“Ada apa ini, Pa? Mengapa aku mendengar suara ribut di rumah ini?” dari arah tangga, Kiran turun dengan pakaian santainya, kaki jenjangnya menapakki anak tangga itu satu per satu. Sementara keningnya berkerut melihat pada ayahnya.
“Sayang! Apa kau merasa terganggu? Kalau begitu, sebaiknya Papa usir saja dia dari sini.” Ucapan Tuan Gwen langsung membuat Leuwis menggeleng cepat, sementara matanya melebar.“Jangan! Kumohon, Tuan Gwen. Tolong pikirkan lagi permohonanku!” Leuwis kembali mengatupkan kedua tangannya di depan Tuan Gwen, meski lelaki tua itu hanya memasang raut tak peduli.Kemudian Leuwis beralih menatap Kiran yang saat ini sudah berdiri di samping sofa yang diduduki ayahnya. Matanya menatap Leuwis malas, sementara kedua tangannya melipat di depan dada.“Kiran. Om mohon, Kiran. Beri Om kesempatan! Om janji tidak akan menyia-nyiakannya. Om pasti akan melakukan apa yang kau mau. Tolong bantu yakinkMahesa sedang berkutat dengan laptop di hadapannya saat terdengar suara pintu diketuk dari luar.“Masuk!” perintahnya, tanpa melirik sedikit pun.Pintu pun berderit terbuka, lalu Athalia muncul setelahnya. Tangannya memegang sebuah nampan yang di atasnya ada secangkir kopi panas pesanan Mahesa.“Kopinya, Tuan. Jangan terlalu serius bekerja, nanti Anda bisa mengalami kebotakan lebih cepat.” Athalia menaruh nampan di atas meja.Ucapannya berhasil menggelitik Mahesa hingga menghentikan gerak jemarinya di atas keyboard. Kini matanya melirik pada Athalia. Ia tahu kalau wanita yang hari ini mengenakan blouse biru itu sedang menggodanya.“Memangnya kenapa kalau aku botak? Hal itu tidak akan sedikit pun mengurangi ketampananku.” Mahesa meraih cangkir itu, mendekatkan ke bibi, lalu meniup-niup uapnya pelan, sebelum menyesap kopinya.Athalia memutar bola mata. “Mulai over confident.”Mahesa terkekeh, nyar
Mahesa memang serius dengan ucapannya. Hari ini, Athalia telah resmi berhenti bekerja sebagai sekretaris lelaki itu. Tapi Athalia tak merasa keberatan, toh itu kemauan calon suaminya.Calon suami? Mengingat itu, Athalia mengulum senyum. Pernikahan mereka sudah ada di depan mata. Bahkan Mahesa sudah menyuruh orang untuk mengurus undangan pernikahan mereka. Sementara gaun pernikahan mereka sudah siap di tangan designer terbaik.“Athalia! Kau tidak pergi bekerja hari ini?” Rika—salah seorang tetangga Athalia bertanya. Dia sedang menjemur pakaian di halaman depan, sama seperti yang sedang dilakukan Athalia sekarang.Para tetangga di dalam gang ini memang jauh lebih ramah dibanding tetangga Athalia di kontrakan sebelumnya. Di sini Athalia bisa merasakan bagaimana berbaur dengan tetangga, saling menyapa, atau sekadar melempar senyum saat berpapasan. Hal yang tidak pernah di dapatkannya saat masih hidup di kontrakan sebelumnya, karena tetangganya yang dulu
Athalia terduduk gelisah, menautkan kedua tangannya di atas paha. Matanya memerah, mati-matian ia berusaha menahan tangis.Ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Tadi saat ia menelpon dan memberitahu Mahesa soal kehamilannya, lelaki itu hanya diam, bergeming tanpa suara, dan hanya menyuruhnya menunggu.Hal itu membuat Athalia menyimpulkan banyak hal. Apakah Mahesa tidak senang mendengar kehamilannya? Hati Athalia sesak, membayangkan seandainya Mahesa benar-benar tidak senang dengan kehamilannya? Bagaimana…Suara ketukan pintu terdengar dari luar, segera Athalia mengusap air matanya, berpura-pura tidur dan bersembunyi di balik selimut.“Kak Athalia? Kakak sedang tidur ya?” ternyata itu Yasna.Kakinya berjalan, menghampiri ranjang Athalia. Lalu helaan napas pelan keluar dari mulutnya saat melihat Athalia tampak pulas, meski wajahnya sedikit tertutupi oleh rambut. Sengaja, Athalia tak ingin Yasna melihat sis
Narsih dan Yasna sudah berdiri sejak tadi, saling menggenggam dan menatap dengan raut khawatir.Athalia tersenyum kecut.“Dokter. Bukankah tadi kau bilang Mahesa tidak boleh dijenguk saat aku memohon untuk masuk ke dalam ruang rawatnya? Tapi kenapa sekarang kau membolehkan mereka masuk?”Berdeham sebentar, Dokter Erdi sedikit kikuk. Tapi ia tetap menjaga wajah wibawanya di hadapan Tuan Leuwis.“Mereka berbeda, Tuan Leuwis adalah keluarga pasien.”“Tapi aku calon istrinya!” Athalia sedikit meninggikan nada bicaranya, ia merasa diperlakukan tidak adil di sini.“Kau pikir putraku akan benar-benar menikahimu? Huh! Jangan bermimpi terlalu tinggi, Athalia! Harusnya kau sadar, kau tidak pantas bersanding dengan Mahesa. Sekarang saja kau sudah membawa sial dalam kehidupan putraku. Kau tidak pantas untuknya!” cetus Leuwis, yang sejak tadi hanya diam dan menatap penuh amarah pada Athalia.Meli
