Sampai juga di tempat yang dijanjikan si penagih hutang itu.“Tuan, anda juga mau ikut bertemu dengan mereka?” Vanesha yang baru turun dari mobil, melihat majikannya juga ikutan turun dan berdiri di belakangnya mengikutinya.“Ya. Siapa tahu kau dibodohi mereka lagi.”“Tapi Tuan-“Sudah, ayo pergi. Kau lihat mereka sudah menunggu?”Tidak bisa melarangnya, Vanesha pun membiarkan Raditya ikut bersamanya.Tiga orang pria, dengan kemeja bunga-bunga dan dua kancing dari atas sengaja dibuka, juga kalung yang terlihat seperti emas, ada di leher mereka.“Wah, kau membawa pacarmu ya?” orang yang memimpin, mengeluarkan asap rokoknya, melirik sinis pada Raditya.“Dia bukan pacarku, Bang. Tapi dia majikanku.”“Hah? Majikan? Dia? Hahahaha.” Dia tertawa, diikuti teman-temannya yang ikutan tertawa, “Apa kau menjual tubuhmu untuknya?”“Kau salah paham, Bang! Aku hanya mengambil gajiku, bukan berhutang padanya! Ini, ambil uangnya dan pergilah!” Vanesha mengeluarkan semua uang yang sudah dia sisihkan un
Vanesha turun dari mobil, dan para tetangga sudah berdiri disekitar mobil untuk melihat siapa pemilik mobil tersebut.“Anda mau langsung pergi, atau mau turun dan bertemu dengan ayah saya, Tuan?” tanya Vanesha pada Raditya yang masih duduk di dalam mobil.“Tidak, aku mau langsung pulang saja. Aku merasakan aura negatif di sini.” Maksudnya adalah para tetangga yang sedang mengintip. Raditya tidak mau mereka melihatnya dengan tatapan sinis dan penasaran.“Kalau begitu-“Vanesha? Kamu sudah pulang?” mungkin karena mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumah, dan hapal juga karena waktu itu puterinya pernah membawa mobil dengan suara yang sama, makanya Bayu segera keluar, membukakan pintu untuk puterinya.“Ayah. Kenapa Ayah keluar dari kamar?”“Ayah membukakan pintu untukmu, Nak. Kau…” Ayah dan Raditya saling bertemu mata, “Siapa dia Nak?”“Mmm, Ayah, dia adalah majikanku.” Vanesha menjawabnya dengan berbisik.“Majikanmu? Ayah ingin bertemu dan bicara padanya.” Bayu berjalan kearah
“Kalian mau ke mana?” Joko baru bangun. Dia melihat Gema dan Melody bersiap pergi dari rumahnya.“Mas, kami mau pulang dulu ya.”“Pulang? Kok cepat sih Sayang?”“Iya nih Mas. Nanti kita main ke sini lagi.”“Oh, iya, iya. Hati-hati di jalan ya. Itu, si Desi gimana? Dia tadi pagi berangkat sekolah kan?”“Iya Mas, aku sudah kirim pesan padanya untuk langsung pulang ke rumah saja nanti.”“Begitu ya. Nanti sampai di rumah, kabarin Mas ya. Jangan ragu untuk datang lagi ke sini, Melody juga.” Joko ingin menyentuh pipi Melody, tapi gadis itu menjauhkan wajahnya karena jijik. Gema menasihati puterinya agar bersikap bosan, dan sebenarnya Joko kesal karena diabaikan, “Tidak apa-apa, jangan marahi Melody. Kalian naik apa? Punya ongkos?” Joko mengeluarkan dompetnya.“Mau naik angkot aja Mas, biar ongkosnya cukup.” Padahal dia masih punya uang untuk bisa naik taksi, dan malah itu masih banyak.“Jangan dong, jangan naik angkot umum, naik taksi saja. Ini, ambil ini buat bayar ongkos kalian ya.” diber
