Di dalam kamarnya, Athalia merenung sendirian, menangis tanpa suara. Ia duduk di tepi ranjang lalu mengusap pipinya yang basah.
Athalia bukan hanya merasa malu setelah Bianca mempermalukannya di hadapan umum. Tapi juga Athalia merasa bersalah pada keluarga Dean. Pesta malam ini pasti akan menjadi pengalaman paling buruk bagi keluarga terhormat itu.Mencoba menulikan telinga, Athalia mengabaikan suara ketukan pintu yang disusul oleh suara Yasna.“Kak Athalia, buka pintunya, Kak! Jangan mengurung diri! Yasna mohon buka pintunya.” Athalia terdiam dan menunduk, kembali mengusap pipi saat air mata kembali menitik dan menganak sungai di sana.“Kak Athalia, jangan buat khawatir. Tolong buka pintunya, Kak!”Yasna masih berseru memanggil di balik pintu, tapi Athalia tak berniat menyahut.Sampai ketika terdengar suara halus Narsih, Athalia pun mengangkat kepalanya.“Athalia, ini Ibu. Kau juga tidak ingin bicara“Pa, besok Mama akan ke sini lagi, [kan?” Dirly mengulangi pertanyaannya saat melihat Dean yang bergeming.Tak ingin membuat Dirly kecewa, Dean pun segera mengalihkan pembicaraan.“Dirly, ini sudah malam. Sebaiknya kau ke kamar dengan Nenek.”Dirly mendesah pelan seraya menurunkan bahunya. Merasa tak puas karena Dean tak menjawab pertanyaannya.“Ayo Nenek antar ke kamar, Dirly!”Meski masih ingin menanyakan tentang sang calon Mama pada Dean, tetapi Dirly akhirnya menurut dan mengikuti langkah Rita yang menuntunnya menuju kamar.Dean menangkap raut sedih di wajah anaknya dan demi apa pun, itu membuat ulu hatinya terasa sakit.Kini Dean beralih menatap pada Damar yang masih berdiri kokoh di hadapannya.“Apa sekarang Papa puas sudah membuat anakku sedih? Lihat apa yang Papa lakukan! Papa sudah merenggut kebahagiaan anakku!” Dean berkata ketus, mengepalkan tangan.Damar t
“Saya tak pernah melihat Nona Athalia keluar dari dalam kontrakannya selama beberapa hari ini, Tuan. Sesekali saya hanya melihat dia berjemur di depan rumah atau menyapu lantai. Kadang menyambut ibunya yang pulang sehabis berjualan,” ucap seorang lelaki yang saat ini sedang mengamati kontrakan Athalia dari kejauhan.Lelaki itu sedang berbicara dengan bossnya melalui sambungan telpon. Ia menyampaikan informasi yang ingin diketahui oleh bossnya itu.“Jadi dia sudah tak berkerja lagi di mana pun?” tanya Mahesa dari seberang telpon.Greg mengangguk. “Sepertinya begitu, Tuan.”“Tapi aku yakin kalau Athalia pasti membutuhkan pekerjaan. Wanita seperti Athalia tak pernah mau menyia-nyiakan peluang. Greg, kau bisa membantuku untuk melakukan sesuatu?”“Tentu saja, Tuan Mahesa. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?” tanya Greg dengan patuh.“Datang saja ke kantorku nanti malam. Aku tidak ingi
Malam hari, sebuah mobil berhenti di depan teras kontrakan Athalia. Pemilik mobil itu belum beranjak turun dari mobilnya. Matanya masih lurus mengamati pintu kontrakan itu yang tertutup.Athalia salah jika mengira Dean malu dan marah padanya karena tak pernah menemuinya setelah acara pertunangan yang gagal itu.Justru selama ini Dean membiarkan Athalia karena ingin memberikan wanita itu waktu untuk menenangkan diri.Kini Dean menarik napas sejenak, lalu bergerak turun dari mobilnya.“Semoga saja Athalia mau bicara denganku,” ucapnya sambil menyingsingkan lengan kemeja hingga menggulung ke siku, kemudian mengayun langkah dan berdiri di depan pintu.Dean mengangkat tangan, lalu mengetuknya.Tak berselang lama, terdengar suara langkah dari dalam sana yang bergerak untuk membuka pintu.Dean tersenyum saat daun pintu berayun terbuka dan sosok Athalia mematung di hadapannya.“De … an?”&ldq
Damar mengamati Dirly yang wajahnya memang tampak sendu dan tak terlihat sedikit pun senyum di sana.Sementara itu, Dean melangkah melewati pintu utama dan masuk ke dalam mobilnya.Tanpa bisa ditahan, ia meluapkan emosi pada Damar dengan menyentak keras setirnya dan menggeram kesal.“Mengapa sulit meyakinkan mereka betapa tulusnya dirimu. Mengapa mereka hanya menatapmu dengan sebelah mata? Aku tidak akan berhenti memperjuangkanmu, Athalia. Aku akan berjuang sampai aku bisa membuat ending yang bahagia untuk kisah kita berdua,” ucap Dean dengan lirih.***“Apa? Kakak akan melamar kerja di PT Atmajaya?” Yasna memekik terkejut setelah mendengar apa yang baru saja Athalia katakan padanya.Mereka sedang duduk di kursi ruang tengah, sedangkan Narsih sedang di kamarnya.“Sssttt … pelan-pelan!” segera Athalia membekap mulut Yasna dan menempelkan telunjuk di depan bibirnya. “Nanti Ibu bisa dengar.”
