Menjawab pertanyaan Mahesa, Kiran menggelengkan kepala.
“Tidak usah. Antar aku pulang saja. Aku hanya butuh istirahat sebentar untuk membuat rasa pusing ini hilang,” jawab Kiran, Mahesa kemudian mengganggukan kepala tanpa curiga.Kiran yang semula memejamkan mata, kini sedikit membuka kelopak matanya, mengintip ekspresi Mahesa yang sedang mengemudi. Lalu seulas senyum culas tersungging di bibir.“Bagus, Mahesa tak curiga sama sekali. Untung saja dia tak bertemu dengan Athalia. Aku harus pastikan agar Mahesa tak sering bertemu dengan temannya yang bernama Dean itu agar ia dan Athalia tak pernah bertemu.” Kiran bergumam dalam hati.Ada ribuan pertanyaan yang menyesaki kepalanya saat ini. Tentang mengapa Athalia bisa berada di kediaman Dean? Siapakah wanita itu dalam hidup Dean? Rasa penasaran itu sangat tinggi.Meski tak seberapa penting bagi Kiran, tetapi suatu saat ia harus mencaritahu semuanya.*** Malam sSetelah mengobrol sejenak bersama keluarga Athalia, Dean pun melirik ke arah arloji di tangannya dan baru sadar bahwa saat ini sudah jam sembilan malam.“Apakah Dirly sudah tidur?” pertanyaan itu bercokol dalam hati Dean.Tadi saat akan mengantar Athalia pulang, Dirly memang belum tidur. Dan bocah itu tak masalah jika ditinggalkan sebentar oleh ayahnya.Dean pun pamit pulang. Narsih dan Yasna mengangguk sambil tersenyum.Athalia menemani Dean sampai ke teras depan.“Pak Dean, terima kasih karena sudah mengantarku ke kontrakan,” ucap Athalia.Dean membalasnya dengan senyum dan anggukan. “Sama-sama. Terima kasih juga karena sudah memperbolehkanku mampir sejenak.”Mereka sama-sama mengulum senyum malu. Tapi lain halnya yang terasa di dalam dada Dean. Ada sesuatu yang bergemuruh di sana ketika melihat senyum manis itu terlukis di bibir Athalia.“Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa besok di rumahku,
Pagi ini, Dirly tampak sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Berjongkok, Dirly mengenakan sepatunya sendiri. Sementara Athalia sibuk merapikan tas sekolah Dirly dan menentengnya sembari mendekati bocah itu.“Pakai tasmu!” Dirly berdiri, membiarkan Athalia membantunya mengenakan tas itu di punggung.“Terima kasih Tante Athalia!”“Sama-sama. Apakah tidak ada yang tertinggal? Buku PR-mu?” tanya Athalia, sembari mendekati cermin dan membereskan sisir bekas Dirly ke tempatnya.Dirly menggeleng, lalu membenarkan letak topinya yang sedikit miring.“Tidak ada. PR-ku sudah kumasukkan ke dalam tas, semalam.”Athalia tersenyum, kembali menghampiri Dirly dan menepuk pundak bocah itu dengan senang.“Bagus, anak pintar!” pujinya. Membuat Dirly nyengir lebar menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi.Saat itu, terdengar suara ketukan pintu, Dirly dan Athalia menoleh lalu melihat Dean masuk ke
Di samping sebuah gerbang sekolah yang cukup besar itu, Pak Sardi menepikan mobil.Lantas Athalia membuka pintu dan turun. Matanya bergerak mengamati gerbang sekolah yang sudah dibuka lebar-lebar oleh satpam.“Apa kelas Tuan kecil belum bubar?” Pak Sardi ikut turun, bertanya pada Athalia dengan menyebut Dirly dengan sebutan ‘Tuan Kecil.’Athalia balas menoleh, menggelengkan kepala.“Sepertinya belum, Pak,” jawabnya. Kemudian melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya yang ramping. “Tapi seharusnya jam segini, kelasnya sudah bubar.”Tak berselang lama, suara keras dan nyaring terdengar di telinga mereka.“Tante Athalia!” Mata Athalia dan Pak Sardi segera menoleh ke arah sumber suara, senyum lebar terpatri di wajah mereka saat melihat Dirly berlari cepat dari arah gerbang dengan senyum yang mengembang.“Hei! Hati-hati, jangan berlarian seperti
Saat sarapan pagi ini, Dirly tak henti memanyunkan bibirnya, bahkan matanya enggan untuk sekadar melirik ke arah Dean.Hal itu menimbulkan tanya di benak Athalia. Anak dan ayah itu seperti sedang saling mendiamkan, hari ini.“Apa yang sedang terjadi dengan Dirly dan Pak Dean? Apa mereka sedang bertengkar?”Athalia membatin, matanya melirik ke arah Dirly yang duduk di sampingnya, kemudian ke arah Dean yang menunduk menikmati sarapan di depannya.Tak ada basa-basi seperti biasa. Suasana di ruang makan itu tampak senyap, hanya terdengar suara dentingan saat sendok bersentuhan dengan piring.Semalam, Dean menolak permintaan Dirly, karena itulah Dirly kesal dan mendiamkan Dean.Bahkan Dean tak mengatakan apa alasannya menolak menikahi Athalia. Sementara Dirly ingin sekali menjadi seperti anak-anak lain, berjalan ke sekolah dengan dituntun oleh ayah dan ibu dari kedua sisi, menggenggam tangannya dengan hangat.“Dirly, apa kau mau tambah
