“Apa yang terjadi dengan kakakmu, Yasna?”
“Aku tidak tahu, Bu. Sejak kembali tinggal bersama kita, Kak Athalia murung. Aku hampir tidak pernah melihatnya tersenyum dan tertawa. Padahal biasanya kita selalu bercanda.” Yasna menarik napas pelan setelah menjawab pertanyaan Narsih.Mendengar ucapan Yasna, riak wajah Narsih berubah khawatir. Manik mata mereka mengamati punggung Athalia yang saat ini sedang duduk di atas kursi, sebelah tangannya keluar dari jendela kamar, menopang dagu, kepalanya mendongkak, matanya jauh menatap pada salah satu benda luar angkasa yang tampak menghias di atas langit, begitu indah.Narsih dan Yasna memperhatikan di ambang pintu kamar Athalia yang terbuka. Athalia nyaris selalu melewatkan makan malamnya. Ia memilih menghabiskan waktu sendirian untuk melamun daripada mengobrol di atas meja makan bersama dengan ibu dan adiknya.Bukankah wajar jika hal itu membuat Narsih dan Yasna khawatir?“Saya tahu Anda pasti akan terkejut, Tuan. Oleh karena itu saya meminta maaf. Tapi, menurut saya perusahaan ini sudah sangat bermasalah. Dan saya tidak bisa terus bekerja di perusahaan ini lagi,” jujurnya.Leuwis mengacak rambut dengan gusar, lalu matanya menatap marah pada sekretarisnya yang sebelumnya ia sangka akan setia bekerja di perusahaanya.Di saat banyak karyawan yang memilih mengundurkan diri karena mengetahui kondisi perusahaan yang sudah mulai karam, sekarang, giliran sekretarisnya yang akan meninggalkannya.“Terserah, Tiana! Jika kau ingin pergi, pergi saja sana! Kalian semua membuatku muak! Tidak ada satu pun yang bisa kuandalkan! Semuanya membuatku kesal! Cepat pergi sana! Dan jangan pernah tunjukkan lagi wajahmu di hadapanku!” Leuwis menggebrak meja dengan keras, membuat Tiana tersentak kaget hingga memegangi dadanya.Lalu Leuwis mengarahkan telunjuk ke arah pintu, mengusir Tiana dengan hardikannya.Dengan perasaan tak
“Mahesa! Sayang! Maaf aku terlambat!” suara lembut seorang wanita membuat Athalia mengangkat kepala.Jessy baru saja masuk melewati pintu toko, lalu sedikit berlari ke arah Mahesa, kemudian memeluknya sesaat, tanpa merasa malu di depan pramuniaga yang wajahnya sudah memerah.“Apa yang kau beli? Kau membeli sesuatu untukku, ‘kan?” Jessy mendongkak dan bertanya, sebelah tangannya menggelayut di lengan kekar Mahesa, sebelahnya lagi mencoba membuka papper bag yang baru saja diberi oleh pramuniaga tadi, mencoba melihat isi di dalamnya.“Jangan! Ini rahasia. Tapi aku membelinya memang untukmu. Aku akan memberikannya saat pesta perusahaan nanti,” ucap Mahesa, sedikit menjauhkan jemari lentik Jessy dari papper bag yang dipegangnya.Athalia menelan salivanya yang terasa berat, pandangannya tertuju ke bawah menatap pada heels hitam yang dikenakannya. Setidaknya itu lebih baik daripada memandangi
“Ah, akhirnya. Sampai juga di rumahku!” seru Jessy menegakkan posisi duduknya, lalu mengambil barang-barang belanjaan yang bertumpuk di tengah-tengah mobil.“Sayang. Apa kau tidak mau mampir dulu?” tanya Jessy, menoleh pada Mahesa.Mahesa menggeleng.“Tidak.”“Kenapa?” bibir tebal yang terpoles lipstick merah itu sedikit mengerucut.Mahesa melirik ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.“Aku harus kembali ke kantor. Banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Mungkin lain kali saja,” balas Mahesa.Jessy mengangguk, tersenyum.“Baiklah. Kalau begitu selamat malam.”Athalia merutuk dalam hati, memalingkan wajahnya ke jalanan aspal di luar jendela.Mereka kembali saling memagut di depan sana, di depan matanya.Luar biasa! Hari ini entah berapa kali Athalia serasa menjadi tembok yang membisu bag
Masuk ke dalam lift, Mahesa sedikit melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Lift itu terus membawanya naik ke lantai dimana ruang kerja CEO berada.Berdeham pelan, Mahesa hanya ingin memastikan suaranya tak serak. Entah mengapa ia jadi sedikit memperhatikan penampilan hari ini.Tadi pagi, tak terhitung berapa puluh menit Mahesa menatap pantulan dirinya di cermin, hanya untuk memastikan agar stelan kemeja dan jas berwarna hitam itu membuatnya terlihat … gagah. Bahkan saat memasuki lobi kantor, banyak pasang mata yang menatapnya dengan sorot mata seperti takjub.Pintu lift berhenti, suara dentingannya menarik perhatian Athalia hingga mendongkak dari layar monitornya, menatap Mahesa yang kini melangkah menuju ke ruang CEO, tentu saja Mahesa berarti akan lewat di depan meja kerja Athalia.Sesaat Athalia terkesima, ia merasa ada yang sedikit berbeda dari penampilan Mahesa. Tapi Athalia tak tahu apa yang membuat lelaki itu tampak berbeda.&ldq
