"Uwaw." Duta menurunkan kacamata hitam yang ia gunakan ketika melihat Archie dengan pakaian pink neonnya berjalan mendekat.
Bernard memutar matanya malas. Matanya saja sudah sakit dengan pakaian Duta yang berwarna kuning neon, sekarang datang Archie dengan pakaian pink neonnya. Sekilas saja ia sudah dapat menebak bahwa kedua orang ini akan menjadi teman akrab ketika melihat selera pakaian mereka yang sama.
"Hei, yo! Apa kabar, kawan." Duta menepuk pundak Archie, nadanya terdengar bersemangat.
Archie mengelus pundaknya yang terasa nyeri, ia tersenyum tipis, masih belum terbiasa dengan sikap kasar Duta.
"Hei, Bernard! Lihatlah! Kau bilang aku berlebihan, tapi lihat anak ini!" Duta tertawa semangat, sedari tadi suasana hatinya sedikit buruk karena mendegar ocehan Bernard tentang gaya berpakaiannya yang terkesan nyentrik.
Bernard kembali memutar matanya, ia bergeser 5 langkah ke kanan, menjauh dari dua pemuda aneh itu. Matanya menatap peserta-peserta lain disekitarnya dengan tatapan 'aku tidak kenal mereka'.
Sedari tadi, ia sudah mencoba menebalkan wajahnya ketika berjalan berdampingan dengan Duta, sekarang wajahnya sudah benar-benar tak bisa lebih tebal lagi. Archie yang tadinya menjadi satu-satunya harapan, ternyata tak jauh berbeda dengan Duta.
"Lihat, kupluk ini!" Duta menarik kupluk berwarna pink neon dari kepala Archie, menampilkan rambut pendek, hampir botak, milik Archie.
"Hei!" Archie mencoba merampas kupluk miliknya dari tangan Duta.
Duta menarik kupluk berwarna kuning neon dari kepalanya dan memberikannya kepada Archie, "Kau pakai ini kawan. Kini kita akan tampak seperti Pemuda Gaul dari Menara Kota."
Melihat tak ada tanda-tanda dari duta untuk menyerah, ia mengambil kupluk kuning neon milik duta dan mengenakannya dengan pasrah.
'Hah...entah hal buruk apa yang pernah ku perbuat sampai-sampai aku harus berhadapan dengan orang seperti ini,' Archie membatin.
Dua buah bus kota berwarna kuning yang masing-masing bermuatan 25 kursi datang tepat waktu. Bus ini memiliki dua buah pintu yang terletak di tengah, satu pintu di sisi kanan bus, dan pintu lain di sisi kiri bus.
"Oke, kawan. Bus mana yang mau kau naiki?" Badan Duta bergerak seperti cacing kepanasan, sedari tadi mencoba menirukan gaya anak-anak gaul menara kota yang tadi ia lihat di televisi kamar.
Tanpa sepatah kata, Archie naik ke dalam bus yang berhenti tepat dihadapannya.
"Oke! Anak kampung memang tak terbiasa dengan gaya anak kota. Tak apa, aku memakluminya." Duta mengikuti Archie dari belakang. Mereka duduk di kursi paling belakang dengan Archie yang duduk di dekat jendela.
"Kawan, mungkin kau akan sedikit mual mengingat kau yang baru pertama kali menaiki transportasi seperti ini. Kudengar, di kecamatan 13 kalian menggunakan sepeda sebagai alat transportasi sehari-hari bukan?"
Archie mengangguk. "Itu karena Kecamatan kami tidak terlalu besar."
"Benarkah? Kudengar hal itu karena kecamatan kalian adalah yang termiskin dibandingkan yang lain." Nadanya tak terdengar mengejek. Walaupun itu fakta, entah kenapa hati Archie merasa kesal.
"Bukan miskin. Lebih tepatnya mendapat anggaran paling sedikit."
"Bukankah itu sama saja? Itu sama saja kan, Bernard?" Duta bertanya kepada Bernard yang baru masuk ke dalam bus.
"Apa?"
"Kecamatan 13 itu miskin."
Archie melipat tangannya, menarik nafasnya dalam, dan menghembuskannya pelan, mencoba bersabar.
