Mobil mewah keluaran eropa milik Dean berhenti tepat di depan pelataran restoran 'AlmaDirly' miliknya.
Setelah memarkirkan mobilnya dengan rapi, Dean turun dan melangkah memasuki restoran itu.Tangannya masuk ke dalam saku celana kanannya, merogoh sesuatu dari sana."Aku belum memberitahu dia kalau sebentar lagi Dirly ulang tahun," gumam Dean sambil mengulum senyum tipis.Masuk ke dalam lift, Dean menekan tombol lift dan segera menempelkan ponselnya ke telinga kanan.Menunggu seseorang di ujung sana mengangkat panggilannya."Hallo, Mahesa! Maaf mengganggumu, apa kau sedang sibuk?" ternyata Dean menghubungi Mahesa."Tidak, kau sama sekali tidak menggangguku. Aku baru saja selesai menandatangi laporan. Ada apa, Dean? Aku tahu, jika kau menghubungiku, itu tandanya ada sesuatu yang penting." suara Mahesa terdengar dari seberang telpon."Kau benar, memang ada hal penting yang ingin kuberitahukan padamu. Karena kau tidak akan mungkin datang ke sini,Akan tetapi, tentu saja sebuah perjanjian berada di balik semua itu. Andai Mahesa memutuskan hubungannya dengan Kiran, maka Tuan Gwen tak akan berpikir dua kali untuk mencabut semua bantuannya pada Leuwis.“Entahlah, Pa. Aku lelah, ingin mandi dan tidur,” ucap Mahesa yang kalah dengan ucapan Leuwis.Baru saja Mahesa menapakkan kaki di anak tangga pertama, tiba-tiba ia menarik dirinya dan kembali menghadap Leuwis.“Kenapa?” Leuwis menatap heran. Seperti ada sesuatu yang hendak Mahesa katakan.“Aku hanya bingung. Mengapa dulu aku sampai jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan Kiran? Padahal setelah aku tahu sifatnya sekarang, aku rasa itu tidak mungkin,” kata Mahesa mengerutkan dahinya.Sementara wajah Leuwis langsung salah tingkah.*** Dirly baru saja tertidur, Athalia tersenyum dan menaikan selimutnya hingga sebatas leher.Sesaat Athalia memandangi wajah polos itu saat sedang terlelap, ta
Dengan dibalut kesunyian malam, Dean terbaring sendirian di tengah-tengah ranjangnya.Sengaja ia buka pintu balkon lebar-lebar, mempersilakan pada angin untuk menyeruak masuk mendinginkan malamnya.“Alma, sayangku.” Dean berucap lirih, mendekap sebuah foto di atas dadanya. Sedangkan matanya lurus menatap pada plafon kamar yang berkeluk rumit di atas sana.“Dia Athalia. Baby sitter baru untuk Dirly. Sejak pertama kali aku melihatnya, aku merasa seperti kembali pada waktu dimana saat pertemuan pertama kita. Dia sangat lembut, penyayang, juga senang pada anak kecil. Dia benar-benar mirip sepertimu. Sampai aku tidak tahu apa yang bisa kujadikan sebagai tanda dari perbedaan kalian.” Dean menarik napas dalam, lalu menghembuskannya pelan.Dean mengangkat foto itu dan menatapnya lekat. Terlihat wajah cantik Alma yang memenuhi indera penglihatannya.Wajah itu, wajah yang selalu membuatnya menyerukan kata rindu beberapa tahun belaka
Pagi ini, Athalia kembali datang ke rumah Dean. Ia telah selesai membantu Dirly memakaikan baju, juga menyisirkan rambutnya seperti kemarin.Kini, Athalia berdiri di samping kursi yang Dirly duduki. Mengoleskan selai kacang di atas setangkup roti dan meletakannya di atas piring milik Dirly.“Terima kasih!” mata Dirly terangkat, mengedip pada Athalia.Athalia tersenyum. “Sama-sama.”Dean pun diam-diam tersenyum melihat kehangatan dua orang di hadapannya.“Athalia, duduk di kursimu dan sarapan. Dirly, habiskan sarapanmu!”“Baik, Pa.” Dirly mengangguk.Athalia mendudukan dirinya di sebelah Dirly. Lalu mengalasi piringnya sendiri.Saat rotinya tinggal setengah, Dirly menjeda sarapannya sebentar, meraih gelas dan meneguk airnya, lalu menatap ke arah Dean yang duduk di seberangnya.“Pa!”“Hemm … ada apa?” Dean pun menghentikan sarapannya sebentar, sejenak memusa
