Athalia mengangguk, lalu mengikuti langkah pelayan itu memasuki lift.
Lift itu bergerak naik ke atas, saat itu jantung Athalia berdetak tidak nyaman, entah mengapa.“Sudah sampai, Nona. Maaf, tugas saya hanya mengantar Anda sampai sini. Silakan Anda temui Tuan Dean. Dia sudah menunggu Anda sejak tadi.”Athalia mengernyit sesaat, merasa heran mengapa sejak tadi pelayan itu hanya menyebut nama Dean.Hei, malam ini Athalia akan makan malam dengan dua orang. Bukan dengan Dean saja. Tapi Athalia tetap menganggukkan kepala dan membiarkan pelayan itu kembali tertelan pintu lift.Menarik napas pelan, Athalia memutar tubuh dan mengayunkan langkah.Dari kejauhan, ia bisa melihat seorang lelaki bertubuh tegap. Bahu lebarnya makin tercetak jelas di balik kemeja putih ketat yang dikenakannya.Athalia sudah menebak siapa lelaki itu yang saat ini membelakanginya dan menatap pada gedung-gedung pencakar langit yang menjulang kokoh di sekeliliMeski melihat ketulusan yang tersirat di wajah Dean, namun Athalia tak langsung terdiam. Ia menunduk, menatap pada cincin yang Dean persembahkan untuknya.Athalia meremas tangannya di sisi tubuh, meneguk ludah saat tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.Bingung harus menjawab apa, sebab Athalia merasa tak pantas untuk Dean. Apalagi sosok Mahesa sampai detik ini masih merajai hatinya.Berusaha memilih, akhirnya Athalia pun menggelengkan kepala.“Maaf, Pak Dean. Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku minta maaf.” Athalia mendorong pelan kotak cincin itu ke dada Dean, lalu ia membalikan badan dan hendak pergi meninggalkan lelaki itu.Akan tetapi, langkahnya seketika terhenti saat di depan pintu lift, Dirly berdiri dan menatapnya dengan sorot terluka.Ketika menatap bagaimana berkaca-kacanya mata bocah itu, Athalia merasa jantungnya ditikam oleh sembilu. Terasa menyakitkan.“Dirly,” bisik Athalia, dengan mata yang memanas.P
Tak ingin terus-menerus membiarkan gelisah merongrong dalam dada, juga rasa penasaran yang makin menggeliat di dalam benaknya.Mahesa memutuskan untuk mencaritahu tentang sedalam apa kedekatan Athalia dengannya? Juga tentang latar belakang wanita itu.Apa yang membuat Athalia tampak begitu nyata setiap kali melintas dalam pikirannya.“Dia selalu mendominasi otakku. Aku tidak bisa membiarkan pertanyaan ini berakhir tanpa ada jawaban. Aku yakin, seseorang terdekatku pasti bisa menjelaskan tentang Athalia,” gumam Mahesa sambil berdiri di depan cermin dan memasang dasi berwarna maroon di lehernya.Setelah rapi dengan stelan kemeja dan celana berwarna senada dengan jas yang akan ia kenakan, Mahesa menyambar tas kerjanya dan berlalu keluar kamar.Pagi ini akan ada meeting mingguan, Mahesa tahu itu. Tapi ia sudah menghubungi sekretarisnya untuk mengundurkan jadwal meeting, karena ia bangun sedikit kesiangan. Akibat dari ia kesulitan tidur semalaman.
Ternyata ada beberapa lembar foto di dalamnya. Mahesa mengamati foto itu dengan seksama. Detik kemudian ia terhenyak dengan mata yang menyipit tajam. Sementara Leuwis menautkan jemari di bawah dagu, menyeringai melihat reaksi terkejut Mahesa.“Lihat seberapa buruk wanita murahan itu? Bukankah dia terlihat menjijikan? Tidur dengan banyak lelaki kaya hanya untuk mendapatkan banyak uang. Bisa-bisanya kau pernah terjerat dengan godaannya. Kau menyentuh wanita bekas para lelaki hidung belang, lalu mengabaikan Kiran yang jelas-jelas tulus mencintaimu.” Leuwis sengaja memperburuk citra Athalia di depan Mahesa.Leuwis ingin menumbuhkan lebih banyak kebencian di dalam hati Mahesa terhadap wanita itu, agar Mahesa fokus pada hubungannya dengan Kiran dan berhenti penasaran dengan sosok Athalia. Tangan Mahesa sedikit gemetar, bersamaan dengan emosi yang meluap dalam dirinya.“Aku tak percaya kalau pernah sebodoh ini tergoda oleh wani
