“Hallo, Dean. Kau ada di mana? Nanti malam sibuk tidak, kita pergi ke club bareng.” Mahesa berkata pada Dean yang ada di seberang telpon, sambil menempelkan ponselnya di telinga kanan.
“Maaf, Mahesa. Aku tidak bisa.”Kening Mahesa berkerut dalam mendengar jawaban Dean.Tidak bisa, katanya? “Kau sibuk?”“Aku akan vitting baju pengantin bersama Athalia. Setelah itu, kami juga akan mencari cincin pernikahan. Jadi jadwalku padat hari ini,” jelas Dean di seberang sana, yang kemudian membuat Mahesa menghela napas panjang dan tersenyum kecut.“Benarkah? Jika sudah melakukan persiapan sematang itu, sepertinya kalian akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat,” ucap Mahesa, yang entah mengapa merasa ada yang remuk di dalam sana, di rongga dadanya.“Itu benar. Dan orang pertama yang akan kuundang pasti adalah kau.” Dean menjawab sambil terkekeh.Mahesa hanya menarik sebel“Jeruknya yang mana, Nona?” Bik Inah bertanya pada Athalia yang berdiri di sampingnya.Hari ini, mereka berdua sedang belanja di salah satu toko buah ternama di Jakarta.Athalia menoleh pada Bik Inah, lantas melempar senyum.“Yang mana saja, Bik. Yang terlihat paling segar.”Bik Inah mengangguk, dengan cekatakan memasukkan beberapa buah jeruk ke dalam plastik bening yang tadi diambilnya dari gulungan yang tersedia di masing-masing tempat buah.“Tuan kecil paling suka dengan buah jeruk, kita ambil banyak saja, Nona.” Bik Inah terlihat sumringah. Athalia mengangguk dan tersenyum mendengar ucapannya.Sebenarnya belanja buah-buahan ini bisa dilakukan oleh pembantu. Tetapi Athalia merasa bosan diam di rumah, sedangkan Dean sedang di restorannya. Jadi Athalia pikir tidak masalah jika ia menghilangkan penat dengan membantu tugas Bik Inah.Setelah selesai membayar, mereka pun berbalik
Langit mulai gelap, cahaya matahari sudah ditelan oleh pekatnya malam. Athalia duduk di tepi ranjang Dirly, mengamati wajah bocah itu yang telah sibuk menyelami alam mimpi. Athalia mendesah pelan, teringat kembali pada kalimat pahit yang Mahesa lontarkan siang tadi.“Alma sangat baik, tulus dan keibuan. Jelas dia lebih pantas untuk seorang Dean!”“Lebih baik kau menjajakan diri di club malam atau lemparkan saja tubuhmu pada mucikari berkelas. Kau pasti akan mendapatkan banyak uang di sana. Karena kau tidak lebih dari sekadar wanita murahan!”Athalia menghembuskan napas pelan, mencoba untuk menepis segala ucapan menyakitkan Mahesa dari pikirannya.“Entah apa yang membuatnya sangat membenciku. Bahkan kata-katanya terlalu menyakitkan untuk kutelan,” gumam Athalia lirih, sambil jemarinya tetap sibuk mengusap kening Dirly dengan gerakan seringan bulu.Athalia melamun, memikirkan mengapa akhir kisahnya bersama
Dean berdiri gelisah bawah tangga. Sesekali matanya terangkat melirik ke arah ujung tangga. Berharap seseorang yang sedang ia tunggu akan muncul di sana dengan gaun mewah berwarna ungu muda yang telah ia siapkan."Apa Athalia masih lama? Kenapa aku jadi gelisah begini?" Dean bergumam pelan, geleng-geleng kepala saat menyadari bahwa tingkahnya sudah serupa remaja yang baru jatuh cinta.Malam ini adalah malam pernikahan teman sekolahnya Dean yang bernama Danial. Dan tentu saja Dean akan pergi ke sana bersama pasangannya yaitu Athalia."Papa! Look! Bidadarimu sudah siap!"Suara Dirly yang berseru riang, terdengar di telinga Dean. Membuat Dean segera memutar wajah dan kembali mengarahkan pandangannya pada ujung tangga.Saat itu juga Dean terperangah membuka mulutnya. Tak bisa berkata-kata melihat sosok Athalia yang sedang berjalan menuruni tangga sambil sebelah tangannya dituntun oleh Dirly yang mengenakan piyama mickey mouse.