Mahesa merasa kesal, tentu saja. Waktunya terbuang dengan sia-sia. Ia paling malas saat berurusan dengan orang yang tak profesional seperti Tuan Andres.Setelah menyisir rambut, Mahesa berjalan pelan menuju tempat tidur, mendudukan diri di tepi ranjang.Tapi ketika akan menarik selimut, benaknya teringat akan sesuatu.“Buku novel itu?” Mahesa melirik ke arah laci nakas, ia melupakan sesuatu.Buku novel yang dulu pernah dibelinya di toko buku, sama sekali belum pernah ia buka. Padahal saat itu Mahesa sangat penasaran dengan isinya, yang entah mengapa, buku itu berhasil memikat mata.“Biasanya buku novel macam ini sangat disukai para wanita. Aku juga tidak tahu, mengapa tiba-tiba terpikat dengan buku ini dan ingin membacanya.”Mahesa menegakan duduknya, menepi ke kepala ranjang.Sambil bersila, ia membuka buku itu dan mulai membaca setiap lembar halaman yang ada di sana.Saat membuka halaman pertama, Mahesa mengerutkan ke
Malam ini hawa dingin sangat menusuk, membuat Dean yang sedang menikmati secangkir kopi di atas balkon kamarnya, langsung mengusap telapak tangan.Athalia telah pulang diantar oleh Pak Sardi sekitar setengah jam lalu. Sementara Dirly pun sudah lelap dalam tidurnya.Hanya tersisa Dean seorang diri, menyelami pikirannya juga meresapi perkataan Dirly tempo hari.Dean menarik napas pelan, kemudian mengurut dagu dengan jemari. Tampak gelisah.“Kurasa ini keputusan yang tepat,” gumamnya mengangguk-anggukan kepala.Dean menutup cangkir kopinya, lalu bangkit berdiri dan beranjak meninggalkan balkon.Langkah lebar lelaki itu bergerak keluar kamar untuk kemudian menuju kamar Dirly yang juga berada di lantai dua.Pelan Dean memutar kenop dan membuka daun pintunya, mengintip ke dalam dan dilihatnya Dirly tengah terlelap di atas ranjang.Selarik senyum tersungging di bibir, Dean pun mengayun langkah lebih dekat lagi, memasuki kamar Dirly dan du
Athalia mengangguk, lalu mengikuti langkah pelayan itu memasuki lift.Lift itu bergerak naik ke atas, saat itu jantung Athalia berdetak tidak nyaman, entah mengapa.“Sudah sampai, Nona. Maaf, tugas saya hanya mengantar Anda sampai sini. Silakan Anda temui Tuan Dean. Dia sudah menunggu Anda sejak tadi.”Athalia mengernyit sesaat, merasa heran mengapa sejak tadi pelayan itu hanya menyebut nama Dean.Hei, malam ini Athalia akan makan malam dengan dua orang. Bukan dengan Dean saja.Tapi Athalia tetap menganggukkan kepala dan membiarkan pelayan itu kembali tertelan pintu lift.Menarik napas pelan, Athalia memutar tubuh dan mengayunkan langkah.Dari kejauhan, ia bisa melihat seorang lelaki bertubuh tegap. Bahu lebarnya makin tercetak jelas di balik kemeja putih ketat yang dikenakannya.Athalia sudah menebak siapa lelaki itu yang saat ini membelakanginya dan menatap pada gedung-gedung pencakar langit yang menjulang kokoh di sekelili
Meski melihat ketulusan yang tersirat di wajah Dean, namun Athalia tak langsung terdiam. Ia menunduk, menatap pada cincin yang Dean persembahkan untuknya.Athalia meremas tangannya di sisi tubuh, meneguk ludah saat tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.Bingung harus menjawab apa, sebab Athalia merasa tak pantas untuk Dean. Apalagi sosok Mahesa sampai detik ini masih merajai hatinya.Berusaha memilih, akhirnya Athalia pun menggelengkan kepala.“Maaf, Pak Dean. Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku minta maaf.” Athalia mendorong pelan kotak cincin itu ke dada Dean, lalu ia membalikan badan dan hendak pergi meninggalkan lelaki itu.Akan tetapi, langkahnya seketika terhenti saat di depan pintu lift, Dirly berdiri dan menatapnya dengan sorot terluka.Ketika menatap bagaimana berkaca-kacanya mata bocah itu, Athalia merasa jantungnya ditikam oleh sembilu. Terasa menyakitkan.“Dirly,” bisik Athalia, dengan mata yang memanas.P
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s