"Ya, itu tidak salah." Bernard duduk di sebelah Duta. Saat sebelum naik dia sudah memustuskan untuk benar-benar menebalkan wajahnya, lagi pula tak hanya Duta dan Archie yang berpakaian nyentrik.
"Kecamatan 13 berbeda berada dalam daftar terbawah dalam daftar pengembangan kecamatan oleh kota, oleh karena itu kecamatan kami sedikit tertinggal." Archie menjelaskan.
Bernard menegaskan, "Mau bagaimana pun, Kecamatan 13 memang kecamatan dengan pendapatan terendah dan tingkat kesejahteraan penduduknya dibawah rata-rata."
Archie kembali menarik nafasnya dalam, dan menghembuskannya perlahan. Walaupun semua yang mereka katakan memang benar, entah kenapa itu sangat menyakitkan.
"Walaupun kecamatan ku tidak sebanding dengan kalian, setidaknya warga disana hidup rukun dan saling membantu."
Duta, "Ya...warga kecamatanku juga hidup rukun dan saling membantu. Aku ingat dulu satu kecamatan sempat gempar ketika mengetahui fakta bahwa aku terjatuh ke lubang kloset dan tak bisa bangun."
Bernard, "Kalau hal itu termasuk hidup rukun dan saling membantu, maka kecamatan ku juga sama. Dulu aku pernah hampir tenggelam karena orang gila."
Archie, "Tenggelam?"
Bernard mengangguk, "Saat itu adalah hari ulang tahun kecamatan, anak-anak biasanya akan pergi berenang di sungai dan tiba-tiba saja aku melihat seorang anak perempuan yang hampir tenggelam. Karena aku adalah lelaki sejati jadinya aku langsung lompat ke sungai dan menolongnya. Eh, ternyata aku lupa kalau aku juga tidak bisa berenang.
Jadi semua orang disana langsung panik. Apalagi ibuku menjerit ketika aku melompat kesungai, ibuku mengira aku akan bunuh diri padahal saat itu aku baru 5 tahun. Setelah acara, aku benar-benar dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuaku."
Archie tidak tahu harus bereaksi apa. Cerita Bernard lucu dan menyedihkan disaat yang bersamaan.
Berbeda dengan Archie, Duta tertawa keras, "Ya, itu tidak mengejutkan. Kau memang terlihat bodoh."
"Kau pikir hanya aku yang bodoh? Jelas jelas kau lebih bodoh karena bokongmu terjebak di lubang kloset!" Bernard berkata ketus.
"Pftt!" Archie menahan tawa. Rasanya lucu jika melihat Bernard mengatakan hal itu dengan wajah seriusnya.
Duta, "Terjebak di lubang kloset itu adalah kesalahan klosetnya! Siapa suruh lubangnya terlalu besar."
Bernard, "Lubang kloset memang besar darisana-nya!"
Duta, "Seharusnya lubang itu menyesuaikan dengan pemakainya. Sudah tahu saat itu aku masih kecil, dia terlalu egois." Duta tampak menyayangkan sikap egois 'si lubang kloset'.
Bernard menahan tawa mendengar ucapan bodoh Duta, "Kloset itu benda mati bodhoh.." Bernard tertawa keras, Archie yang sedari tadi menahan tawa ikut tertawa.
Duta, "Aphanyha yhang luchu siahlhan! Akhu terjhatuh karenha lubhang egois ithu!" Duta ikut tertawa. Membuat semua pandangan tertuju ke arah mereka. Ada yang menatap mereka sinis, ada juga yang penasaran, namun ada juga yang ikut tertawa karna tadi diam-diam mendegar pembicaraan mereka.
"Orang-Orang Pilihan datang!" Seorang lelaki terdengar bersemangat.
Pandangan tertuju ke arah loby hotel. Benar saja, delapan orang pemuda tampan berbadan atletis dengan gaya berpakaian mereka yang memang menampilkan 'aura bangsawan' berjalan dengan puluhan penjaga mengelilinginya.
"Mereka tidak naik bus?" Duta bersuara.