“Bu? Bu?”“Eh… Desi sudah pulang sekolah ya.” bukan ibunya yang keluar, tapi Joko. Joko keluar dari kamarnya hanya memakai sarung dan kaos dalam.“Om, ibuku di mana ya?” tanya Desy yang baru pulang sekolah.“Om gak tahu. Mungkin dia keluar sebentar. Kamu mau ganti baju dulu, Des?”Desi tidak nyaman, tapi tidak berani menunjukannya.“Oh iya Des, pijitin Om lagi dong. Bahunya sakit banget nih. Nanti Om kasih uang jajan lagi kayak waktu itu. Uang jajannya lumayan besar loh.” Joko berusaha membujuk dan merayu Desy.“I-iya Om. Desi ganti baju dulu.”“Iya, iya, Om tunggu di kamar ya.”Joko melihat Desi yang masuk ke dalam kamar, biasanya dia dan ibunya pakai buat tidur. Tanpa merasa curiga sedikitpun tentang keberadaan kakak dan ibunya, Desy hanya mengganti pakaiannya.Tidak lama kemudian, Desi masuk ke dalam kamar Joko, “Om?”“Kamu sudah datang, Desi?” Joko menaikan sarungnya keatas, dan jadi lebih pendek ke bawah.“Nih, tadi Om buatin kamu jus mangga, kamu suka jus mangga kan?”Desi mener
“Hmm…” Desi membuka matanya pelan.‘Aku ada di mana? Rasanya kepalaku berat sekali.’ Desi berusaha mengangkat kepalanya, “Hm? Kenapa aku ada di sini?” dilihat dirinya berbaring di kamar orang lain.“Kau sudah bangun, Desi?” Joko masuk lagi ke kamarnya.“Om? Ke-kenapa aku di… sini? Akh… shh… sakit.” Desi merasa bagian bawahnya perih, “Om! Apa yang kau lakukan padaku?!” Desi berteriak.“Sshhhtt, pelankan suaramu kalau kau tidak mau malu.”Desi menarik selimut yang menutupi tubuh telanjangnya. Dia sangat takut, untuk menjerit saja pun suaranya serak.“Rupanya kau sudah tidak perawan ya? Sayang sekali, aku jadi kecewa. Padahal, kalau kau perawan, rasanya pasti lebih nikmat.”Desi berusaha menjauh dari pria mesum itu.“Bagian bibir bawahmu juga, bentuknya sudah seperti jengger ayam. Bagaimana reaksi ibu dan kakakmu kalau tahu kau sudah jadi anak nakal ya?”“Om, ja-jangan beritahu Ibuku. Aku mohon.”“Sssh… tenang saja. Om tidak akan memberitahukannya. Tapi, kau tahu kan?” Joko mengusap pipi
Raditya sebenarnya sengaja menunggu kedatangan Vanesha. Awalnya menunggu, malah ketiduran sampai Vanesha datang membangunkannya. Karena ada kesempatan, dia pun menarik Vanesha untuk berbaring disampingnya.Aroma shampoo dari rambut Vanesha yang sudah kering, tercium dihidung Radit.Untungnya Vanesha sempat menyilangkan kedua tangan di dadanya sebelum pria itu menyentuh atau mungkin meremasnya. Tapi, dia harus pasrah ketika tangan itu malah meremas perutnya.“Tuan, apa masih belum cukup? Anda harus bangun. Kalau anda terlambat, sutradara dan pak Hendrik juga akan memarahi saya.”Deg! Deg! Deg!Saking punggungnya menempel dengan dada Radit, dia bisa merasakan detak jantung Raditya yang berdetak normal.Terasa geli, rupanya Raditya menempelkan bibirnya dikulit leher belakang Vanesha. Bulu kuduknya sampai berdiri karena merinding.“Akh! Anda tidak bisa begini terus!” dia berusaha mengumpulkan tenaganya untuk melepas diri dari pelukan itu. Bukannya melepaskan Vanesha, malah Radit mendesah
“Bagus, aku sudah mendapatkan foto yang terbaik. Dia pasti akan malu dan memohon padaku untuk tidak menyebarkan foto ini.”Scene pertama sudah selesai dilakukan, dan sekarang sedang break syuting. Raditya duduk di kursi yang selalu Vanesha bawa dan di simpan di bagasi mobil.“Tuan, ini minuman anda.” Vanesha memberikan satu botol air mineral yang dingin.“Apa kau bawa hamburger yang aku minta?”“Iya, Tuan. Ini.”Raditya hanya mengambil satu bagian saja, “Sisanya kau makan saja.”“Hm? Ini buat saya, Tuan?”“Jangan banyak tanya sebelum aku berubah pikiran.”“Iya, iya, terima kasih, Tuan.”‘Asik, dapat hamburger yang banyak keju dan dagingnya.’Vanesha tidak ingin makan didekat majikannya karena ada beberapa artis lain dan orang penting di sana. Dia tidak ingin mengganggu atau menjadi pusat perhatian.‘Gak ada Lili, rasanya asing banget karena harus sendiri di sini.’“Hey kau!”“Iya?” dengan mulut yang mengunyah, melihat seorang wanita berdiri di sampingnya.“Kau pelayannya Raditya kan?”
