Setelah pesta berakhir, Dean dan Athalia pun pulang.
Kini Dean sedang sibuk menyetir dan memokuskan pandangannya ke depan, menatap jalanan yang malam ini terlihat sedikit lengang.Athalia yang sedari tadi membuang pandangan ke arah jendela, menikmati pemandangan lampu jalan dan pepohonan, kini mengalihkan matanya menatap Dean.“Kenapa? Hemm?” Dean tahu ada yang sedang Athalia pikirkan.“Mengapa tadi kau menciumku di pesta itu?” Dean menahan senyum mendengar pertanyaan Athalia yang membuatnya geli.“Kenapa memangnya? Apa kau merasa keberatan, Athalia? Apa aku harus menarik ciumanku lagi, atau justru aku harus mengulangnya yang kedua kali?” tanya Dean sambil melontarkan candaan.“Aku hanya merasa tidak enak dilihat oleh orang lain.” Athalia mencicit pelan, memainkan jemari di atas paha.“Oh oke, jadi aku harus melakukannya di tempat sepi? Begitu?” Dean menoleh, menaik-turunkNamun Mahesa mengamati undangan itu dengan teliti. Ternyata Dean dan Athalia bukan akan menikah, melainkan bertunangan.Meski begitu, gemuruh di dada Mahesa tetap tak mereda."Hai sayang! What are you doing?" Mahesa segera melempar undangan di tangannya ke atas meja saat Kiran datang dan membuka pintu ruangannya tanpa mengetuknya terlebih dahulu.Kiran melangkah santai, membuat heelsnya menimbulkan suara detak langkah di penjuru ruangan itu."Terima kasih, Vani. Kau boleh kembali ke ruang kerjamu," ucap Mahesa, mengibaskan sebelah tangannya di depan wajah sebagai isyarat.Sekretaris berambut blonde itu mengangguk."Baik, Tuan Mahesa." lantas beranjak pergi menarik diri dari hadapan Mahesa.Setelahnya pintu tertutup kembali, Kiran memeluk Mahesa dari samping dan mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan lelaki itu."Sayang, bagaimana perasaanmu hari ini? Mengapa aku merasa sepertinya kau tida
Mobil mewah berwarna silver itu berhenti tepat di depan teras rumah kediaman keluarga Leuwis.Leuwis turun dari mobilnya dan mengayun langkah memasuki rumah. Ia baru saja pulang dari kantor."Tumben Papa pulang cepat malam ini," ucap Bianca yang tak sengaja berpapasan dengan Leuwis saat Leuwis melewati ruang tengah.Bianca sedang duduk santai di depan televisi sambil mengunyah cemilan di dalam toples.Leuwis menghentikan langkah, menatap Bianca yang mengerutkan kening padanya."Malam ini Papa ada acara. Jadi sengaja pulang lebih cepat," jawab Leuwis, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling."Mana Mama dan Ayaz? Mengapa mereka tidak terlihat?" tanya Leuwis pada Bianca yang langsung menaruh toples camilannya sambil membuang napas malas."Mama dan Kak Ayaz sedang pergi ke luar. Tidak tahu ke mana. Sepertinya urusan mereka sangat penting sampai tidak berinisiatif mengajakku," dengkus Bianca dengan sebal.Mendengar ucapan Bianca, seketika L
Dean dan Athalia telah hadir di tengah-tengah pesta pertunangan mereka yang meriah.Suara riuh tepuk tangan para tamu mengiringi senyum yang merekah di wajah keduanya. Athalia merasa gugup saat menyadari sebelah tangannya masih berada dalam genggaman tangan Dean.“Mengapa Dean tak melepaskan tanganku? Aku malu dilihat oleh banyak orang.” sambil menunduk, Athalia menyembunyikan wajah merahnya.Namun terdengar suara siulan seseorang yang membuat Athalia penasaran lalu mengangkat pandangannya, di depan sana, Dirly mengerling manja, sengaja memasang wajah menggoda agar membuat wajah Athalia kian memerah.“Mari kita mulai acara saling memasang cincinnya.” MC berseru, membuat Dean melepaskan tangannya dan Athalia mendesah lega.Akan tetapi, degup jantung Athalia mulai berpacu, menyadari sebentar lagi Dean akan menyematkan sebuah cincin yang akan mengikatnya sebagai tunangan.Sebelum itu terjadi, manik mata Athalia bergerak liar mencari