"Mana mungkin 'Orang-Orang Pilihan' naik bus? Orang-orang elit seperti mereka tentu saja memiliki kendaraan sendiri." Ucap seorang lelaki tinggi kurus dengan rambut yang dikuncir, alisnya bergaya 'alis terpotong' membuat tampilan lelaki itu persis seperti seorang berandalan.
Benar saja, delapan buah mobil sedan keluaran merek ternama tiba dilobi hotel. Mereka masuk ke dalam mobil masing-masing dengan langkah ringan. Pintu masuk bus tertutup bersamaan dengan 'Orang-Orang Pilihan' yang masuk ke dalam mobil.
'Apakah aku bisa berada di posisi seperti mereka?' Archie membatin.
Duta merangkul Archie dan Bernard, berkata dengan semangat, "Tenang saja. Suatu saat nanti kita juga akan menjadi seperti mereka."
Bernard, "Ya ya ya, terserah kau."
Archie tersenyum tipis, "Kita pasti bisa menjadi seperti mereka."
Bernard dan Duta menatap Archie heran, ini pertama kalinya mereka melihat Archie yang tampak bersemangat.
Archie mengangkat alisnya, "Ada yang salah?"
Bernard dan Duta menggeleng secara bersamaan.
"Ou." Archie mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia yakin sekali ada sesuatu, tapi memilih untuk tidak terlalu memperdulikannya ketika melihat mereka yang tak berniat memberitahunya.
Perjalanan menuju Rumah Sakit Menara Kota hanya memakan waktu 10 menit. Terasa sangat singkat karena mereka bercanda-gurau selama perjalanan. Namun, selama 10 menit ini Archie menjadi sadar bahwa sebenarnya Duta dan Bernard memiliki sifat yang sangat bertolak belakang kecuali satu, mereka membenci satu sama lain.
Bukan tanpa alasan, itu karna Duta selalu merasa tersinggung dengan perkataan Bernard, begitu juga sebaliknya. Belum lagi sikap mereka yang tidak mau mengalah terhadap satu sama lain membuat pertengkaran kecil selalu terjadi diantara mereka. Dan di saat itu, datanglah tugas Archie sebagai penengah.
Bus kota memasuki area rumah sakit, dari dalam bus terlihat puluhan mobil sedan mewah yang berbaris di depan lobi rumah sakit, disebelahnya sudah berdiri rapi seorang petugas parkir yang sedang menunggu si pemilik mobil untuk keluar.
Duta terdengar iri, "Lihatlah kawan, benar-benar definisi uang dan koneksi adalah segalanya."
Archie mengangguk, "Kau benar," jawabnya iri.
Bernard, "Lebih baik pikirkan apakah kau bisa lolos tahap cek kesehatan atau tidak. Bermimpi boleh saja, tapi kau harus tau batas."
Duta menatap Bernard sinis, "Kenapa kau suka sekali berseteru denganku, hah!"
Bernard, "Aku tak ingin berseteru denganmu."
Duta berdiri, menatap Bernard tajam, "Si sialan ini."
Bernard ikut berdiri, tak ingin kalah dengan Duta, "Apa?"
Archie menghela nafas pasrah, baru semenit yang lalu ia melerai mereka, sekarang pertengkaran baru dimulai lagi.
'Sabar, Archie. Sabar. Sepuluh hari lagi kau akan terbebas dari mereka,' Archie membatin lelah.
Tbc....
