POV HeraHari ini begitu melelahkan, pasalnya sudah tiga hari ini aku harus mengerjakan pekerjaan rumah dan merawat Mas Rahman yang sakit gila itu. Kata dokter, dia dinyatakan sudah sembuh.Tapi, entahlah! Aku sering merasa takut saja jikalau dia kambuh lagi. Tak bisa aku bayangkan saja bila ia kambuh, lalu mengamuk."Hera!" Teriakan itu kembali menggema ketika baru saja aku meletakkan tulang duduk di sofa."Huff ... apalagi maunya!" dengusku kesal, tak urung kaki ini tetap melangkah ke arah suara meski hati menggerutu."Iya, Mas. Ada apa?" Kupasang wajah seramah mungkin dengan lengkungan bibir manis."Siang ini aku mau makan nasi rawon!" "Tadi pagi udah aku masakin soto daging, itu juga belum habis.""Tapi aku mau nasi rawon!" teriak Mas Rahman sembari menggebrak meja makan di dekatnya."Iya, nanti aku buatkan. Aku harus belanja dulu bumbunya.""Nggak mau! Masakanmu nggak enak! Aku maunya kamu belikan di warung makan rawon Mak Bawon!" Duh, kenapa Mas Rahman seperti anak kecil gini,
POV HeraTerik matahari tepat di atas kepala begitu menyengat. Peluh mulai membasahi pakaian yang aku benci ini. Gamis dan hijab lebar mengurung lekuk indah tubuh yang aduhai, gerah menjalar ke seluruh badan.Kuseka bulir bening yang membasahi dahi dengan ujung hijab hitam lebar, berhenti sejenak untuk mengatur napas yang mulai tersengal. Aku harus bergegas pulang sebelum es krim yang kutenteng mencair.Rahman ternyata masih gila. Dia menyuruhku berjalan ke swalayan dan warung makan Mak Bawon, sedangkan letaknya saling berlawanan arah. Mana jauh lagi!Untuk saat ini tak ada pilihan selain mengikuti kemauan pria depresi itu. Ada sesal menyusup dalam hati, kenapa aku harus menerima perjanjian sepihak itu.Kuayunkan langkah lebih panjang agar cepat sampai, meski napas makin tersengal dan oksigen seolah sulit masuk. Tepat tiba di depan pagar, dari arah berlawanan terlihat mesin beroda empat menepi."Bukannya itu mobil Bobby?" gumamku sambil menghentikan langkah.Mobil itu memasuki halaman
Berhubung ada permintaan dari beberapa pembaca yang menginginkan POV Bobby, maka khusus part ini author menggunakan POV ayah tiri ganteng nan tajir, ya.Happy reading for you para readers terlope-lope.***POV BOBBYAku adalah pria muda yang mungkin bisa dibilang bodoh karena dengan mudah dapat diperbudak cinta wanita yang usianya jauh di atasku. Demi dia, aku rela meninggalkan seluruh fasilitas yang diberikan orang tuaku. Demi dia pula, aku telah menjadi anak pembangkang dan durhaka.Kuabaikan segala ucapan dan nasihat Papa dan Mama karena menurutkan jerat nafsu yang ditaburkan oleh perempuan bertubuh molek dengan sejuta kenikmatan yang begitu menggoda. Ya, wanita itu adalah Hera.Saat itu usiaku masih dua puluh satu tahun, masih menikmati bangku kuliah dan tak pernah berpikir nikah muda. Sebagai anak tunggal, aku memikul tanggung jawab untuk meneruskan usaha bisnis papa.Namun, kehadiran wanita itu di rumahku justru membuat segalanya hancur. Aku tak mampu fokus dengan apa yang telah