“Aku tidak sedang mengemis pekerjaan padamu. Bahkan aku tidak tahu kalau pemilik perusahaan ini adalah kau,” ucap Athalia, menyangkal perkataan Mahesa.Mahesa menyeringai, menautkan kedua tangannya di bawah dagu dan menatap Athalia dengan tatapan meremehkan.“Harusnya kau mencaritahu dulu informasi lengkap tentang perusahaan yang akan kau datangi. Tapi tidak apa, Athalia. Aku akan tetap memberimu pekerjaan di sini. Karena aku tahu kalau kau sedang mengalami kesulitan finansial. Kau sudah tidak mendapat uang dari Dean, bahkan kudengar pertunangan kalian pun dibatalkan dengan cara yang sangat tidak terhormat,” ucap Mahesa, lalu geleng-geleng kepala, menampilkan wajah iba pada Athalia.Tapi Athalia tahu jika Mahesa tak benar-benar iba padanya.“Itu bukan urusanmu. Hal itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan perusahaan ini. Aku datang untuk melamar kerja, bukan untuk membicarakan urusan pribadi.”“Just
“Mahesa, katakan padaku, apa yang kau rasakan?” Athalia bertanya, menatap dengan raut khawatir.Sakit di kepala Mahesa perlahan hilang, kini matanya terpaut dengan manik mata Athalia yang cokelat muda.“Jauhkan tanganmu dari pundakku!”Athalia tercenung sesaat setelah mendengar suara ketus Mahesa. Tatapan lelaki itu kembali tajam ke arahnya.Jadi, Mahesa masih belum bisa mengingat tentang kisah mereka? Athalia harus menelan kekecewaan dalam hati.“Maaf.” segera ia menjauhkan tangannya dan bangkit berdiri, begitu pun dengan Mahesa yang menepuk-nepuk pelan jasnya.Athalia menunduk, menyembunyikan riak sendu di wajah cantik itu.“Aku berubah pikiran, aku tidak bisa mempekerjakanmu di perusahaan ini,” ucap Mahesa yang seketika membuat Athalia mengangkat kepala dan mengernyitkan alis.“Tapi kau jangan khawatir, Athalia. Ada pekerjaan lain yang kurasa lebih cocok untukmu.”
Ini sudah larut malam. Namun Mahesa tak beranjak menuju kamarnya untuk tidur atau sekadar beristirahat. Padahal pekerjaan di kantor hari ini cukup melelahkannya.Dan sekarang, Mahesa mengangkat gelas berisi sampanye, meneguknya hingga tandas. Entah gelas keberapa yang ia habiskan kali ini. Yang jelas, kepalanya sudah mulai berdenyut.Tapi amarah, kekesalan dan semua yang tertahan di dalam dadanya ingin ia luapkan dengan minum sepuas yang ia bisa. Kalau perlu sampai ia benar-benar puas dan mabuk.“Papa pikir kau sudah tidur.” tiba-tiba suara Leuwis terdengar tak jauh di belakang tubuhnya.Mahesa malas untuk menoleh, ia mencoba abai dan melanjutkan minumnya.“Apa yang sedang mengganggu pikiranmu sampai kau minum sebanyak itu?” tanya Leuwis melangkah menghampiri Mahesa.“Bukan urusan Papa.”“Tentu menjadi urusan Papa karena kau anak Papa.”Mahesa meletakkan gelas di atas meja minibar, ke
Begitu mendengar kabar dari Bik Inah bahwa cucu mereka sedang sakit, Rita dan Damar langsung pergi ke rumah Dean. Bahkan mereka sampai rela membatalkan penerbangan ke Surabaya hanya agar bisa melihat keadaan Dirly.Hancur hati mereka saat melihat kondisi Dirly yang lemah. Sebelah tangannya dihias oleh selang infusan.“Dirly, ayo makan dulu! Nenek suapin ya, sayang.” duduk di samping ranjang Dirly, Rita menyodorkan sendok ke depan mulut cucunya, berharap Dirly mau membuka mulut dan menelan makanannya.Namun bocah itu tetap terdiam. Hanya menunduk dengan tatapan yang lesu.“Dirly, kau ingin pergi ke toko buku dan membeli koleksi komik lagi, ‘kan? Papa akan mengajakmu ke sana. Tapi kau harus menghabiskan makananmu. Apa kau masih ingat yang pernah Papa katakan? Jagoan tidak pernah cengeng.” Dean berkata karena melihat mata Dirly yang memang memerah tanda habis menangis.Sejak tadi pagi, Dirly belum memasukan apa pun ke dalam p
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s