Mata Archie beberapa kali bertatapan dengan seorang perawat lelaki yang tengah mengatur posisi berdirinya di hadapan sebuah mesin scanner yang berfungsi untuk mengecek keadaan tubuh pasien secara lengkap.Archie sedikit tidak nyaman, namun ia tetap mencoba untuk bersikap ramah mengingat perkataan Sang Ibu yang menyuruhnya untuk menjaga sikap. Sedetik kemudian, ia tersentak ketika mendapati perawat lelaki tersebut mencoba menyentuh kemaluannya. Dengan cepat Archie menjauh dan menutup tubuhnya, matanya membelalak, masih terkejut dengan apa yang baru saja ia alami.Perawat lelaki itu tampaknya juga sedikit terkejut, kemudian berteriak histeris.Brak!Pintu ruangan didobrak, menampakkan sekelompok-terdiri dari lima orang-penjaga keamanan dengan pistol di tangannya yang masuk tergesa-gesa. Seorang lelaki yang berada di paling depan bertanya kepada perawat lelaki itu, "Apa yang terjadi?" nadanya terdengar tegas.Badan perawa
"Sialan!" Anak lelaki bertubuh kurus dengan rambut coklat terang itu berlari dengan cepat menyusuri hutan lebat. Tangannya tergenggam sebuah kertas yang kini sudah ter-remas kasar. Jauh dibelakang, terdengar puluhan pasang derap kaki yang mengejarnya."Kejar! Kejar!"Lelaki bertubuh kurus itu mempercepat mempercepat langkah kakinya, sembari berdoa agar ia bisa sampai di perbatasan Kota Tajara dengan selamat dan terbebas dari kejaran kelompok lelaki itu.Kerisauan dihatinya mulai menghilang ketika melihat sebuah tembok pertahanan yang menjadi perbatasan antara hutan lebat dengan Kecamatan Empat, Pintu Surga. Dengan cepat ia menghentakkan kedua kalinya ke tanah, sedetik kemudian sebuah sayap kecil keluar dari sepatu yang ia kenakan, membuat dirinya mulai melayang di udara. Tawa kebahagiaan mulai terdengar. Dari posisinya, ia dapat melihat sekelompok orang berpakaian seperti pemburu yang tadi mengejarnya tengah menggeram kesal. Lelaki itu menjulur
"Kau dibebaskan." Ucap seorang detektif yang tengah membuka borgol dari tangan Archie.Bianglala melipat tangannya, menatap tuan detektif dengan tatapan kesal, "Dia bukan dibebaskan. Tetapi memang sedari awal tidak bersalah. Apakah kepolisian Menara Kota sekarang bekerja hanya untuk uang? Bagaimana bisa tidak pernah ada polisi yang becus menangani kasus."Detektif itu memilih untuk diam. Berbeda dengan Owen yang tampak lumayan tersinggung dengan perkataan yang dilontarkan oleh Bianglala, "Tuan Bianglala. Kata-katamu ini sedikit kelewatan. Kami menangani masalah sesuai prosedur yang berlaku. Lagi pula, Archie dibebaskan karena ia mendapat jaminan dari pimpinan."Bianglala mengerutkan dahi. "Apa? Dari pimpinan? Siapa namanya?""Itu aku." Lelaki berumur 12 tahun dengan rambut coklat terang itu masuk dengan melipat lengannya. Ia menggunakan jas hitam berkemeja putih yang tampak serasi dengan wajah tampannya.Bianglala meny
Alarm tanda evakuasi berbunyi keras di sepanjang jalan Menara Kota. Keheningan tercipta selama beberapa menit sebelum pada akhirnya para penjaga keamanan kota datang mengamankan para warga dan lokasi kejadian.Walaupun lokasi stadiun berjarak cukup jauh dari tempat mereka berdiri, mereka dapat merasakan dengan jelas; hawa panas, debu maupun puing-puing yang berterbangan, dan perasaan mendebarkan yang mungkin dirasakan oleh mereka yang berada di dekat stadiun."Uhuk! Uhuk! Sialhan!" Entah ada berapa banyak debu dan pasir yang masuk ke tenggorkan Duta. Sedari tadi ia terus terbatuk dan mengumpat kesal.Archie tersentak ketika merasakan ada sesuatu yang menyentuh badannya, matanya masih terpejam mengingat debu yang masih menyelimuti. Ia mencoba untuk mencari tahu apa yang menyentuhnya sebelum pada akhirnya ia tersadar bahwa orang itu adalah Bianglala. Ia bergeser beberapa langkah ke kanan, menjauh dari Bianglala, namun Tongkat Emas milik Bianglala masih
