“Lepaskan aku! Aku ingin meminta penjelasan pada Dokter Erdi.” Athalia menyentak tangan Bianca yang tadi menariknya, kemudian segera menyusul Dokter Erdi yang berjalan entah akan ke mana bersama dengan Leuwis. Mungkin mereka akan ke ruangan Dokter Erdi dan membicarakan soal keadaan Mahesa.
Tapi mengapa mereka tak mengajaknya? Athalia berpikir keras.“Dokter, dokter, tunggu! Tolong jawab aku, apa yang terjadi dengan Mahesa? Kenapa dia seperti tidak mengenalku?” Athalia menahan langkah dokter yang berusia empat puluh dua tahun itu, membuat Leuwis berdecak sinis.Bianca pun menyusulnya sambil mengepalkan tangan.“Dengar, Nona. Bukankah sudah kukatakan kalau aku belum bisa memastikan keadaan Mahesa sebelum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jadi bersabarlah, dan tunggu sampai pemeriksaan dilakukan, lantas hasilnya keluar,” ucap Dokter Erdi.Athalia menghembuskan napas pelan, matanya semakin mengembun. Hari ini tak ada NarsihBukan hanya Narsih yang terkejut mendengar kehamilan Athalia, tetapi juga Yasna. Gadis berusia dua belas tahun itu membuka mulutnya, terhenyak.“Katakan bahwa ini semua hanya lelucon, Athalia! Katakan pada Ibu kalau kau hanya bercanda. Iya, ‘kan?” duduk di hadapan Athalia, Narsih mengguncang pundak gadis itu.Athalia makin menundukan kepalanya, terdengar isak tangis dari bibir mungil itu. Sebelum kemudian ia mengucapkan sesuatu yang membuat keluarganya makin terkejut.“Aku tidak bercanda, Bu. Aku memang sedang hamil. Maafkan aku, Bu.”Lemas sudah tubuh wanita paruh baya itu. Perlahan tangan Narsih terhempas dan jatuh ke pahanya sendiri.Tidak ada yang paling menyakiti hati seorang ibu, kecuali mendengar bahwa putri yang dijaganya selama ini, ternyata telah ternoda oleh seorang lelaki.Seketika Narsih merasa tak becus menjadi seorang ibu.“Siapa ayahnya, Athalia? Apakah Tuan Mahesa?”Athalia menja
“Bukankah aku sudah memperingatkanmu, pergi dari kehidupan putraku! Aku tidak ingin Mahesa berhubungan dengan wanita sepertimu yang hanya ingin memanfaatkannya.” Leuwis menunjuk wajah Athalia, namun Athalia membalasnya dengan tatapan datar.Hari ini, Athalia kembali mendapat hinaan dan ancaman dari Leuwis. Lelaki itu hendak menjenguk Mahesa kembali, namun langkahnya terhenti ketika melihat Athalia masih menunggu di depan ruang rawat putranya.Tapi kali ini Leuwis tak datang sendirian, tidak juga dengan Ayaz dan Bianca, melainkan dengan seorang wanita yang dulu pernah Athalia pergoki dekat dengan Mahesa.Dia adalah Kiran Ardelia. Bibirnya menyunggingkan senyum miring saat melihat Athalia direndahkan oleh Leuwis. Mungkin Kiran sedang merasa posisinya berada di atas langit, sementara Athalia di dasar bumi paling rendah. “Dan aku pun sudah pernah mengatakannya padamu, Tuan. Kalau aku tidak akan menyerah untuk tetap menunggu Mahesa.”
Athalia tak bisa terus-menerus berusaha menjadi orang yang tegar menghadapi masalah. Apalagi saat ini seseorang sedang menghardik ibunya.Imran terus mencaci dan memaki Narsih juga Athalia. Bahkan ia berusaha mengompori Pak RT agar mengusir keluarga Athalia dari kontrakannya.Yasna tak bisa lagi menyibukkan diri dengan setumpuk PR, ketika teriakan seseorang terdengar sedang mencela kakak dan ibunya."Sabar. Tahan dulu emosinya, Pak Imran. Ini sudah malam. Athalia dan ibunya tidak bisa langsung pergi malam ini. Setidaknya beri mereka waktu satu hari untuk mengosongkan rumah." Pak RT memberikan keputusan yang lebih bijak, meski tetap menyakitkan bagi Athalia."Halah! Semua warga sini sudah ingin mereka segera diusir. Hanya membuat malu saja," cetus Imran dengan sinis."Pak Imran. Maaf, tapi RT di sini adalah saya. Dan saya akan memberikan Athalia dan ibunya waktu untuk meninggalkan tempat ini. Sebagai warga, saya harap Pak Imran t
Mahesa mengerjap, bahkan ia tak tahu siapa Yasna dan siapa ibu yang Athalia maksud."Tapi jika kau mengatakan jangan pergi, maka aku tidak akan pergi," lanjut Athalia, dengan sejuta harap yang bergejolak dalam dadanya.Mahesa masih bergeming."Jika kau mengatakan jangan, maka aku tidak akan pergi, Mahesa. Aku akan tetap di sini, menunggumu sampai kau ingat kembali semua tentangku. Tolong katakan jangan pergi, Mahesa! Tolong cegah aku!" dengan ujung-ujung jemari yang sedikit gemetar, Athalia menyentuh punggung tangan Mahesa, menatap wajah tampan itu dengan linangan air mata."Cegah aku Mahesa! Tahan aku di sisimu. Aku tidak akan pergi jika kau memintaku untuk jangan pergi." Athalia meraih tangan itu, menempelkannya di pipi, lantas meremasnya dengan penuh rindu."Pergilah." sampai sebuah kata membuat harap itu melebur begitu saja.Kata paling menyakitkan, akhirnya terlontar dari mulut orang yang sangat dicintainya. 