“Lili….” Betapa senangnya Vanesha ketika melihat Lili bersama artisnya di lokasi syuting. Lili dan Vanesha saling berpelukan di depan para majikannya.“Akh… aku senang sekali melihatmu di sini.” Ucap Vanesha dengan wajah melas seperti baru mendapatkan cahaya harapannya.“Lebay sekali!” sindir Raditya menikmati air minumnya.“Hay Radit, apa kabar?” Almira menyapa Radit yang menjadi lawan mainnya di film tersebut.Apa yang Radit lakukan? Dia dengar, tapi dia malah mengabaikannya.‘Apa majikanku gak bisa gitu membalas sapaan orang lain dengan tulus?’“Nona Almira, apa kabar?” agar tidak merasa tersinggung dan malu, Vanesha menyapanya duluan.“Vanesh, kabar baik. Kamu gimana? Apa kamu masih betah bekerja dengannya?” liriknya pada Radit.“Kabar saya juga baik kok, Nona. Saya….” Dia juga melirik Radit, “Saya masih betah bekerja pada tuan Raditya.”“Aku pikir kamu gak betah. Secara, dia memiliki sifat acuh maksimal seperti itu.”“Vanesh! Apa yang kau lakukan? Cepat bawakan selimutku!”“Iya T
Sudah dua minggu sejak Raditya mengutarakan perasaannya pada Vanesha, dan masih tidak berubah pikiran. Malahan, dia semakin manja dan bergantung pada Vanesha, setiap menit.“Permisi, dengan nona Vanesha?” seorang kurir menghampiri Vanesha yang sedang menunggu Raditya syuting.“I-iya? Itu aku?”“Ini, pesanan makanannya. Semuanya sudah dibayar, tinggal diterima saja.”“Oh iya, terima kasih Pak.” Setelah menerima pesanan yang ternyata isinya makanan, Vanesha melihat Raditya. Pria itu, melambaikan tangan dan tersenyum padanya.Karena disuruh untuk istirahat, Raditya datang dan menghampiri Vanesha, duduk disampingnya, dan menyandarkan kepala dibahunya, “Hah…”“Tuan, makanan ini, apa anda mau langsung memakannya?”“Sudah aku bilang jangan panggil aku ‘Tuan’. Aku kan sudah melarangmu.”“Mana bisa saya melakukan itu. Namanya tidak sopan.”“Kan aku yang suruh. Pokoknya, aku akan marah kalau kau melakukan itu lagi.”“Tapi-“Makanannya sudah datang kan? Tapi, kenapa tidak kau makan? Sampai sudah
Keadaan Sulastri sudah semakin membaik. Dia sekarang berbaring diranjangnya, dan Radtiya juga Vanesha masih disana untuk menjaganya. Raditya mulai bisa menyentuh dan dekat dengan ibunya, padahal sebelumnya belum pernah bisa berdiri dengan jarak yang dekat.Karena ibunya sudah tenang dan tidur, Dokter Ivan mengajak mereka berdua untuk pergi dan membiarkan Sulastri beristirahat sendiri.“Saya terkejut, karena hari ini, nyonya Sulastri lebih ramah dari sebelumnya. Walau sempat tadi dia mengamuk dengan pak Surya. Tapi saya tidak menyangka dia akan luluh dengan anda.” Kata dokter Ivan memberi pujian.“Tentu saja dok. Namanya juga hubungan ibu dan anak, darah itu pasti mengalir dan saling mengenal.” Kata Vanesha.“Sayang sekali, pak Surya sudah pergi karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”“Aku tidak perduli!”“Tuan..” Vanesha menegurnya pelan.“Kalau begitu, saya akan meninggalkan kalian dulu, permisi ya.”Sekarang hanya tinggal Vanesha dan Raditya.“Tuan, anda juga harus dioba
Beberapa hari kemudian. Surya merindukan mantan isterinya, Sulastri. Dia pun berniat untuk pergi lagi ke rumah sakit jiwa, padahal sebelumnya dia sudah menemui Sulastri walau mantan isterinya tidak mengetahuinya.“Dimana dokter Ivan?” tanya Surya pada rekan dokter Ivan karena dia tidak menemukan dokter yang biasanya mengurus Sulastri.“Dokter Ivan sedang mengantarkan dua orang untuk menemui pasien.”“Apa? Dua orang? Siapa mereka?”“Maaf Pak, saya tidak tahu. Hanya itu saja pesan dari dokter Ivan.”“Ya sudah, terima kasih.” Tapi, Surya sendiri yang akan pergi menemui Sulastri, juga dia tahu dimana tempatnya.Tap!Langkah kakinya berhenti ketika dekat dengan Sulastri, dan dua orang yang dia kenal, “Raditya?” dia memanggil nama puteranya.“Pak Surya?” tapi Vanesha yang merespon Surya, sedangkan Raditya hanya melihatnya saja.Surya mendekati mereka, disana juga ada dokter Ivan.“Apa yang kau lakukan di sini, Radit?”“Kau sendiri? Kenapa kau datang ke sini?” pertanyaan ketus dari Raditya.
