"Sepertinya aku harus memberitahumu sesuatu. Kemarin kekasihmu datang dan mengemis padaku agar tidak lagi mengusik traumamu. Sungguh manis apa yang dia lakukan. Tapi sayangnya hal itu tidak akan membuatku tersentuh sama sekali."
Mendengar penuturan Leuwis, seketika Mahesa mengerutkan keningnya, berpikir keras siapa kekasihnya yang dimaksud oleh Leuwis?
Sampai kemudian nama Athalia terlintas dalam benaknya.
"Athalia? Jadi dia sengaja datang ke rumah Papa tanpa sepengetahuanku? Dan dia meminta Papa untuk berhenti mengusikku," ucap Mahesa dalam hati. Mahesa tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Leuwis mengedikan kedua bahunya sambil berpangku tangan, senyum lebar nan jumawa masih tercetak di bibirnya.
"Sepertinya hubungan kalian sudah sangat dekat. Dia bahkan berani mendatangi rumahku hanya untukmu. Oh iya, dan sejak kapan Athalia memanggilmu tanpa embel-embel tuan?" lanjut Leuwis bertanya, sambil melemparkan senyum mengej
Leuwis mengumpat dalam hati. Sia-sia saja ia memajang foto-foto Sandra di dinding ruang tamu ini. Karena nyatanya, Mahesa enggan melirik ke arah foto itu sama sekali. Padahal tadinya Leuwis berharap kalau Mahesa akan gelisah dan takut saat melihat foto itu, sampai akhirnya memohon kepada Leuwis dan menyetujui untuk menikah dengan Kiran."Kurasa, di belahan dunia, hanya kau saja ayah yang ingin anaknya menderita. Kau sengaja ingin membuatku lemah dengan memajang foto-fotonya? Benar, bukan? Kau berharap agar aku bisa luluh dan mau menerima perjodohan dengan anak dari teman bisnismu itu? Ck! Sayangnya caramu tidak akan membuatku berubah pikiran. Aku akan tetap menolak perjodohan ini dengan tegas!" cetus Mahesa sambil menekankan kata-katanya di depan Leuwis.Leuwis yang mendengarnya pun hanya bisa terkejut. Dia tidak pernah mengira jika Mahesa akan seberani ini menantangnya. Biasanya, Mahesa akan langsung luluh dan menyerah jika Leuwis sudah melontarkan nama Sandra dan mul
Di sini dingin sekali, dari atas langit, hujan deras terus mengguyur tubuhnya. Sesekali suara guntur terdengar di telinga, tetapi Mahesa tak peduli, ia memilih mengabaikannya.Meskipun stelan kerja berwarna hitam yang ia kenakan semakin lama semakin basah kuyup, meskipun hawa dingin terasa makin menusuk, Mahesa tetap berdiri tegak di atas rooftop kantornya yang terbuka.Di sini tak ada atap yang akan melindunginya dari hujan, ia bisa bebas menangis tanpa takut air matanya akan terlihat oleh orang lain. Beruntung hujan menyamarkan tangisnya, hingga ia tak terlihat cengeng saat ini.Walau pun sebenarnya, entah berapa kali bulir bening itu menetes melewati pelupuk matanya. Kata-kata serta perlakuan Leuwis hari ini telah membuat hatinya sangat remuk.“Lihatlah betapa sombongnya dia! Dia ingin memaksaku untuk menuruti kehendaknya. Dia ingin menjadikanku boneka yang bisa diperalat agar mencapai tujuannya. Sementara dia sendiri tak pernah sekali pun member
Tetapi Mahesa tak menyahut, matanya dalam menatap Athalia, sesaat ia terdiam, mengamati wajah cantik di hadapannya. Sebelum kemudian tiba-tiba saja Mahesa melakukan hal yang tidak terduga.Lelaki itu merebut payung yang Athalia pegang, lalu melemparnya sembarangan. Tanpa basa-basi Mahesa menunduk, lalu memagut bibir Athalia di antara guyuran hujan.Athalia terkejut, tapi ia tak melawan. Athalia mengangkat kedua lengannya, lalu melingkarkannya di leher Mahesa yang kekar.Ciuman—Mahesa kali ini berbeda dari biasanya. Mahesa melakukannya dengan lembut, penuh perasaan. Athalia menikmati setiap detiknya bibir mereka saling meraup dengan halus. Tak peduli dengan dingin yang semakin menusuk, mereka tetap membunuh waktu dengan saling memagut mesra.Satu hal yang Athalia tidak sadari, Mahesa menciumi bibirnya dalam tangis dan air mata. Tetapi ia membiarkan hujan menyamarkannya hingga Athalia tak akan tahu kalau Mahesa menangis untuknya.Ya