Pukul 18:30, hampir semua peserta sudah berkumpul di Aula Hotel. Di dalam Aula inilah orang-orang mulai merasakan 'hak istimewa' bagi mereka yang berasal dari kecamatan besar. Mereka yang berasal dari kecamatan besar disebut dengan 'Orang-Orang Pilihan', mereka memiliki tempat duduk dan kawasan untuk mereka sendiri, bahkan di dekatnya terdapat berbagai makanan prasmanan yang harumnya sudah tercium dari pintu masuk. Sedangkan mereka yang berasal dari kecamatan luar hanya bisa berdiri dan iri dengan 'hak istimewa' yang didapat oleh 'Orang-Orang Pilihan'."Hei." Archie menyenggol lengan Bernard yang berdiri tepat disebelahnya.Bernard menoleh, "Apa?""Menurutmu, apakah acara pemberian bakat akan tetap diselenggarakan?"Bernard tampak merenung sesaat sebelum akhirnya ia bersuara, "Mungkin? Aku juga tidak tahu."Archie mengangguk. Tentu saja Bernard juga tidak mengetahuinya. Pertama, ia berasal dari kecamatan luar, sama sep
Alarm tanda evakuasi berbunyi keras di sepanjang lantai yang ditempati oleh Para Peserta Acara Pemberian Bakat. Mereka bangun karna terkejut, ada juga yang menggerutu marah karena baru tertidur selama beberapa jam, tak sedikit juga yang berlari dalam keadaan setengah sadar menuruni tangga darurat.Archie terbangun dari tidurnya dengan jantung yang berdebar karna terkejut, ia melihat sekeliling, memeriksa apakah ada kebakaran atau tidak. Setelah memastikan tidak ada kebakaran, ia sedikit bernafas lega sebelum pada akhirnya televisi dihadapannya tiba-tiba saja menyala, menampilkan William yang tengah tersenyum manis dan berpakaian rapi seperti seorang pembawa berita."Selamat pagi, semua. Saya William Gama. Dengan senang hati saya umumkan kepada kalian untuk segera berkumpul di lobi hotel karena kita akan pergi menuju ke lokasi Acara dalam waktu kurang dari 15 menit dari sekarang. Jadi, tunggu apa lagi? Pakai pakaian terbaik kalian, dan turunlah kebawah." Layar televisi
Pusat kesehatan Pawky tampak berkali-kali lipat lebih maju dibandingkan Rumah Sakit Menara Kota. Dengan berada diatas sebuah lingkaran, data mengenai kesehatan dan jaringan-jaringan tubuh sudah dapat terbaca di sistem komputer. Entah itu berdiri tegap, berdiri malas, berjongkok, bahkan tiduran pun data kalian akan terbaca.Duta awalnya tidak mempercayainya, oleh karena itu ia memilih untuk meringkuk seperti bayi di atas lingkaran yang tidak terlalu besar disaat yang lainnya berdiri, dan benar saja, data tentang tubuhnya dapat terbaca di sistem komputer. Hal ini membuat dirinya takjub dan terkagum-kagum."Woah. Gila. Teknologi memang menyeramkan." Duta bertepuk tangan, mengitari para pekerja medis yang berada di dalam ruangan.Archie dan Bernard menutup wajah mereka, tampak malu dengan sikap Duta walaupun mereka tidak bisa menepis bahwa mereka juga cukup terkesan dengan teknologi canggih ini. Sebenernya, ada banyak teknologi canggih di Pawky yang akan
Beberapa jam sebelum Acara dimulai...William menatap datar pantulan dirinya di cermin yang berbalut jas formal berwarna biru gelap. Ia tampak merasa 'asing' dengan pantulan dirinya sendiri. Tak ada senyum yang biasanya terlukis di sudut bibir lelaki itu.Ceklek!William menoleh ke arah pintu kamar yang dibuka, dari balik pintu, terlihat sesosok lelaki seusianya yang tampak rapuh, Jason Stanlala."Boleh aku masuk?" Kepala Jason masuk melalui sela antara pintu dan dinding.William tersenyum lebar, ia sangat merindukan sahabat karibnya ini. Mereka sudah saling mengenal dan bersahabat sejak kecil, sehingga rasanya aneh jika melewatkan hari tanpa berbincang ataupun bertukar kabar terhadap satu sama lain."Kau sudah membuka pintu. Apa kau masih butuh izinku?"Jason tersenyum tipis, ia masuk ke kamar William yang tak kalah mewah dari kamar para peserta. Ia berjalan mendekat ke arah William, gerakannya tampak ca