“Mmm… Tuan, apa yang kita lakukan di dapur ini?” Vanesa curiga.‘Apa sebentar lagi dia akan mencumbuku di sini? Selera yang aneh. Tapi… ah, biarkan sajalah. Yang penting hutangku berkurang dan dia tidak marah-marah.’“Buatkan nasi goreng untukku.”“Ya saya akan melakukan selera aneh anda…. Eh? Ma-maksudnya…. Nasi goreng?”‘Maksudnya gaya ‘Nasi goreng’ kah? Ba-bagaimana gaya itu ya?’Cetak!“Auuchh…” Vanesha memegang keningnya yang dijentik pelan oleh Raditya.“Apa yang kau pikirkan? Aku bilang, buatkan aku nasi goreng. Kau sudah banyak makan kan? Apa kau pikir aku tidak lapar?” Raditya berpangku tangan menunggu pergerakan Vanesha.“Nasi goreng… beneran nasi goreng kan? Beras yang sudah jadi nasi, lalu di goreng di penggorengan pakai garam-“Iya! Bawel banget sih. Cepat buatkan aku nasi goreng, dan harus enak. Telurnya dua, yang di mata sapi kan satu, lalu yang di orak-orek satu. Pedasnya sedang, dan jangan terlalu banyak minyak dan garamnya.”Vanesha masih bingung, “Dengar gak?” tanya
Padahal tadinya, suasana sedang hangat dan ramah. Tapi, entah apa yang Andre bisikan padanya, raut wajah Surya jadi murung bercampur kesal. Terasa sekali perubahannya.“Maafkan saya, sepertinya hari ini cukup di sini dulu. Lain waktu, mari kita berkumpul dan mengobrol seperti ini. Vanesha, kau juga harus tetap ikut ya.” Surya berdiri dari kursinya dan tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada mereka.“Iya Pak, terima kasih. Tapi, anda belum makan loh.”“Saya bisa makan nanti. Karena ada urusan yang sangat mendesak sekali hari ini. Radity, Ayah pergi dulu. Jaga kesehatanmu.”Tapi Raditya tidak menjawabnya.‘Yah.. paling tidak, Tuan Radity tidak marah.’Buru-buru, Andre dan Surya pergi meninggalkan mereka.“Ya, kalau begitu, aku juga harus pergi.”“Anda mau ke mana, Pak Hendrik?”“Mau pulang menemui calon kakak iparmu. Sebentar lagi kan, kami akan menikah. Oh ya, mungkin selama aku menikah, Vanesha pasti akan semakin banyak kerjaan dan kerepotan. Mohon bantuannya ya. Nanti, kamu akan ak
“Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?”‘Pertanyaan jebakan ini. Kalau jujur sih, enggak mau. Apalagi tempremental anda yang tinggi ini.’“Ah, sudahlah. Kau hanya diam saja, berarti memang tidak mau.” Raditya kembali melihat kedepan lagi.Vanesha tidak mau membahasnya lagi. Pokoknya, dia mau segera sampai di tujuan agar dia bisa lega.“Sekarang, kau tidak mau. Tapi, ketika mengetahui masa laluku, kau pasti semakin tidak mau, dan mungkin kau akan pergi jauh.”“Mm… Tuan? Memangnya.. ada masa lalu apa?”Raditya kembali melihat Vanesha, kau dengar kan tadi, kalau ibuku berada di rumah sakit jiwa.”“Ya saya tauh… ups…” dengan tangan kanannya ia menutup mulutnya.‘Astaga, kenapa aku tidak bisa mengontrol omongan yang keluar dari mulutku sih?“Apa? Kau tahu kalau ibuku ada di rumah sakit jiwa?” caranya melihat Vanesha seperti menangkap basah akan kesalahan Vanesha.“Itu… kan anda bilang tadi. Juga, disana, mulut anda sendiri yang bicara dan kebetulan saya mendengarnya-“Tidak. Dari cara re