POV BobbyKala itu musim penghujan. Awan hitam bergelayut di langit, hampir tak membiarkan mentari memberikan sinarnya pada bumi.Begitupun hatiku, tertutup oleh luka akibat penghianatan bertubi-tubi. Rasa sakit itu tak pernah membiarkan aku melupakan setiap sayatan yang Hera toreh. Dendam itu telah mengakar.Sore itu, saat matahari mendapat kesempatan sinarnya menerobos senja kelabu, langkahku menuju sebuah panti asuhan terlaksana. Tekad memanfaatkan bocah lelaki itu sudah masuk dalam rencana jangka panjang.Kedatanganku disambut ramah oleh ibu panti. Ia memberikan kesempatan padaku untuk bicara banyak dengan Niko. Ya, anak lelaki yang menginjak usia remaja itu bernama Niko."Niko, aku adalah suami ibumu." Kata-kata itu yang pertama meluncur dari mulutku untuk memperkenalkan diri pada Niko.Netra itu membulat tak mengerti. Menurutnya, suami ibu adalah lelaki yang dipanggil Mas Jack, bukan aku. Pengakuannya tentang Hera cukup membuatku tercengang.Ternyata korban Hera bukan aku saja,
POV BobbyKejadian yang menimpa Danu membuat rencanaku harus terhenti sementara waktu. Aku juga tak tega melihat Arini yang tengah bersedih karena melihat suaminya harus terbaring lemah dengan alat bantu menempel pada tubuhnya.Kasihan wanita muda itu. Sejak kecil sudah kehilangan kasih sayang dari kedua orang tua, dan kini harus menerima kenyataan pahit bahwa ibu yang sangat ia harapkan kepulangannya justru membawa bencana dalam rumah tangga yang baru saja ia bangun.Arini sangat berbeda dengan Hera, baik dari penampilan maupun karakter. Di mataku ia wanita tangguh dan juga cerdas. Cara memajemen emosi begitu apik. Pembawaannya kalem dan tenang, tidak suka mengedepankan emosi.Yang aku suka dari Arini adalah cara ia menghadapi masalah. Aku belajar banyak hal darinya, termasuk bagaimana cara menghadapi Hera yang arogan. Banyak hal yang aku kagumi dari sosok muda nan lincah itu.Ah, diam-diam kehadiran Arini mengusik pikiranku. Seandainya takdir mempertemukanku dengannya sebelum Hera h
POV DanuMalam telah larut kala lantunan doa untukku mulai terdengar menyentuh langit. Sosok wanita dengan balutan mukena putih sedang bersimpuh. Dengan diiringi rinai bening yang bergulir di pipi, ia terus meminta Sang Pemilik Kehidupan untuk mengembalikanku.Hari ini, tepat dua puluh satu hari aku terpisah dari raga. Keputusasaan dan kekhawatiran tergambar jelas di wajah bidadari surgaku. Malam ini tangisnya lebih mendalam dari sebelum-sebelumnya.Mungkin karena pernyataan ayah tadi sore. Ayah yang tidak tega melihatku terkapar tak berdaya meminta persetujuan ibu dan Arini untuk mencabut semua alat bantu yang menempel di tubuhku.Entah kenapa ayah justru membuatku makin down. Tidak hanya aku, namun juga istriku yang saat ini sedang mengandung benih dariku. Ya, ada Danu junior dalam rahim Arini.Aku belum siap untuk mati. Aku tak akan rela meninggalkan Arini dan anakku, aku juga tak rela jika nantinya Arini menikah lagi dan melupakan aku.Bagaimana pun caranya, aku harus kembali dan
POV DanuDetik jarum jam masih dapat kudengar, menit demi menit waktu terus berlalu tak menghiraukan aku yang dalam kegalauan. Sedari pagi kurapalkan doa, mengharap sebuah keajaiban datang sebelum malaikat benar-benar datang menghampiri.Ayah dan ibu telah bersiap dengan buku kecil. Begitu juga dengan Arini. Pagi ini, ia mengenakan gamis putih polos dengan paduan hijab berwarna putih tulang.Arini duduk di sisiku sembari terus menggenggam jemariku. Bulir bening masih saja mengambang di kelopak netra sembabnya. Bobby yang datang terakhir memilih berdiri di dekat kakiku.Semua hadir untuk doa bersama. Entah doa apa yang sebenarnya mereka inginkan. Jika mereka ingin aku hidup, tak seharusnya menyuruh Arini menandatangani surat yang memaksaku untuk meregang nyawa.Jujur, aku sedih mengetahui itu semua. Di mana letak kemanusiaan mereka? Ini sungguh tidak adil. Harusnya yang mati itu Hera, nenek semlohai penggoda yang ribet banget hidupnya. Ini malah kenapa aku yang harus mati? Jarum jam m
