Bab 65. Maaf, Kita Hanya MantanMalam semakin larut diiringi suara binatang malam. Menambah suasana menjadi mencekam. Kuantarkan kembali Sakira ke rumah sakit. Mungkin Jodi sudah bangun. Sedang mencari ibunya.Tak ada percakapan sepanjang jalan. Hanya iringan musik syahdu mengantarkan kami hingga sampai di depan rumah sakit."Mas Danu, terima kasih telah mengantar dengan selamat sampai di sini," ucap Sakira datar. Pandangannya kosong menatap kegelapan malam."Iya, tak apa. Lain kali kalau kau butuh uang katakan saja. Mungkin aku bisa membantumu.""Aku malu harus merepotkanmu terus, Mas. Selama ini Mas Danu selalu membantuku.""Selagi aku bisa pasti akan membantumu, Sakira. Masalah finansial tidak usah kamu khawatirkan. Sekarang aku sudah punya segalanya. Bukan bermaksud untuk menyombongkan diri. Tapi aku pernah merasakan berada di posisimu. Pasti sulit karena tidak punya uang. Terlebih lagi ditinggalkan oleh orang yang sangat kita cintai," ucapku sarkas."Iya, Mas benar. Semua bisa di
Bab 66. Bukan Maksud MenolakKupandangi gadis berkulit putih itu, lalu membuangnya sembarangan arah. Sadar, kalau dia bukanlah muhrim. Walau Rani mendekatkan kami, namun aku yakin hatinya terluka. Memang bibirnya berkata tidak, tetapi dalam hati siapa tahu.Bukan aku tak berani memandang wajahnya berlama-lama. Akan tetapi, aku takut jatuh cinta. Aisyah gadis baik-baik juga dari keluarga terkenal. Pria mana yang mampu menolak pesonanya. Dia cantik, berpendidikan tinggi. Juga sopan dalam bertutur kata."Mas Danu, tolong temani Mbak Ais ngobrol, ya. Aku mau membuatkan minuman dulu di dapur," ucap Rani melangkah pergi.Siang itu, Aisyah datang ke rumah menjenguk Rani. Setelah pulang dari rumah sakit. Kebetulan jadwal dia sibuk bekerja mengajar di pondok. Jadi, Aisyah baru menjenguk, ketika Rani pulang dari rumah sakit."Tidak usah repot-repot, Dek Rani. Air putih saja," ujar Aisyah mengulas senyum."Ndak apa-apa, Mbak Ais. Silahkan dilanjutkan obrolannya. Aku mau ke belakang sebentar.""T
Bab 67. PDKTSiang itu, matahari terasa terik menyengat. Sudah satu Minggu hujan tak lagi turun seperti biasa. Di awal tahun musim panas kembali bersemi. Aku pulang lebih cepat, karena badan sedikit kurang enak. Banyak tugas kantor membuat kepala terasa penat.Sebelum pulang ke rumah aku sengaja mampir di sekolah Rafa. Sambil menjemputnya pulang juga. Sopir yang biasa mengantar Rafa sekolah ada urusan lain. Jadi, kuputuskan saja untuk singgah sekalian.Sampai di depan sekolah mobil segera diparkirkan di pinggir jalan. Kuraih ponsel dalam saku jas. Ingin melihat pesan apakah Rani memberi kabar. Sudah sejak kemarin dia tak pernah mengirimkan pesan. Mungkin masih marah karena aku menolak perjodohan dengan Aisyah.Pesan Whatsapp sepi. Bahkan, tak ada ucapan sekedar basa basi. Mungkin Rani merajuk karena aku tak menggubrisnya. Ah, biarlah pikirku. Nanti juga dia akan baik sendiri. Wanita semakin merajuk susah untuk didekati."Maaf, Tuan. Sedang menunggu siapa?" tanya satpam penjaga. Suara
Bab 68. Pilihan SulitSudah lebih tiga jam Rani mengurung diri di kamar. Bahkan, sejak dari kemarin dia tak mau keluar menemuiku. Setelah menyiapkan sarapan dia mengunci diri di kamar. Membiarkanku menyelesaikan sarapan sendirian.Selesai sarapan aku berdiri di depan pintu. Mondar mandir dari tadi. Mungkin sudah satu lebih dari satu jam. Mataku terus saja fokus menatap pintu kamar. Ingin mengetuk pintu, tetapi takut Rani masih ngambek. Kemarin aku ketahuan jalan bareng dengan Aisyah.Tok tok tok!Kuketuk pintu pelan. Mencoba berbicara dengan Rani. Mudah-mudahan saja dia mau keluar. Beruntung jika dia tak ngambek. Jika merajuk alamat aku yang susah."Dek, ayolah keluar! Abang mau bicara sama kamu."Hening. Tak ada jawaban dari Rani. Dia masih saja bersembunyi di dalam kamar. Aku sudah melewatkan waktu untuk bekerja di kantor. Padahal, ada rapat penting untuk membicarakan masalah bisnis. Bisa-bisa kakek menegurku kalau terus-terusan terlambat datang."Dek, Abang minta maaf kalau salah s
