Jantung Athalia berdegup sangat keras ketika langkah Mahesa dan Kiran makin dekat ke arah mejanya.
Saat itu Mahesa pun tak sengaja menatap ke depan sana, hingga membuat kedua bola matanya bersinggungan dengan bola mata Athalia yang berwarna coklat muda.“Atalia?” pekik Mahesa dalam hati. Kiran yang juga menyadari keberadaan Athalia di dalam restoran itu, seketika berdecih jijik.“Ck! Mengapa Athalia selalu saja mengganggu momen romantisku dengan Mahesa? Aku muak sekali melihat wajah wanita murahan itu! Athalia sudah seperti benalu yang terus mengganggu kebahagiaanku,” batin Kiran lalu ia memutar bola matanya malas.Tapi meski begitu, Kiran yang sadar bahwa Mahesa pun mengetahui keberadaan Dean dan Athalia, ia segera mengapit lengan Mahesa dan menunjukan sikap manisnya.“Sayang, bukankah itu temanmu yang bernama Dean, ‘kan? Lihat! Dia sedang bersama Athalia,” ucap Kiran pada Mahesa yang berdiri di sam“Atalia, apakah makanannya enak?” Dean bertanya dan membuat Athalia terkejut, lalu segera menatapnya.“Iya, Dean. Makanannya sangat enak. Aku menyukainya,” ucap Athalia sedikit gugup.Sikap Athalia yang terlihat aneh membuat Dean mengernyitkan alisnya.“Athalia, kau kenapa? Apa kau sedang sakit?” Dean bertanya.Athalia menggelengkan kepala.“Tidak, Dean. Aku baik-baik saja.”“Wajah Mama kenapa pucat? Mama sungguh baik-baik saja ‘kan?” kali ini Dirly yang bertanya, membuat Athalia gelisah. Namun Athalia tak urung mengangguk kembali.“Jangan khawatir, Dirly. Mama baik-baik saja,” jawab Athalia sambil mengusap lembut puncak kepala Dirly, membuat bocah itu mengembangkan senyum di bibirnya.Akan tetapi Dean masih merasa ada yang aneh dengan sikap Athalia, sebab beberapa kali Dean mengajaknya bicara, kadang Athalia tak fokus menatapnya. Perhatiannya seperti ter
“Pa, Mana Mama? Kenapa Mama lama sekali di toiletnya?” Dirly bertanya pada Dean sembari kepalanya celingukan mencari Athalia yang tak kunjung kembali dari toilet.Dean tersenyum mengacak pelan rambut Dirly, kemudian bersidekap sambil memandangi wajah putranya itu.“Mungkin sebentar lagi Mama Athalia akan kembali,” jawab Dean.Dirly manggut-manggut, lalu kembali menghabiskan makanan yang masih tersisa di piringnya.Sampai tak lama kemudian, Dean mengalihkan matanya ke arah kiri ketika menyadari Athalia berjalan mendekati meja mereka.Dean tersenyum lega melihat Athalia telah kembali dari toilet, tapi senyum itu lenyap seketika saat matanya tertuju pada bibir Athalia yang lipsticknya tampak sedikit berantakan.“Mama kenapa lama di toiletnya?” Dirly langsung bertanya saat Athalia kembali duduk di kursinya semula.Ditanya seperti itu, Athalia bingung harus menjawab apa. Tentu saja tak mungkin Athalia menjawab y
Karena hari ini butik Nora libur, maka Athalia lah yang berbelanja ke pasar. Di dalam secarik kertas, ada daftar belanjaan yang harus Athalia beli. Tentu saja diantaranya kebanyakan adalah bahan untuk Narsih berjualan.Karena jarak pasar yang lumayan jauh, Athalia pun naik angkutan umum. Setelah mendapat semua barang belanjaannya, ia pun kembali pulang dengan angkutan umum yang lain.Akan tetapi, mata Athalia tiba-tiba menyipit saat melihat orang-orang berkerumun di tepi jalan. Keningnya berkerut, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.“Wah, ada perampokan,” seru sopir angkot yang membuat Athalia cukup terkejut.Perampokan?Athalia kembali menajamkan penglihatannya, dan ia terhenyak saat melihat dari celah-celah kerumunan itu, ada seseorang yang sangat dikenalinya sedang berdiri ketakutan, dia adalah Rita, yang ternyata sedang disandra oleh seorang lelaki yang mengenakan topeng kain di kepalanya. Sebilah pisau siap menikam leher Rita andai Rita
Mendengar suara Damar yang mengejek Athalia, membuat Rita memasang wajah tak suka.“Pa, jangan berkata seperti itu pada Athalia!” tegas Rita.“Kenapa, Ma? Untuk appa membela wanita ini? Apakah dia sudah mempengaruhimu hingga kau membelanya?” Damar bertanya pada Rita, lalu ia memutar wajah dan menghadap pada Athalia yang berdiri diam di depannya.“Kau.” Damar menunjuk wajah Athalia. “Menjauhlah dari keluargaku! Baik itu Dean, Dirly atau pun istriku. Aku tidak suka melihatmu di sekitar mereka,” ketus Damar yang membuat ulu hati Athalia terasa sakit.“Athalia tidak bersalah, Pa—““Cukup, Ma! Wanita rendahan seperti dia tak perlu dibela. Mama diam. Papa sedang bicara pada wanita ini agar dia paham di mana posisinya.”Damar mendelik pada istrinya, memerintahkan Rita untuk menutup mulutnya dan berhenti melakukan pembelaan terhadap Athalia.Namun Rita merasa tak tega. Seba