“Lepaskan aku! Aku ingin meminta penjelasan pada Dokter Erdi.” Athalia menyentak tangan Bianca yang tadi menariknya, kemudian segera menyusul Dokter Erdi yang berjalan entah akan ke mana bersama dengan Leuwis. Mungkin mereka akan ke ruangan Dokter Erdi dan membicarakan soal keadaan Mahesa.Tapi mengapa mereka tak mengajaknya? Athalia berpikir keras.“Dokter, dokter, tunggu! Tolong jawab aku, apa yang terjadi dengan Mahesa? Kenapa dia seperti tidak mengenalku?” Athalia menahan langkah dokter yang berusia empat puluh dua tahun itu, membuat Leuwis berdecak sinis.Bianca pun menyusulnya sambil mengepalkan tangan.“Dengar, Nona. Bukankah sudah kukatakan kalau aku belum bisa memastikan keadaan Mahesa sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jadi bersabarlah, dan tunggu sampai pemeriksaan dilakukan, lantas hasilnya keluar,” ucap Dokter Erdi.Athalia menghembuskan napas pelan, matanya semakin mengembun. Hari ini tak ada Narsih
Bukan hanya Narsih yang terkejut mendengar kehamilan Athalia, tetapi juga Yasna. Gadis berusia dua belas tahun itu membuka mulutnya, terhenyak.“Katakan bahwa ini semua hanya lelucon, Athalia! Katakan pada Ibu kalau kau hanya bercanda. Iya, ‘kan?” duduk di hadapan Athalia, Narsih mengguncang pundak gadis itu.Athalia makin menundukan kepalanya, terdengar isak tangis dari bibir mungil itu. Sebelum kemudian ia mengucapkan sesuatu yang membuat keluarganya makin terkejut.“Aku tidak bercanda, Bu. Aku memang sedang hamil. Maafkan aku, Bu.”Lemas sudah tubuh wanita paruh baya itu. Perlahan tangan Narsih terhempas dan jatuh ke pahanya sendiri.Tidak ada yang paling menyakiti hati seorang ibu, kecuali mendengar bahwa putri yang dijaganya selama ini, ternyata telah ternoda oleh seorang lelaki.Seketika Narsih merasa tak becus menjadi seorang ibu.“Siapa ayahnya, Athalia? Apakah Tuan Mahesa?”Athalia menja
“Bukankah aku sudah memperingatkanmu, pergi dari kehidupan putraku! Aku tidak ingin Mahesa berhubungan dengan wanita sepertimu yang hanya ingin memanfaatkannya.” Leuwis menunjuk wajah Athalia, namun Athalia membalasnya dengan tatapan datar.Hari ini, Athalia kembali mendapat hinaan dan ancaman dari Leuwis. Lelaki itu hendak menjenguk Mahesa kembali, namun langkahnya terhenti ketika melihat Athalia masih menunggu di depan ruang rawat putranya.Tapi kali ini Leuwis tak datang sendirian, tidak juga dengan Ayaz dan Bianca, melainkan dengan seorang wanita yang dulu pernah Athalia pergoki dekat dengan Mahesa.Dia adalah Kiran Ardelia. Bibirnya menyunggingkan senyum miring saat melihat Athalia direndahkan oleh Leuwis. Mungkin Kiran sedang merasa posisinya berada di atas langit, sementara Athalia di dasar bumi paling rendah. “Dan aku pun sudah pernah mengatakannya padamu, Tuan. Kalau aku tidak akan menyerah untuk tetap menunggu Mahesa.”
Athalia tak bisa terus-menerus berusaha menjadi orang yang tegar menghadapi masalah. Apalagi saat ini seseorang sedang menghardik ibunya.Imran terus mencaci dan memaki Narsih juga Athalia. Bahkan ia berusaha mengompori Pak RT agar mengusir keluarga Athalia dari kontrakannya.Yasna tak bisa lagi menyibukkan diri dengan setumpuk PR, ketika teriakan seseorang terdengar sedang mencela kakak dan ibunya."Sabar. Tahan dulu emosinya, Pak Imran. Ini sudah malam. Athalia dan ibunya tidak bisa langsung pergi malam ini. Setidaknya beri mereka waktu satu hari untuk mengosongkan rumah." Pak RT memberikan keputusan yang lebih bijak, meski tetap menyakitkan bagi Athalia."Halah! Semua warga sini sudah ingin mereka segera diusir. Hanya membuat malu saja," cetus Imran dengan sinis."Pak Imran. Maaf, tapi RT di sini adalah saya. Dan saya akan memberikan Athalia dan ibunya waktu untuk meninggalkan tempat ini. Sebagai warga, saya harap Pak Imran t