POV DanuTuhan selalu punya cara untuk menunjukkan jalan pada setiap hamba yang sedang kesulitan. Meski kembalinya kesadaranku dengan cara ekstrim, namun tetap patut disyukuri.Ciuman maut milik nenek semlohai hampir saja terulang kembali. Tak bisa kubayangkan detik-detik peristiwa itu, begitu mendebarkan. Ah, mungkin aku yang terlalu lebay.Tapi, baiklah. Sekarang aku tengah menikmati waktuku bersama bidadari surga yang pernah aku anggap lebih beruntung karena mendapatkan aku, pria tampan pujaan para wanita.Pada kenyataannya, justru akulah yang sangat beruntung karena memiliki istri sebaik Arini. Ia ternyata wanita yang sangat tangguh, wanita super dan juga cerdas. Dan satu lagi, dia wanita yang tak pernah komplain dengan kekuranganku.Ya, aku akui ... aku memang sering kepo, keceplosan, kebanyakan mikir ... tapi, semua itu bukan masalah besar. Toh itu semua hal normal yang bisa terjadi pada setiap orang.Ingat, aku bukan lemot atau telat mikir. Aku hanya penuh perhitungan dalam set
Kegalauan yang melanda akhirnya berganti rasa lega yang tak terkira. Pasalnya, bidadari cantikku tak pernah berpaling sedikit pun ke pria lain. Aku tahu, Arini pasti tak akan bisa meninggalkan lelaki tampan dan setia sepertiku.Sepanjang perjalanan senyumku terus saja merekah, membayangkan nanti malam akan kureguk kembali manisnya cinta bersama wanita halalku. Menyesal pernah mengabaikan rayuan nakal yang seharusnya mendapat respon dariku.Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tak akan kubiarkan belahan jiwaku menahan hasrat seorang diri. Ah ... sepertinya benar kata orang, aku ini memang bodoh.Tapi tak apa, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki semua. Apalagi Arini selalu memaklumi setiap hal tentangku, termasuk ketidakpekaan yang selama ini dianggap sebagai kebodohanku.Tentu saja harus maklum, aku begini juga karena ibunya yang dulu memukul kepalaku hingga koma. Coba kalau dulu tidak digetok pakai vas, sudah pasti kejeniusanku akan bertahan hingga kini.Lamunanku buyar kala p
Dari spion mobil dapat kulihat sosok wanita dengan rambut dikuncir ekor kuda sedang berjalan menuju mobilku. Dia menenteng map kuning berisi berkas file yang memang sengaja kutinggal.Senyumku makin merekah ketika wanita itu menyembulkan kepala untuk mengetuk kaca mobil. Segera aku persilahkan ia masuk ke mobil dan siap mendengarkan semua pengaduannya."Ini berkasnya, Tuan.""Iya, terimakasih. Sini masuk."Sri hanya mengangguk dan duduk di sebelahku. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang kebingungan. "Baik, Tuan."Untuk kesekian kali kuhela napas kembali, mencoba mentralisir gejolak emosi yang meletup-letup. Aku persiapkan hati dan mental untuk mendengar sebuah kebenaran yang akan diungkap oleh Sri."Kita hanya punya waktu sebentar, jangan sampai Arini curiga karena kamu kelamaan di sini.""Iya, Tuan.""Jadi, cepet kamu cerita." Rasanya tak sabar lagi untuk mendengar penuturan Sri, rasa penasaran semakin memuncak."Begini, Tuan. Mbak Arini selama ini ...." Sri menggantung uc