Ternyata Narsih jatuh sakit akibat kelelahan. Dan ia dirawat selama tiga hari berturut-turut. Selama Narsih dirawat, Athalia memilih cuti dulu dari pekerjaannya dan menemani Narsih.Sebab tak mungkin Athalia meninggalkan ibunya sendirian di rumah sakit sedangkan Yasna bersekolah.“Untunglah Bu Nora begitu baik memberikanmu waktu untuk cuti, Athalia. Maaf, Ibu malah membuatmu repot,” ucap Narsih pada Athalia ketika Athalia sedang menyuapinya.Athalia tersenyum, menggelengkan kepala. “Apanya yang repot, Bu? Aku tidak merasa direpotkan sama sekali. Aku senang karena sore ini Ibu sudah boleh pulang,” balas Athalia, seraya menyentuh tangan Narsih.“Tapi Athalia, bagaimana cara membayar biaya rumah sakit ini. Ini bukan rumah sakit yang murah. Biayanya pasti akan membengkak setelah Ibu dirawat selama berhari-hari.” Narsih memasang raut khawatir.“Coba kau pergi ke rumah dan pecahkan saja celengan Ibu. Mungkin itu bisa sedik
Mendengar nama Athalia, Mahesa mengernyitkan alisnya. Merasa tak percaya jika Athalia datang ke kantornya.“Untuk apa Athalia ingin bertemu denganku?” tanya Mahesa dalam hati.Tapi kemudian,Mahesa menyunggingkan sebelah ujung bibirnya, tersenyum culas.“Baiklah, suruh dia masuk ke ruang kerjaku!”“Baik, Tuan Mahesa.”Mahesa pun menutup sambungan telponnya dan kembali menaruh gagang telpon itu ke tempatnya.Setelahnya, Mahesa menautkan kedua tangannya di bawah dagu seraya mengulas senyum lebar.“Athalia, apa yang membuatmu ingin masuk ke kandang macan? Apa kau sudah merasa bosan hidup susah dan ingin melempar tubuhmu padaku?” gumam Mahesa dengan senyum puasnya.Tak berselang lama, pintu ruang kerjanya diketuk dari luar. Dan Mahesa sudah bisa menebak siapa yang datang.“Masuk!”Daun pintu itu pun terbuka perlahan, Mahesa menegakan duduknya, menanti seseorang yang ingin m
Berkali Yasna mencoba bertanya pada Athalia apa yang telah Mahesa lakukan hingga membuatnya menangis, tapi Athalia enggan menjawabnya.Athalia hanya menghapus air matanya dan meminta Yasna keluar dari kamarnya untuk membiarkannya istirahat.“Kakak lelah, tolong kau pergi ke kamarmu!” pinta Athalia, sembari mendorong pelan Yasna menuju pintu keluar.Yasna menggeleng tegas. “Tidak mau. Kakak harus mengatakannya dulu padaku! Kakak tidak akan mungkin menangis jika Tuan Mahesa tidak menyakiti hati Kakak.”Meskipun Yasna terus mendesaknya untuk menjawab, Athalia tetap menggelengkan kepala.“Tidak ada, Yasna. Dia tak mengatakan apa pun. Sudahlah, tidak usah khawatirkan Kakak. Cepatlah tidur! Besok kau harus berangkat sekolah!” setelah mengatakan itu, Athalia lantas menutup rapat pintu kamarnya di depan Yasna dan membuat Yasna menghembuskan napas pelan.Menatap pada pintu kamar kakaknya yang menutup, Yasna berdecak kesa
“Bayiku?” ulang Mahesa, makin mengerutkan keningnya.Yasna mengangguk tanpa ragu. “Ya, sayangnya kenyataannya begitu. Aku tidak suka kau membuat kakakku menangis. Dengar, Tuan Mahesa. Mungkin kau memiliki segalanya. Tapi kau tidak memiliki hati. Kak Athalia telah memberikan banyak cinta untukmu. Aku selalu menyayangkan kenapa dia masih saja memikirkanmu sementara kau sudah tak peduli padanya. Kau sama sekali tidak pantas untuk kakakku. Kak Athalia terlalu tulus untuk lelaki berengsek sepertimu!” Yasna berteriak, sementara Mahesa tiba-tiba memejamkan mata dengan tubuhnya yang mendadak sedikit limbung.Hampir saja Mahesa jatuh ke lantai andai dia tak segera bertumpu pada meja kerjanya.“Tuan Mahesa, mulai sekarang aku peringatkan padamu! Jangan pernah ganggu kakakku lagi! Biarkan dia hidup bahagia tanpamu! Jangan pernah membuat Kak Athalia menangis lagi!” Yasna seakan tak merasa takut pada Mahesa yang jelas umurnya saja beda ja
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s