“Saya… saya hanya anda nanti, tidak menyesalinya…?”Raditya tiba-tiba memeluknya. Vanesha kebingungan, dia pikir, dia akan mendapat perlakukan kasar dari bos-nya, ternyata tidak.“Tu-Tuan?” panggilnya dengan lembut.‘Apa dia… sangat sedih ya?’“Aku benci padanya. Dia… dia sudah menyakitiku dan ibuku. Aku… membencinya.” Suaranya memelan, masih menyembunyikan wajahnya dibahu Vanesha.Vanesha kasihan pada Radit. Dia jadi tidak bisa memaksa atau kecewa padanya lagi. Untuk menenangkannya, Vanesha mengusap punggung Radit, “Tuan, tidak apa-apa anda membencinya, tapi… anda yang akan terus sakit hati dan tidak tenang memiliki dendam pada ayah anda. Maaf, saya tahu, rasanya pasti sangat berat memaafkan orang yang sudah menyakiti kita dari dulu.”Raditya tidak mengatakan apa-apa, tapi dia mengeratkan kedua tangannya memeluk Vanesha.“Anda tahu kan? Kalau saya juga memiliki ibu tiri dan saudari tiri. Sudah berapa kali, saya sakit hati dan kecewa padanya. Sering berhutang, kabur, dan menyakitiku b
Vanesha bisa merasakan suasana yang menegangkan diantara Surya dan Raditya. Vanesha berharap, mereka berdua tidak bertengkar hebat dan membuat keributan.Untungnya Surya tidak membahasnya lagi, karena tangan Raditya sudah dikepalkan dan rahangnya mulai mengeras.“Radit, ini.” Surya mengeluarkan map berwarna cokelat yang masih dillitkan talinya, diberikan pada Raditya. Pria muda itu, hanya melihatnya saja, tanpa mau mengambilnya, ‘Apa itu?’ kecuali Vanesha yang penasaran.“Vanesha, tolong kau buka, dan bacakan apa isinya supaya Raditya tahu.”“Iya Pak-“Jangan menyentuhnya!” larangan dari Radity, membuat tangan Vanesha berhenti.“Kenapa, Tuan? Anda kan tidak tahu apa isinya.”“Pokoknya jangan dibuka! Walau aku tidak tahu, tapi aku tidak mau tahu isinya.”“Apa kau takut mengakui kemenanganku, Radity?”“Hmp!”“Aku juga ingin memberitahukan pada Vanesha. Memangnya salah? Vanesha, tolong buka dan bacakan.”“Ta-tapi…” Vanesha ragu dan melihat Raditya yang memancarkan aura bencinya.“Tidak a
Ceklek!Andre terkejut ketika melihat isteri atasannya tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang kerjanya.“Nyonya Widya, apa yang anda lakukan di sini?” dirinya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang Surya perintahkan.“Andre, dimana suamiku? Kenapa dia tidak ada di ruangannya?”“Ya? Apakah anda baru dari sana?”“Andre, kalau kau tidak tahu, aku tidak akan datang kesini dan menemuimu untuk buang-buang waktu.” Widiya berpangku tangan menatap rendah pada Andre.“Nyonya Widya, saya juga tidak tahu kemana pak Surya. Karena saya pikir, beliau memang masih ada di sana.”“Andre, tidak mungkin kau tidak tahu kemana dia. Cepat katakan!”“Hah… Nyonya Widya, apa anda pikir, kalau Pak surya tidak akan marah dan kecewa pada anda yang seperti ini? Seharian ini, saya diberi banyak pekerjaan dan tidak bisa keluar dari ruangan ini kalau belum menyelesaikannya. Jadi, bagaimana saya bisa tahu beliau ada di mana? Kalau di ruangannya tidak ada?”‘Benar-benar menyebalkan. Mentang-mentang dia adalah isteri da