Gawaiku kembali bergetar untuk kesekian kalinya. Akhirnya dengan malas kulirik juga layar yang berpendar itu. Sebuah nama terpampang, Bobby."Ya, ada apa?" jawabku malas."Dan, besok kamu berangkat lagi ke Bandung, ya? Aku harus ke Pekanbaru sore ini.""Kenapa harus aku?" tanyaku dengan sewot, karena aku tahu pasti ini akal-akalan dia lagi."Kamu itu partner kerja aku, ya sudah pasti kamu yang bisa handle kerjaanku."Sejenak aku berpikir. Sepertinya ini kesempatan aku untuk menangkap basah Bobby ketika menemui Arini. "Oke, besok pagi aku berangkat ke sana." Sengaja aku menjawab dengan mantap agar ia tak curiga dengan rencanaku."Thanks, Dan."Tanpa menjawab lagi, kumatikan panggilan. Bagiku sudah cukup basa-basi dan sandiwara yang dimainkan oleh Bobby. Sekarang saatnya Adarga Handanu menunjukkan taring.Malam ini aku mulai mempersiapkan beberapa lembar baju yang aku masukkan ke dalam koper kecil. Tidak lupa laptop dan beberapa dokumen yang akan dibutuhkan aku sertakan pula."Lho, Mas
Detak jarum jam terdengar mengisi sunyi malam yang kurasa tanpa ujung. Arini telah terlelap di sampingku. Begitu lekat kupandangi wajah lelahnya.Kembali anganku mengembara tak menentu. Hingga detik ini otak belum juga menemukan titik temu meski sudah banyak masukan dari para Danu lovers.Aku bangkit dari posisi tidurku, kemudian turun menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku rasa dua rakaat di tengah malam akan memberiku rasa tentram sehingga akal bisa berpikir jernih.Dengan menghadap kiblat, aku berserah diri dan memohon jalan keluar pada Illahi Rabbi. Ketenangan mulai menjalari relung jiwa, perlahan kekhawatiran sedikit demi sedikit terkikis.Setelah selasai bermunajat, kurebahkan kembali raga yang telah lelah. Kupejamkan netra meski masih sulit untuk tidur. Beberapa kali kuatur pernapasan agar himpitan di dada tak begitu menyesakkan.Baiklah, aku harus berpikir untuk mencari solusi tanpa membuat hubunganku dengan Arini renggang atau bahkan rusak.Bisa saja aku tunjukkan
Hari demi hari kegalauanku semakin memuncak. Perasaan was-was kian tak menentu menguasai setiap sendi rasa takut.Argh!Semakin lama situasi ini semakin membuat batinku tertekan. Setiap langkah yang hendak kugunakan terbentur pada rasa tidak yakin dengan hasil yang nantinya akan kudapat.Demi menjaga keutuhan rumah tangga, kuputuskan siang ini untuk pergi menemui teman lamaku, yaitu Martin. Berharap setelah mengobrol dengannya akan kudapati solusi dari semua permasalahan ini."Tumben ingat aku, Dan?" sapa Martin kala tulang duduk menyentuh kursi di cafe bernuansa klasik ini."Masih untung aku ingat kamu, Tin." sungutku tak berselera menanggapi kicauannya."Ada masalah apalagi?""Bobby.""Bobby? Mantan ayah mertua tiri kamu yang pemuja nenek semlohai itu?"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan panjang yang terlontar dari mulut Martin. "Pesen kopi dulu, gih!" usulku pada Martin."Pakai sianida, nggak?" canda Martin sembari mengedipkan mata membuat tingkah konyol."Boleh,
Hari ini adalah hari terakhir aku melakukan pemantauan proyek di kawasan perumahan elite. Sudah genap satu minggu aku bersama Rusli menyelesaikan pekerjaan.Kututup laptop dan bergegas menata pakaian. Setelah semua siap, aku berpamitan pada Rusli. Lelaki yang menjadi orang kepercayaan Bobby itu melepasku hingga depan pagar.Senyumku mengembang, rasa rindu terhadap anak dan istri begitu menggebu. Meski setiap malam bisa melihat mereka melalui video call, namun kerinduan akan hangatnya kebersamaan tetap bergelayut di hati.Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mesin beroda empat yang kukemudikan memasuki halaman rumah. Arini menyambutku di teras rumah dengan senyum manis menyembul di bibir tipisnya.Arini segera menyambutku dengan cium tangan takzim, kemudian ia bergelayut manja di lenganku. Kudaratkan kecupan hangat di dahi wanita yang teramat kurindukan pelukannya."Putra dan putri sehat, Dek?""Sehat, Mas.""Alhamdulillah ... Mas kangen, emmuach ...." sekali lagi k