“Aku setuju. Yang namanya hal baik itu tidak boleh ditunda-tunda. Pernikahan adalah sebuah hal yang sakral. Apalagi Mahesa dan Kiran saling mencintai. Pernikahan mereka pasti akan bahagia,” tambah Leuwis yang makin membuat senyum lebar mengembang di bibir Kiran.Akan tetapi tiba-tiba saja Mahesa yang sejak tadi diam, kini angkat bicara.“Aku tidak bisa menikah,” katanya. Membuat terkejut semua orang.Semua pasang mata tertuju ke arah Mahesa. Raut bingung tergambar di wajah mereka.“Apa maksudmu dengan tidak bisa menikah, Mahesa?” tanya Leuwis dengan bingung, detak jantungnya tak beraturan, wajahnya memerah karena kesal sekaligus terkejut mendengar ucapan Mahesa yang di luar dugaannya.Mahesa balas menatap Leuwis, lekat. Kemudian ia melanjutkan ucapannya setelah sebelumnya menarik napas pelan.“Aku baru saja mengalami cedera otak. Aku tak ingat sebagian memori di otakku. Bahkan aku pun tidak ingat tentang a
Athalia mengerutkan kening, segera menoleh ke arah kolam. Tak sampai dua detik, matanya langsung membeliak ketika melihat seorang anak kecil laki-laki sedang tenggelam dan berusaha meminta pertolongan dari dalam kolam itu yang sebenarnya tidak dalam jika untuk ukuran orang dewasa. Tapi lain halnya jika anak kecil yang masuk ke sana.“Ya Tuhan!” Athalia menjatuhkan lapnya hingga teronggok di atas paving, kemudian tanpa berpikir lagi, ia secepatnya turun ke dalam kolam dan menceburkan dirinya sendiri.“Toloong!” anak kecil itu makin menggelepar, berusaha memunculkan kepalanya ke permukaan untuk berseru meminta pertolongan, lalu tubuhnya tertarik ke dalam, membuat mulutnya menelan banyak air.Athalia menggapai tangan anak itu, lalu memeluknya.“Bertahanlah. Kau akan selamat, sayang. Kau akan selamat,” bisik Athalia di telinga kanan bocah lelaki itu.Namun mata bocah itu sudah terpejam, hanya mulutnya yang sedikit terbuka. Membuat panik dan rasa khawatir mendera Athalia.Naik ke pinggir k
“Athalia! Kau dipanggil oleh Pak Iksan.” Sisy memberitahu Athalia yang baru saja selesai melahap makan siangnya di dapur restoran karena Pak Iksan yang berpesan padanya untuk menyampaikannya pada Athalia.Athalia menaruh piring bekasnya di wastafel, lalu mencucinya, tetapi kepalanya menoleh ke arah Sisy dengan raut penasaran.“Pak Iksan memanggilku? Untuk apa?” tanyanya heran, sekaligus cemas, biasanya yang dipanggil ke ruangan manager itu adalah pelayan yang melakukan kesalahan.Sebuah pertanyaan menggantung di kepala Athalia, kesalahan apakah yang telah ia lakukan?Sisy mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Kau temui saja dulu. Siapa tahu kali ini Pak Iksan mau memberi bonus,” katanya untuk mengurangi raut cemas di wajah Athalia.Athalia menggeleng, lalu mengulum senyum, meski hatinya masih merasa resah.*** Iksan—lelaki bertubuh pendek, dengan perut bulat dan kepala yang bagian tengahnya sudah mengkilat itu sedang duduk di balik mejanya, saat Athalia mengetuk pintu.“Masuk!” Iksan me
Dean menunjuk kursi di depannya.“Terima kasih, Pak.” Athalia mengangguk, menggeser kursi, lalu duduk di sana.Dean menghela napas sebentar, menetralkan debar jantungnya yang mulai mendominasi di dalam sana, di dadanya.Ia menyita perhatian pada wajah cantik di hadapannya. Memandang Athalia, membuat Dean merasa kembali menikmati apa yang sebelumnya pernah dimilikinya.Tadi saat menatap Athalia melalui kamera CCTV, Dean tak melihat wajah wanita itu begitu jelas. Tapi saat bertatapan langsung, ia langsung tak bisa berkata-kata.Jadi ini alasan mengapa Dirly memanggil penyelamatnya dengan sebutan mama?Pantas saja!“Maaf, Pak Dean? Apa Anda ingin mengatakan sesuatu?” setelah duduk berhadapan, Dean masih tetap bergeming, membuat Athalia kembali menyadarkannya.Lantas Dean mengangguk dan menegakkan duduknya.“Ekhem … “ ia berdeham demi menyembunyikan salah tingkahnya.
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s