Setelah mengetahui bahwa Athalia adalah calon istri Dean, ada perasaan kesal yang bersarang di hati Kiran.Bagaimana tidak, menurutnya Dean cukup tampan dan tentu saja kaya. Athalia sama sekali tak pantas bersanding dengan lelaki seperti Dean, apalagi Mahesa.“Tapi sudahlah. Yang penting Athalia tidak akan lagi merebut Mahesa dariku,” batin Kiran, lalu menyunggingkan senyum tipis.Setelah meneguk sampanye hingga tandas, Kiran menaruh gelas kosong di meja dan melirik pada Mahesa yang duduk di hadapannya.“Sayang, aku ke toilet sebentar.” Kiran bangkit dari duduknya sambil mengusap punggung tangan Mahesa yang ada di atas meja.“Hemm … pergilah!” Mahesa berdeham malas.Kiran pun membawa tas selempangnya yang berharga puluhan juta, kemudian berlalu pergi meninggalkan Mahesa.Merasa bosan dan jengah dengan suasana pesta yang membuatnya pusing, Mahesa mengetuk-ngetukan jemari di meja.Sebenarnya ia bukanlah
“Athalia, lihat apa yang kubawa!” Dean berjalan mendekat, sambil melengkungkan senyum tipis yang membuat Athalia mendesah lega.Rupanya Dean sama sekali tak mendengar percakaian Athalia dan Mahesa tadi.Begitu juga dengan Kiran, yang datang-datang langsung mengapit lengan Mahesa dan bermanja ria. Membuat Mahesa berdecak pelan dan memutar bola matanya jengah.Sampai di depan Athalia, Dean menunjukan sebuah piring kecil di tangan kanannya pada Athalia.“Tadi aku tidak sengaja melihat ada pelayan yang membawa dessert. Aku tahu kau sangat suka dengan strawberry. Kau harus mencoba ini, Athalia. Rasanya sangat enak.” Dean berkata sambil menyendok dessert itu, kemudian menyuapkannya ke dalam mulut Athalia.Mau tak mau Athalia membuka mulut dan menerima suapan Dean. Mahesa yang melihatnya, langsung berdecik dalam hati.“Manja sekali dia! Makan saja sampai disuapi!” batin Mahesa tidak suka.Sialnya, entah mengapa ada hawa
Setelah pesta berakhir, Dean dan Athalia pun pulang.Kini Dean sedang sibuk menyetir dan memokuskan pandangannya ke depan, menatap jalanan yang malam ini terlihat sedikit lengang.Athalia yang sedari tadi membuang pandangan ke arah jendela, menikmati pemandangan lampu jalan dan pepohonan, kini mengalihkan matanya menatap Dean.“Kenapa? Hemm?” Dean tahu ada yang sedang Athalia pikirkan.“Mengapa tadi kau menciumku di pesta itu?”Dean menahan senyum mendengar pertanyaan Athalia yang membuatnya geli.“Kenapa memangnya? Apa kau merasa keberatan, Athalia? Apa aku harus menarik ciumanku lagi, atau justru aku harus mengulangnya yang kedua kali?” tanya Dean sambil melontarkan candaan.“Aku hanya merasa tidak enak dilihat oleh orang lain.” Athalia mencicit pelan, memainkan jemari di atas paha.“Oh oke, jadi aku harus melakukannya di tempat sepi? Begitu?” Dean menoleh, menaik-turunk
Namun Mahesa mengamati undangan itu dengan teliti. Ternyata Dean dan Athalia bukan akan menikah, melainkan bertunangan.Meski begitu, gemuruh di dada Mahesa tetap tak mereda."Hai sayang! What are you doing?" Mahesa segera melempar undangan di tangannya ke atas meja saat Kiran datang dan membuka pintu ruangannya tanpa mengetuknya terlebih dahulu.Kiran melangkah santai, membuat heelsnya menimbulkan suara detak langkah di penjuru ruangan itu."Terima kasih, Vani. Kau boleh kembali ke ruang kerjamu," ucap Mahesa, mengibaskan sebelah tangannya di depan wajah sebagai isyarat.Sekretaris berambut blonde itu mengangguk."Baik, Tuan Mahesa." lantas beranjak pergi menarik diri dari hadapan Mahesa.Setelahnya pintu tertutup kembali, Kiran memeluk Mahesa dari samping dan mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan lelaki itu."Sayang, bagaimana perasaanmu hari ini? Mengapa aku merasa sepertinya kau tida
Mobil mewah berwarna silver itu berhenti tepat di depan teras rumah kediaman keluarga Leuwis.Leuwis turun dari mobilnya dan mengayun langkah memasuki rumah. Ia baru saja pulang dari kantor."Tumben Papa pulang cepat malam ini," ucap Bianca yang tak sengaja berpapasan dengan Leuwis saat Leuwis melewati ruang tengah.Bianca sedang duduk santai di depan televisi sambil mengunyah cemilan di dalam toples.Leuwis menghentikan langkah, menatap Bianca yang mengerutkan kening padanya."Malam ini Papa ada acara. Jadi sengaja pulang lebih cepat," jawab Leuwis, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling."Mana Mama dan Ayaz? Mengapa mereka tidak terlihat?" tanya Leuwis pada Bianca yang langsung menaruh toples camilannya sambil membuang napas malas."Mama dan Kak Ayaz sedang pergi ke luar. Tidak tahu ke mana. Sepertinya urusan mereka sangat penting sampai tidak berinisiatif mengajakku," dengkus Bianca dengan sebal.Mendengar ucapan Bianca, seketika L
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s