Tekadku telah bulat. Aku harus menangkap basah perselingkuhan antara Arini dengan Bobby. Sudah kuputuskan menggunakan Sri sebagai mata-mata.Sengaja aku pergi setelah Sri keluar rumah untuk belanja sayuran ke pasar. Dengan sedikit tergesa kulajukan mobil dan berhenti tepat di dekat Sri berdiri menunggu angkutan."Tuan?" Tampak wajah Sri keheranan melihatku."Masuk!" titahku yang langsung dituruti oleh Sri."Ada apa, Tuan?" "Aku antar kamu ke pasar, sekalian ada yang perlu aku bicarakan denganmu.""Maaf, Tuan Danu. Mau bicara apa?""Kita cari tempat untuk bicara." Segera kuinjak gas untuk melajukan kembali mesin beroda empat.Setelah aku rasa cukup jauh dari rumah, kutepikan mobil. Mulai kuambil napas untuk mengumpulkan kembali serpihan kekuatan hati yang hancur seketika saat melihat foto Arini dan Bobby."Sri, aku butuh bantuan kamu.""Bantuan apa, Tuan?""Mengawasi Arini.""Ada apa dengan Mbak Arini, Tuan?"Huff ... kembali kuhembus napas kesal. Setiap mengingatnya, dada ini terasa
"Selamat pagi, Tuan. Ini tehnya," sapa Sri sembari meletakkan secangkir teh di meja samping aku duduk.Kuhentikan aktivitas membaca majalah olahraga, sejenak kuarahkan pandangan ke wanita yang kini berdiri di hadapanku.Seperti ada magnet yang menarikku untuk memperhatikan paras serta kulitnya. Sebagai gadis desa, Sri tak tampak seperti gadis yang datang dari desa pada umumnya.Kulit dan wajahnya terawat, jauh dari kata kusam. Bahkan rambutnya juga terlihat ada bekas pernah diwarna. Aneh, mana ada gadis desa seperti itu?"Maaf, Tuan. Ada yang salah dengan pakaian saya?" tanya Sri mengaketkan penelusuran netraku."Ehm ... tidak, tapi ada yang ingin aku tahu darimu.""Apa, Tuan?"Kupicingkan sebelah mata, sedikit mengernyit memandangnya. Tetap saja aneh dalam pemikiranku, Sri tak tampak layaknya gadis desa yang lugu."Apa kamu sudah lama tinggal di kota?""I-iya, Tuan. Saya bekerja di kota sejak usia enam belas tahun.""Itu artinya sudah hampir empat tahun kamu hidup di kota?""Benar, T
Hari demi hari kecurigaanku mulai terbukti. Kedatangan Bobby yang semula karena alasan urusan bisnis denganku, membuat semuanya menjadi dilema berkepanjangan.Di sisi lain, aku masih ada ikatan kerjasama dengan pria itu. Namun, tak dapat kupungkiri bahwa perasaan Bobby ke Arini kian menyeruak dan tak dapat ia tahan.Siang itu, kala mentari mulai mendekat di atas kepala ... Bobby mencuri start untuk datang ke rumah lebih awal. Seperti biasa dengan alasan ikut membantu menyiapkan sajian.Kali ini dia membawa cukup banyak makanan catering. Ya, memang hari ini acara tasyukuran kecil-kecilan karena proyek kerjasama kami telah sukses. Semua relasi yang terkait saja yang diundang, termasuk Pak Rahman."Danu! harusnya kalau sudah kerepotan seperti ini, kamu cari asisten rumah tangga untuk bantu istrimu. Bukan malah hanya lihatin saja!" Bobby mulai dengan komplainnya.Entahlah, aku merasa dia itu laki-laki tapi cerewetnya melebihi emak-emak. Sudah berapa kali ia mengkritik sikapku yang seolah