Bab 69. Permintaan GilaAku diam memandangi Rani. Kini, kami bertiga duduk di meja yang sama. Sengaja Rani mengajakku dan juga Aisyah pergi ke sebuah restoran. Sebelum pergi Aisyah menitipkan ayahnya pada Ayuni. Pamit sebentar untuk berbicara dengan Rani.Wajah Aisyah terlihat menunduk. Meremas ujung ijabnya tanpa berani menatapku. Sementara, Rani hanya memperhatikan gadis cantik di depannya dengan tatapan intens."Mbak Ais, aku bisa menyediakan dana yang Mbak butuhkan," ucap Rani memecah keheningan.Untuk sesaat Aisyah menatapku. Walau sedikit heran dengan bantuan yang ditawarkan oleh Rani, tetapi sesaat kemudian, wajah Aisyah berubah semingrah. Seolah baru menang lotre dengan hadiah besar."Benarkah Dek Rani mau membantuku?""Benar, Mbak.""Alhamdulilah, makasih kalau begitu, Dek. Aku tidak akan melupakan budi baikmu. Sudah mau menolong Bapak," ucapnya girang. Bisa kulihat senyum terbit dari bibirnya. Hingga memperlihatkan lesung pipi yang semakin menambah kecantikannya."Tapi denga
Bab 70. Akad NikahLangit malam semakin pekat. Gerimis turun membasahi bumi. Tepat di ruang inap rumah sakit Pak Dahlan berbaring aku, dan Aisyah duduk bersanding. Penghulu hadir sebagai wali hakim. Sekaligus orang yang akan menikahkan kami.Disaksikan oleh kakek, Rafa, Rani dan juga Arga. Aku menikahi Aisyah sesuai hitam di atas putih, yang telah disepakati bersama. Antara Rani dan Aisyah. Tidak ada pesta atau jamuan makan malam. Layaknya menyambut pengantin baru.Juga baju pengantin yang dikenakan Aisyah. Seperti pada gadis yang lain saat pertama kali menikah. Hanya ada air botol mineral sebagai formalitas menyambut para tamu.Rani hanya membeli seperangkat alat salat untuk Aisyah. Juga baju kebaya putih yang sederhana. Sebagai bentuk penghormatan untuk istri muda. Meski usia Rani dan Aisyah hanya bertaut beberapa tahun. Akan tetapi, Aisyah menjadi adik madu.Sampai acara lewat beberapa menit minuman dalam wadah botol plastik itu, masih tetap utuh. Tak ada yang menjamah walau sekeda
Bab 71. Rani KaburAku pulang ketika langit sudah mulai gelap. Aisyah masih kutinggalkan di hotel. Tiga hari menginap di ruang VIP membuatku lupa pulang ke rumah. Entah bagaimana kondisi rumah ketika kutinggal pergi. Apa kabar dengan Raniku tersayang? Mungkinkah dia merindukanku?Sampai di rumah mobil langsung diperkirakan di halaman depan. Rafa menyambutku dengan penuh senyuman bersama Vina. Gadis kecil itu, hanya berdiri di belakang Rafa malu-malu."Ayah!" seru Rafa."Hai, jagoan Ayah. Apa semua baik-baik saja?""Iya, Yah.""Vina, apa kamu juga baik-baik saja?""Iya, Om. Vina baik-baik saja.""Om punya hadiah untuk kalian. Mau tidak?""Mau, Yah," jawab Rafa."Vina juga mau, Om.""Baiklah, sekarang tutup mata dulu, ya."Oke," jawab keduanya serentak.Segera kukeluarkan dua batang coklat dari saku kantong jas, lalu memberikan pada Vina dan Rafa. Keduanya tersenyum lebar begitu mendapat hadiah coklat."Terima kasih, Ayah.""Terima kasih, Om," ucap Vina."Iya, sekarang kalian main dulu,
Bab 71. PencarianSudah sepanjang kota aku mencari Rani. Bahkan, sampai ke teman-temannya pun ditanya tidak ada yang melihat Rani. Ah, kepalaku rasanya mau pecah. Di tak kunjung ku temui. Sementara, ibunya terus mengirim pesan. Menanyakan kabar Rani bagaimana."Ke mana kau, Rani? Kenapa kamu tiba-tiba saja pergi dari rumah?" tanyaku dalam hati.Menyusuri jalanan membelah langit malam. Membuatku terus melajukan kuda besi dengan kecepatan lambat. Berharap Rani ada di tepi jalan. Sedang menungguku meminta pertolongan.Tak peduli cacing di perutku meriuk-riuk minta diisi. Sebum bertemu Rani, aku tak bisa makan dengan lahap. Tidur pun tak akan nyenyak."Ya Tuhan! Tolong pertemukan aku dengan istriku. Tunjukan di mana dia berada," ucapku dalam doa.Menghentikan mobil di pusat kota. Memandangi indahnya suasana malam. Dipenuhi pedagang keliling yang sengaja mangkal di pinggir jalan. Menatap keramaian berpuluh-puluh pasangan muda dan mudi. Saling duduk berdampingan sambil makan jajanan pasar.