apa yang rusak, syukur-syukur kamu sadar atas dirimu yang sama sekali tidak punya hati nurani.""So ... jawaban saya pasti kamu sudah paham 'kan?"Meski hatinya terasa teriris dengan kata yang terucap dari mulut Mayang. Viola tetap tersenyum."Iya, Mbak. Nggak papa, kalau mbak masih pada pendirian awal. Saya doakan semoga Maura makin pulih, semoga ada rezeki besar untuknya. Dan, buat mbak juga. Saya ingin pamit."Viola mengulurkan tangannya, akan tetapi uluran tangannya itu tak disambut dengan baik oleh Mayang, dia malah bertolak ke meja kerjanya.Semua orang yang satu ruang kerja dengan Viola terdiam dan tak berani ikut campur