Mahesa tampak sedang duduk di balik meja kerjanya dengan wajah serius ketika Athalia mengetuk pintu dari luar.“Masuk!” suara berat itu menyahut, membuat Athalia membuang napas pelan, sebelum kemudian memutar kenop, dan mendorong daun pintu hingga sedikit terbuka.“Maaf, Tuan. Ada laporan penting yang harus Anda periksa dan tanda tangani,” ucap Athalia, memberitahu, sambil satu tangannya menutup pintu dengan hati-hati.“Hmm … letakan saja di atas meja,” sahut Mahesa tanpa melepaskan pandangan dari layar monitor di depannya.Athalia menelan berat salivanya, kerongkongannya tiba-tiba mendadak kering. Mahesa mengabaikannya. Seakan Athalia adalah makhluk yang menjijikan jika ditatap.“Baik, Tuan Mahesa.” namun Athalia mengangguk, tersenyum kecil dan membawa map itu dengan langkah jenjangnya.Setelah menaruhnya di atas meja, Athalia sedikit melirik Mahesa dengan ujung matanya, berharap ada sapaan atau perintah lain dari lelaki itu, kemudian menatapnya. Setidaknya agar Athalia tak merasa di
“Athalia! Laporan ini harus sampai di tangan Tuan Mahesa sebelum jam makan siang, karena ini sangat penting, kau mengerti?” salah seorang petinggi dari divisi keuangan, mendatangi meja Athalia dan menyerahkan sebuah laporan yang katanya harus segera diberikan kepada Mahesa.“Harus sekarang?” “Ya. Harus sekarang kalau bisa. Lebih cepat lebih baik. Lagipula jam makan siang tinggal lima belas menit lagi.” Athalia mengangguk, lalu orang itu pergi setelah urusannya selesai dengan Athalia.Athalia menunduk, menatap pada laporan yang ada di tangannya, kemudian mengalihkan pandangan ke arah pintu ruang kerja CEO yang tertutup rapat itu.“Ini sudah hampir jam dua belas, tapi wanita tadi masih berada di dalam ruangan Mahesa. Apa aku—“ Athalia tak melanjutkan kalimatnya, dia sedang berpikir keras, apakah sebaiknya dia mengantarkan laporan itu sekarang?Tapi bagaimana jika di dalam sana, Mahesa ternyata sedang … Athalia memejamkan mata, mengusir jauh-jauh pikiran negatifnya. “Laporan ini san
“Apa yang terjadi dengan kakakmu, Yasna?”“Aku tidak tahu, Bu. Sejak kembali tinggal bersama kita, Kak Athalia murung. Aku hampir tidak pernah melihatnya tersenyum dan tertawa. Padahal biasanya kita selalu bercanda.” Yasna menarik napas pelan setelah menjawab pertanyaan Narsih.Mendengar ucapan Yasna, riak wajah Narsih berubah khawatir. Manik mata mereka mengamati punggung Athalia yang saat ini sedang duduk di atas kursi, sebelah tangannya keluar dari jendela kamar, menopang dagu, kepalanya mendongkak, matanya jauh menatap pada salah satu benda luar angkasa yang tampak menghias di atas langit, begitu indah.Narsih dan Yasna memperhatikan di ambang pintu kamar Athalia yang terbuka. Athalia nyaris selalu melewatkan makan malamnya. Ia memilih menghabiskan waktu sendirian untuk melamun daripada mengobrol di atas meja makan bersama dengan ibu dan adiknya.Bukankah wajar jika hal itu membuat Narsih dan Yasna khawatir?