“Mahesa! Aku senang kau datang!”“Aku sudah bilang, aku akan datang jika sempat.”Tiba di pesta megah itu, yang diadakan di sebuah ballroom hotel ternama di Indonesia, Mahesa langsung disambut oleh rekan kerjanya yang malam ini akan bertunangan.Mereka tampak akrab, Mahesa sempat mengenalkan Athalia sesaat, sebelum kemudian Athalia memilih mengedarkan pandangannya ke sekeliling aula pesta itu.Tiba-tiba Athalia tersenyum miris. Sialnya hatinya malah berharap kalau suatu saat ia pun akan bertunangan dengan pesta yang mewah seperti ini.“Mimpimu terlalu tinggi, Athalia. Kau hanya upik abu dalam dunia nyata. Tak akan ada pangeran yang mau memperistrimu,” gumam Athalia dalam hati, sambil menggelengkan kepala.Setelah acara tukar cincin dilakukan, semua tamu langsung menikmati jamuan pesta yang begitu memikat lidah.Athalia dan Mahesa duduk di satu meja yang berbentuk bulat. Merek
Mahesa kembali menatap punggung Athalia dengan lamat, lekat, seolah hanya punggung itu saja pemandangan yang bisa dia tatap.Mahesa sedang menikmati punggung ramping itu dengan matanya, sebelum beberapa jam lagi, Athalia akan keluar dari apartmennya.Melipat lalu memasukkan pakaiannya ke dalam koper, Athalia tak sedikit pun mengangkat kepala untuk menatap Mahesa. Dia tak kuasa. Meski lelaki itu masih berdiri dengan tubuh menjulangnya.Selesai berkemas, Athalia menurunkan kopernya dan menggeretnya menuju pintu. Langkahnya terhenti saat suara Mahesa terdengar.“Apa kau akan pulang malam ini?” tanya Mahesa.Athalia terpaku, tapi ia mengangguk tanpa menoleh ke belakang.“Kurasa lebih cepat maka akan lebih baik. Bukankah begitu, Tuan Mahesa?”Mahesa mengulum senyum kecut, Athalia seperti sedang menyindirnya dengan embel-embel tuan yang ia ucapkan.“Sekarang sudah larut, ibu dan adikmu pasti akan bertany
Bola mata Mahesa makin berkabut gairah, matanya menatap wajah Athalia penuh hasrat.“Tunggu!” Mahesa mengerutkan kening, tiba-tiba Athalia menahan tangannya ketika Mahesa hendak membuka kaus yang Athalia kenakan.“Kenapa?” sebelah alis Mahesa terangkat, menatap Athalia dengan raut heran.Raut cemas terlihat di gurat wajah Athalia. Bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi ragu mengatakannya.Athalia meneguk ludah kasar, menatap Mahesa dengan tatapan dalam, membuat sepasang manik mata mereka saling berserobok dalam beberapa saat, sebelum kemudian Athalia berani mengatakannya.“Setelah aku pergi, apa kau masih akan berjuang untuk melawan traumamu?” Sebelah sudut bibir Mahesa sedikit terangkat, tersenyum pahit. Ternyata hal itu yang ingin Athalia tanyakan.Mahesa tidak menggeleng, juga tidak menganggukkan kepalanya. “Kurasa kau tidak perlu menanyakan soal itu. Setelah kau lepas dariku, maka kau sudah tidak berhak menanyakan hal yang pribadi tentangku,” balas Mahesa yang membuat
Mahesa tampak sedang duduk di balik meja kerjanya dengan wajah serius ketika Athalia mengetuk pintu dari luar.“Masuk!” suara berat itu menyahut, membuat Athalia membuang napas pelan, sebelum kemudian memutar kenop, dan mendorong daun pintu hingga sedikit terbuka.“Maaf, Tuan. Ada laporan penting yang harus Anda periksa dan tanda tangani,” ucap Athalia, memberitahu, sambil satu tangannya menutup pintu dengan hati-hati.“Hmm … letakan saja di atas meja,” sahut Mahesa tanpa melepaskan pandangan dari layar monitor di depannya.Athalia menelan berat salivanya, kerongkongannya tiba-tiba mendadak kering. Mahesa mengabaikannya. Seakan Athalia adalah makhluk yang menjijikan jika ditatap.“Baik, Tuan Mahesa.” namun Athalia mengangguk, tersenyum kecil dan membawa map itu dengan langkah jenjangnya.Setelah menaruhnya di atas meja, Athalia sedikit melirik Mahesa dengan ujung matanya, berharap ada sa
Athalia mendorong kursinya ke belakang, bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu ruang CEO.Tangannya terangkat dan memberanikan diri mengetuk pintu itu. Beberapa kali Athalia berseru dan mengucap permisi, namun tak ada sahutan dari dalam.Athalia jadi gelisah, bingung apa yang harus dia lakukan. Sekali lagi dia mengetuk pintu, tapi tetap sama.“Mungkin Mahesa sedang di kamar mandi,” pikirnya. Kemudian membuang napas pelan. “Sebaiknya aku simpan saja laporan ini di atas meja. Nanti juga dia akan memeriksanya,” lanjut Athalia.Setelah itu, Athalia mendorong pintu dan membentangkannya lebar-lebar. Namun detik selanjutnya, matanya membeliak, diikuti suara terkesiap dari mulutnya. Athalia terkejut, melihat pemandangan di hadapannya.“Apa kau tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu?” sentak Mahesa, marah.Matanya tajam menatap ke arah Athalia, lalu mendelik kesal. Mahesa duduk di sofa biru panjang yang berad