“Wah! Kak Athalia cantik sekali!” Yasna yang semula mengintip di balik pintu, kini langsung membuka daun pintu itu lebih lebar dan matanya membulat takjub menatap Athalia.“Yasna! Apa yang kau lakukan? Jangan bilang kalau sejak tadi kau berdiri di sana.” Athalia cemberut, melipat kedua tangan di depan dada, berpura-pura marah.Ia baru saja selesai merias diri di depan cermin. Memasangkan jepit bunga berwarna biru di sisi kanan rambutnya.Athalia mengenakan dress berwarna sebiru laut, panjangnya menjuntai hingga ke lantai. Namun ada belahan hingga ke lutut yang membuat kaki jenjangnya terlihat.Dress itu tak berlengan, menampilkan kulit lengan Athalia yang seputih pualam.Yasna nyengir, deretan giginya yang putih itu langsung terlihat.“Maaf, Kak. Aku hanya ingin lihat, Kak Athalia dandan secantik apa untuk acara pesta ulang tahun perusahaannya Kak Mahesa. Dan Ya ampun, penampilan Kak Athalia membuatku terkejut.
Sesaat Athalia mengerutkan kening, mencoba meneliti wajah tampan di hadapannya.“Benar, aku Athalia. Maaf, apa kita pernah bertemu?” karena wajah itu tampak asing baginya.Lelaki itu terkekeh pelan, seolah pertanyaan Athalia terdengar lucu di telinganya.“Kau lupa dengan aku? Ini aku, Ervan. Teman kelasmu saat SMA.”Mata Athalia perlahan membulat, seiring dengan mulutnya yang terbuka. Ia terkejut, demi mengetahui siapa sosok yang saat ini menatapnya dengan lamat.“Ervan?! Kau Ervan? Ah, maaf. Aku baru mengenalimu sekarang. Karena setahuku dulu kau—““Culun?” sambung Ervan. Athalia menggigit bibir, enggan menyebut kata itu. Tapi Ervan tertawa pelan. Lalu kepalanya mengangguk-angguk sementara sebelah tangannya tenggelam dalam saku celana.“Wajar jika kau tidak mengenalku. Karena Ervan yang kau kenal dulu adalah lelaki culun yang tak pernah lepas dari kacamatanya, rambut yan
Sambil menenggelamkan kedua tangannya ke dalam saku celana, Mahesa melangkah pelan, menghampiri Athalia.“Semua orang menyanjung kalian, memuji penampilan kalian yang sempurna. Katanya suara kalian sangat merdu, banyak yang mengatakan kalian adalah pasangan yang cocok.” sebelah bibir Mahesa berkedut, seakan tak suka dengan ucapannya sendiri.Athalia masih mengerutkan keningnya. Langkahnya mundur perlahan saat langkah Mahesa semakin maju ke arahnya.“Apa maksud semua ini? Mengapa kau mematikan lampu dan membawaku ke mari?”Sudut-sudut bibir lelaki itu terangkat, membentuk sedikit senyum miring. Belakang tubuh Athalia mentok pada meja kerja Mahesa, membuat Mahesa dengan leluasa menunduk, dan mengungkung Athalia di tengah tubuhnya.Athalia mengerjap, menyadari ia terperangkat saat kedua tangan kekar Mahesa bertumpu pada tepi meja, menahannya agar tak bisa lari ke mana pun.Hawa dingin segera menyeruak masuk dan menusuk di sekujur tu
Namun barang yang Mahesa tunjukkan itu sukses membuat Athalia terkesiap dengan mulut yang terbuka.“Mahesa! Itu … bukankah kalung itu—“Belum juga Athalia menyelesaikan ucapannya, Mahesa segera memotong.“Ya, ini kalung yang waktu itu. Yang kubeli di toko berlian denganmu.”“Tapi, katamu waktu itu kau membelinya untuk—““Sssttt!” kali ini Mahesa membungkam Athalia dengan menempelkan telunjuk di bibirnya.Mata Athalia bergerak-gerak mengamati wajah tampan di depannya, pertanyaannya masih belum terjawab.“Saat itu aku berbohong hanya untuk membuatmu makin cemburu,” bisik Mahesa yang langsung dibalas Athalia dengan cubitan di lengan.Mahesa terkekeh pelan.“Kalung ini memiliki bandul berwarna sebiru laut, cantik dan indah. Tentu saja aku membelinya untuk seorang wanita yang sangat spesial dalam hidupku. Wanita yang mampu mengetuk pintu hatiku, disaat a