“Saya tahu Anda pasti akan terkejut, Tuan. Oleh karena itu saya meminta maaf. Tapi, menurut saya perusahaan ini sudah sangat bermasalah. Dan saya tidak bisa terus bekerja di perusahaan ini lagi,” jujurnya.Leuwis mengacak rambut dengan gusar, lalu matanya menatap marah pada sekretarisnya yang sebelumnya ia sangka akan setia bekerja di perusahaanya.Di saat banyak karyawan yang memilih mengundurkan diri karena mengetahui kondisi perusahaan yang sudah mulai karam, sekarang, giliran sekretarisnya yang akan meninggalkannya.“Terserah, Tiana! Jika kau ingin pergi, pergi saja sana! Kalian semua membuatku muak! Tidak ada satu pun yang bisa kuandalkan! Semuanya membuatku kesal! Cepat pergi sana! Dan jangan pernah tunjukkan lagi wajahmu di hadapanku!” Leuwis menggebrak meja dengan keras, membuat Tiana tersentak kaget hingga memegangi dadanya.Lalu Leuwis mengarahkan telunjuk ke arah pintu, mengusir Tiana dengan hardikannya.Dengan perasaan tak
“Mahesa! Sayang! Maaf aku terlambat!” suara lembut seorang wanita membuat Athalia mengangkat kepala.Jessy baru saja masuk melewati pintu toko, lalu sedikit berlari ke arah Mahesa, kemudian memeluknya sesaat, tanpa merasa malu di depan pramuniaga yang wajahnya sudah memerah.“Apa yang kau beli? Kau membeli sesuatu untukku, ‘kan?” Jessy mendongkak dan bertanya, sebelah tangannya menggelayut di lengan kekar Mahesa, sebelahnya lagi mencoba membuka papper bag yang baru saja diberi oleh pramuniaga tadi, mencoba melihat isi di dalamnya.“Jangan! Ini rahasia. Tapi aku membelinya memang untukmu. Aku akan memberikannya saat pesta perusahaan nanti,” ucap Mahesa, sedikit menjauhkan jemari lentik Jessy dari papper bag yang dipegangnya.Athalia menelan salivanya yang terasa berat, pandangannya tertuju ke bawah menatap pada heels hitam yang dikenakannya. Setidaknya itu lebih baik daripada memandangi
“Ah, akhirnya. Sampai juga di rumahku!” seru Jessy menegakkan posisi duduknya, lalu mengambil barang-barang belanjaan yang bertumpuk di tengah-tengah mobil.“Sayang. Apa kau tidak mau mampir dulu?” tanya Jessy, menoleh pada Mahesa.Mahesa menggeleng.“Tidak.”“Kenapa?” bibir tebal yang terpoles lipstick merah itu sedikit mengerucut.Mahesa melirik ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.“Aku harus kembali ke kantor. Banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan. Mungkin lain kali saja,” balas Mahesa.Jessy mengangguk, tersenyum.“Baiklah. Kalau begitu selamat malam.”Athalia merutuk dalam hati, memalingkan wajahnya ke jalanan aspal di luar jendela.Mereka kembali saling memagut di depan sana, di depan matanya.Luar biasa! Hari ini entah berapa kali Athalia serasa menjadi tembok yang membisu bag
Masuk ke dalam lift, Mahesa sedikit melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Lift itu terus membawanya naik ke lantai dimana ruang kerja CEO berada.Berdeham pelan, Mahesa hanya ingin memastikan suaranya tak serak. Entah mengapa ia jadi sedikit memperhatikan penampilan hari ini.Tadi pagi, tak terhitung berapa puluh menit Mahesa menatap pantulan dirinya di cermin, hanya untuk memastikan agar stelan kemeja dan jas berwarna hitam itu membuatnya terlihat … gagah. Bahkan saat memasuki lobi kantor, banyak pasang mata yang menatapnya dengan sorot mata seperti takjub.Pintu lift berhenti, suara dentingannya menarik perhatian Athalia hingga mendongkak dari layar monitornya, menatap Mahesa yang kini melangkah menuju ke ruang CEO, tentu saja Mahesa berarti akan lewat di depan meja kerja Athalia.Sesaat Athalia terkesima, ia merasa ada yang sedikit berbeda dari penampilan Mahesa. Tapi Athalia tak tahu apa yang membuat lelaki itu tampak berbeda.&ldq
“Wah! Kak Athalia cantik sekali!” Yasna yang semula mengintip di balik pintu, kini langsung membuka daun pintu itu lebih lebar dan matanya membulat takjub menatap Athalia.“Yasna! Apa yang kau lakukan? Jangan bilang kalau sejak tadi kau berdiri di sana.” Athalia cemberut, melipat kedua tangan di depan dada, berpura-pura marah.Ia baru saja selesai merias diri di depan cermin. Memasangkan jepit bunga berwarna biru di sisi kanan rambutnya.Athalia mengenakan dress berwarna sebiru laut, panjangnya menjuntai hingga ke lantai. Namun ada belahan hingga ke lutut yang membuat kaki jenjangnya terlihat.Dress itu tak berlengan, menampilkan kulit lengan Athalia yang seputih pualam.Yasna nyengir, deretan giginya yang putih itu langsung terlihat.“Maaf, Kak. Aku hanya ingin lihat, Kak Athalia dandan secantik apa untuk acara pesta ulang tahun perusahaannya Kak Mahesa. Dan Ya ampun, penampilan Kak Athalia membuatku terkejut.
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s