Semua mata menoleh ke arah Narsih yang berjalan mendekati Damar. Mata Damar berkilat tajam, menyiratkan amarah yang sedang memuncak di dadanya.“Lalu kau ingin aku menyebut putrimu dengan sebutan apa? Wanita terhormat? Begitu? Wanita terhormat mana yang pernah menjadi simpanan seorang lelaki hanya demi uang?” tanya Damar sambil mengangkat sebelah alisnya pada Narsih, kemudian mendengkus masam.“Sekarang juga bawa putrimu keluar dari rumah putraku! Aku tidak ingin pertunangan ini dilanjutkan. Hubungan mereka harus berakhir!” lanjut Damar dengan tegas.“Aku tidak setuju, Pa. Hanya aku yang bisa membatalkan pertunangan ini karena aku yang akan menjalaninya. Tanpa peduli seperti apa latar belakang kehidupan Athalia, aku tetap mencintainya.” Dean berkata tak kalah tegas, membuat Rita dan Damar merengutkan wajah mereka.Keduanya tak menyangka jika Dean ingin melanjutkan pertunangannya meski ia telah mengetahui masa lalu Athalia
Di dalam kamarnya, Athalia merenung sendirian, menangis tanpa suara. Ia duduk di tepi ranjang lalu mengusap pipinya yang basah.Athalia bukan hanya merasa malu setelah Bianca mempermalukannya di hadapan umum. Tapi juga Athalia merasa bersalah pada keluarga Dean. Pesta malam ini pasti akan menjadi pengalaman paling buruk bagi keluarga terhormat itu.Mencoba menulikan telinga, Athalia mengabaikan suara ketukan pintu yang disusul oleh suara Yasna.“Kak Athalia, buka pintunya, Kak! Jangan mengurung diri! Yasna mohon buka pintunya.”Athalia terdiam dan menunduk, kembali mengusap pipi saat air mata kembali menitik dan menganak sungai di sana.“Kak Athalia, jangan buat khawatir. Tolong buka pintunya, Kak!”Yasna masih berseru memanggil di balik pintu, tapi Athalia tak berniat menyahut.Sampai ketika terdengar suara halus Narsih, Athalia pun mengangkat kepalanya.“Athalia, ini Ibu. Kau juga tidak ingin bicara
“Pa, besok Mama akan ke sini lagi, [kan?” Dirly mengulangi pertanyaannya saat melihat Dean yang bergeming.Tak ingin membuat Dirly kecewa, Dean pun segera mengalihkan pembicaraan.“Dirly, ini sudah malam. Sebaiknya kau ke kamar dengan Nenek.”Dirly mendesah pelan seraya menurunkan bahunya. Merasa tak puas karena Dean tak menjawab pertanyaannya.“Ayo Nenek antar ke kamar, Dirly!”Meski masih ingin menanyakan tentang sang calon Mama pada Dean, tetapi Dirly akhirnya menurut dan mengikuti langkah Rita yang menuntunnya menuju kamar.Dean menangkap raut sedih di wajah anaknya dan demi apa pun, itu membuat ulu hatinya terasa sakit.Kini Dean beralih menatap pada Damar yang masih berdiri kokoh di hadapannya.“Apa sekarang Papa puas sudah membuat anakku sedih? Lihat apa yang Papa lakukan! Papa sudah merenggut kebahagiaan anakku!” Dean berkata ketus, mengepalkan tangan.Damar t
“Saya tak pernah melihat Nona Athalia keluar dari dalam kontrakannya selama beberapa hari ini, Tuan. Sesekali saya hanya melihat dia berjemur di depan rumah atau menyapu lantai. Kadang menyambut ibunya yang pulang sehabis berjualan,” ucap seorang lelaki yang saat ini sedang mengamati kontrakan Athalia dari kejauhan.Lelaki itu sedang berbicara dengan bossnya melalui sambungan telpon. Ia menyampaikan informasi yang ingin diketahui oleh bossnya itu.“Jadi dia sudah tak berkerja lagi di mana pun?” tanya Mahesa dari seberang telpon.Greg mengangguk. “Sepertinya begitu, Tuan.”“Tapi aku yakin kalau Athalia pasti membutuhkan pekerjaan. Wanita seperti Athalia tak pernah mau menyia-nyiakan peluang. Greg, kau bisa membantuku untuk melakukan sesuatu?”“Tentu saja, Tuan Mahesa. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?” tanya Greg dengan patuh.“Datang saja ke kantorku nanti malam. Aku tidak ingi
Malam hari, sebuah mobil berhenti di depan teras kontrakan Athalia. Pemilik mobil itu belum beranjak turun dari mobilnya. Matanya masih lurus mengamati pintu kontrakan itu yang tertutup.Athalia salah jika mengira Dean malu dan marah padanya karena tak pernah menemuinya setelah acara pertunangan yang gagal itu.Justru selama ini Dean membiarkan Athalia karena ingin memberikan wanita itu waktu untuk menenangkan diri.Kini Dean menarik napas sejenak, lalu bergerak turun dari mobilnya.“Semoga saja Athalia mau bicara denganku,” ucapnya sambil menyingsingkan lengan kemeja hingga menggulung ke siku, kemudian mengayun langkah dan berdiri di depan pintu.Dean mengangkat tangan, lalu mengetuknya.Tak berselang lama, terdengar suara langkah dari dalam sana yang bergerak untuk membuka pintu.Dean tersenyum saat daun pintu berayun terbuka dan sosok Athalia mematung di hadapannya.“De … an?”&ldq
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s