“Baiklah, kita berangkat ke sekolah sekarang!” seru Dean setelah mereka baru saja menyelesaikan sarapan.Athalia dan Dirly sama-sama bangkit dari kursi. Athalia mengambil tas Dirly yang tadi diletakan di atas kursi kosong, lalu membantu memakaikannya di punggung bocah itu.Mereka pun berjalan melewati pintu keluar.Dean membukakan pintu untuk Dirly dan Athalia. Setelahnya mereka masuk ke mobil, baru Dean mendudukan dirinya di balik kursi kemudi.“Dirly, kau yakin tidak ada yang tertinggal? Buku PR-mu?” tanya Dean, menatap Dirly melalui kaca spion yang menggantung di bagian atas mobil.Dirly yang duduk di belakang, menggeleng. “Tidak ada, Pa. Semuanya sudah kumasukkan ke dalam tas.”“Kau yakin?”“Ya.” Dirly menjawab, membuat Dean tersenyum puas.“Kerja yang bagus!” Dirly nyengir lebar saat mendengar pujian dari Dean. Sementara Athalia mengulum senyum tipis.Saat
Mendengar pertanyaan Mahesa, Dean melirik ke arah pintu yang menghubung ke bagian dalam restoran. Ia yakin kalau Athalia masih sibuk melepas rindu dengan teman-teman kerjanya.Dean pun kembali memutar kepala, menatap Mahesa.“Sebentar lagi dia akan ke sini. Nanti aku akan mengenalkannya,” ucap Dean. Mahesa mengangguk.“Oh ya, kenapa tiba-tiba kau ingin bertemu denganku? Hmm? Bukankah sebagai seorang CEO, harusnya kau sibuk berjibaku dengan pekerjaanmu di kantor?” Dean bertanya pada Mahesa setelah ia selesai meneguk air putih yang tersedia di dalam botol kaca, kemudian menepikan punggungnya dan menaikan kaki kanannya ke atas kaki kiri.Mahesa mendesah pelan, gurat lelah di wajahnya menunjukan bahwa ia sedang tak bersemangat hari ini.“Hari ini aku merasa penat dengan pekerjaan di kantor. Jadi kuputuskan untuk keluar sebentar,” jawab Mahesa, yang kemudian menumbuhkan kernyitan heran di kening Dean.Detik selanjutnya, De
“Athalia, makan yang banyak,” kata Dean, melirik pada piring Athalia yang masih penuh.Athalia meneguk ludahnya susah payah, mengangguk kecil.“Tidak, Dean. Aku sudah kenyang.”Dean mengernyitkan alis mendengar itu. “Kenyang apanya? Tadi kau hanya sarapan sedikit di rumah.”Dean tidak mengerti bahwa Athalia bukannya tidak lapar. Tapi bagaimana ia bisa makan, sementara di depannya, mata tajam Mahesa menatap penuh intimidasi.“Apa kau mau aku suapi?” tanya Dean, yang pertanyaannya berhasil membuat Athalia terkejut dan segera menoleh.Sedangkan Mahesa langsung menyipitkan mata. Sambil berpura-pura menikmati makanan di piringnya. Ia pun perlu kekuatan untuk menelannya susah payah. Demi tak muntah ketika melihat pemandangan menjijikan di depannya.Pasti Athalia sengaja bersikap manja agar Dean memperhatikannya, lalu menunjukan sikap mesra. Picik sekali wanita itu. Begitu pikir Mahes
“Athalia, Mahesa?” Dean melangkah mendekat, berdiri di antara Mahesa dan Athalia.Athalia tampak gelisah, sedangkan Mahesa menunjukan sikap biasa. Hanya berdiri kokoh sambil membenamkan kedua tangannya di saku celana.“Kupikir kau sudah pulang.” Dean menatap Mahesa.Mahesa tersenyum hambar. “Tadinya begitu, tapi aku melihat calon istrimu berdiri sendirian. Jadi aku mengajaknya ngobrol sejenak sampai kau datang.”Mendengar penjelasan Mahesa, Dean menyunggingkan senyum lebar. Kemudian menepuk pelan pundak Mahesa dengan bangga.“Kau ini tidak pernah berubah. Meskipun cuek tapi sangat perhatian pada orang lain.”Athalia mengangkat kepalanya, menatap Mahesa dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Namun tatapan itu dibalas oleh Mahesa dengan memberikan senyum sinis padanya. Segera Athalia mengalihkan pandangan ke arah Dean.“Terima kasih sudah menemani calon istriku. Kalau begitu kami pergi duluan. S
“Hallo, Dean. Kau ada di mana? Nanti malam sibuk tidak, kita pergi ke club bareng.” Mahesa berkata pada Dean yang ada di seberang telpon, sambil menempelkan ponselnya di telinga kanan.“Maaf, Mahesa. Aku tidak bisa.”Kening Mahesa berkerut dalam mendengar jawaban Dean.Tidak bisa, katanya?“Kau sibuk?”“Aku akan vitting baju pengantin bersama Athalia. Setelah itu, kami juga akan mencari cincin pernikahan. Jadi jadwalku padat hari ini,” jelas Dean di seberang sana, yang kemudian membuat Mahesa menghela napas panjang dan tersenyum kecut.“Benarkah? Jika sudah melakukan persiapan sematang itu, sepertinya kalian akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat,” ucap Mahesa, yang entah mengapa merasa ada yang remuk di dalam sana, di rongga dadanya.“Itu benar. Dan orang pertama yang akan kuundang pasti adalah kau.” Dean menjawab sambil terkekeh.Mahesa hanya menarik sebel
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s