Pulang dari sekolah, Athalia dan Dirly langsung pergi ke toko buku.Sementara sopir menunggu di baseman, mereka menaiki lift, menuju lantai dimana ratusan rak buku berjejer di sana.Setelahnya pintu lift terbuka, Dirly langsung terperangah dan melompat keluar dari lift.“Dirly, hati-hati!” jantung Athalia nyaris dibuat copot, karena bocah itu berlari tanpa mempedulian tadi ia hampir tergelincir.Tapi saat Dirly sudah berjalan ke arah rak buku, Athalia mendesah lega dan tersenyum menggeleng-gelengkan kepala.“Hhh anak itu.” “Yeay! Aku dapat!” Dirly berhenti di depan sebuah rak, lalu mengambil salah satu buku dari sana.Athalia mempercepat langkah untuk mencaritahu buku apa yang diambil oleh tangan mungil itu.“Komik?” Athalia mengangkat sebelah alisnya.Dengan tanpa dosanya, Dirly menoleh dan mengangkat komik itu tinggi-tinggi, menunjukannya pada Athalia.“Ini komik o
Selesai membeli komik untuk koleksi Dirly, Athalia membeli beberapa buku pelajaran untuk bocah usia satu tahun. Dengan senang hati Dirly membantu membawakan buku-buku itu.“Sini, Dirly. Biar aku yang membawa buku-bukunya.” Athalia menjulurkan tangannya, hendak mengambil alih buku-buku dari tangan Dirly.Namun Dirly menggelengkan kepala seraya menjauhkannya dari jangkauan tangan Athalia.“Tidak perlu, biar aku saja yang membawanya.”“Kau yakin? Sejak tadi kau yang membawanya, apa kau tidak merasa keberatan?” Athalia menautkan kedua alisnya.Dirly nyengir lebar, sekali lagi kepalanya menggeleng. “Tentu saja tidak. Meskipun aku masih, tapi ototku sudah sekuat Papa,” ucapnya membanggakan diri.Athalia nyaris tersedak tawa, tapi kemudian ia mengangguk-anggukan kepala.“Oh, oke. Baiklah. Terserah kau saja kalau begitu.” dengan gemas, Athalia mengacak pelan rambut Dirly, membuat si empunya langsu
Dean menyipitkan mata, menunggu jawaban Athalia.“Emhh … itu Pak Dean.”“Itu apa?”Suara klakson mobil terdengar dan mengejutkan mereka sebelum Athalia bicara lagi. Perhatian Dean segera teralih, keningnya berkerut sekarang.“Kenapa Pak Sardi membunyikan klakson,” gumam Dean, lalu berjalan menuruni tangga dan meninggalkan Athalia.Buru-buru Athalia menghela napas lega.“Hah, untung saja Pak Sardi menyelamatkanku,” ucap Athalia.Sementara itu, langkah Dean bergerak keluar teras. Ia melihat sopirnya baru turun dari mobil dan menutup pintu mobil itu hingga rapat.Dean sudah menduga, pasti lelaki setengah baya itu yang membunyikan klakson mobilnya.“Kenapa klaksonnya bunyi, Pak Sardi?” tanya Dean, sambil membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana, sedangkan matanya lurus menatap pada Pak Sardi yang mengusap tengkuknya dengan malu.“Maaf, Pak Dean.
“Apakah aku terlihat tampan?” tanya Dirly, sambil berputar setelah mengenakan stelan jas yang pas dengan tubuhnya.Dean yang duduk di tepi ranjang pun menahan senyum.“Sepertinya pertanyaan itu akan lebih cocok jika kau tanyakan pada Tante Athalia,” kata Dean.Dirly mengerutkan kening. Mendekat selangkah pada Dean agar Dean bisa merapikan dasi kupu-kupu merah yang mengikat di depan lehernya.“Kenapa harus Tante Athalia?”“Karena dia perempuan. Tentu dia akan tahu pria tampan itu yang seperti apa,” jawab Dean sambil meraih sisir yang tergeletak di atas tempat tidur, lalu mulai menyisir rambut Dirly yang sedikit basah.Dirly manggut-manggut mendengar celotehan ayahnya.“Baiklah, kalau begitu, nanti akan kutanyakan pada Tante Athalia jika dia sudah kembali,” ucap Dirly penuh semangat.Entah mengapa, hari ini bocah itu merasa dirinya paling berkarisma di sini. Mungkin karena sekaran
“Apakah sudah selesai?” Dirly bertanya pada Athalia yang sedang membantu merapikan rambutnya.“Sebentar lagi.” Athalia merapikan pinggir rambut Dirly dengan jemari, lalu ia menepuk-nepuk pelan jas yang dikenakan bocah itu. Lantas senyum puas pun terkembang di wajah Athalia. “Nah, sekarang sudah selesai. Kau terlihat sangat tampan,” serunya.“Benarkah?” senyum Dirly merekah lebar. Kakinya berjalan menuju cermin dan menatap pantulan dirinya dari sana. “Kau benar, aku terlihat gagah, bahkan lebih gagah daripada Papa.”Nyaris saja Athalia menyemburkan tawa saat mendengar Dirly memuji dirinya sendiri. Bahkan membandingkan penampilannya dengan Dean, yang tentu saja tak sebanding dengannya.“Ehem … mungkin saja.” Athalia bangkit dari duduknya, berdiri sambil bersidekap menatap punggung Dirly yang masih asyik menatap cermin.Tiba-tiba bocah itu berbalik menatapnya.“Tante Athal
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s