Namaku Adarga Handanu, orang-orang biasa menyapaku Danu. Orang bilang wajahku termasuk dalam kategori tampan, kulit bersih, dan juga perawakan yang atletis. Saat kuliah saja aku bisa memacari empat cewek sekaligus.Saat ini, wanita yang beruntung memilikiku adalah Arini. Sebenarnya, dia bukanlah wanita cantik tapi entahlah ... justru hatiku tertambat padanya.Arini, wanita mandiri yang mampu membuatku bertekuk lutut mengemis cinta dan mengabaikan gadis-gadis cantik lainnya. Wanita berkulit kuning langsat tinggi semampai namun tak pandai merias diri. Selain itu, dia juga kaku dalam urusan ranjang.Ah, khusus urusan satu itu aku juga baru tahu setelah delapan bulan ini menikah dengannya. Sudah aku berikan tontonan film yang mungkin bisa untuk belajar, tapi tetap saja ia menolak dengan alasan malu.Arini memang begitu polos, ia juga tak suka neko-neko. Delapan bulan menikah denganku, tak pernah aku dengar ia menuntut h
PEKANBARU - SP (26) tertangkap basah istrinya DR (21) saat sedang indehoi dengan NUR (36) yang tidak lain adalah ibu kandung korban. Pengakuan keduanya, bahwa perselingkuhan ini sudah dilakukan sejak lama."Antara SP dan ibu mertuanya sudah berhubungan layaknya suami istri sejak 4 tahun lalu," kata Kanit Reskrim Polsek Lima Puluh, Pekanbaru, Riau, Senin (6/3/2017).Perbuatan amoral itu selalu dilakukan mereka saat kondisi sepi. Kondisi NUR yang di rumah sendiri, membuat hubungan terlarang keduanya bisa berlangsung lama. Tubuh molek NUR membuat SP keranjingan dan menyukai mertuanya.~~~Tangan ini dengan kasar melipat asal dan membanting koran yang baru saja aku baca. Berita yang justru menambah resah gelisah pikiranku.Bayang wanita dengan kerling nakal itu terus saja menari di pelupuk mata, seolah melambai mengajakku menyelami lautan asmara bersama."Sial!" umpatku sembari menyapu dengan kasa
Dewi malam telah menyambut, bulan separuh menggantung cantik di langit gelap menggantikan tugas sang bagaskara. Kulirik penunjuk waktu di pergelangan tangan yang menampilkan angka digital 19.55, itu artinya Arini sebentar lagi akan pulang.Sengaja aku menunggu di warung kopi tepat di tikungan jalan dekat rumah. Sembari menikmati kopi hitam dan gorengan, pikiranku melayang kembali ke kejadian sore tadi.Bagaimana jika Arini tahu aku mengunci ibunya di kamar? Apa alasanku akan ia terima? Apakah Arini akan percaya dengan perkataanku? Bagaimana jika wanita iblis itu memutarbalikkan fakta? Apakah Arini akan lebih percaya pada ibunya?Terlampau banyak pertanyaan berputar dalam otakku, membuat kepala ini terasa pening. Sudah lama aku ingin mengusulkan agar Arini mengontrakkan rumah untuk ibunya, atau mencarikan suami agar wanita itu tidak kesepian.Namun, semua ide itu hanya sebatas ide yang terpendam dalam pikiran t
Kata demi kata telah kurangkai sedemikian rupa agar tak menjadi salah paham antara aku dengan Arini. Tapi sepertinya masih belum cukup memberi sinyal alarm kepada kepekaan wanita yang hatinya bak peri itu.Gemas aku dibuatnya. Aku di sini bertarung melawan jala jerat yang ditebar oleh ibu mertua, sedangkan Arini tak jua memahami apa yang sedang menjadi kegelisahanku."Dek, Mas nggak nyaman dengan penampilan ibu yang terlalu seronok seperti itu," protesku kemarin sore saat melihat ibu mertua yang hanya mengenakan siluet dan celana jeans pendek.Arini mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang sedang menyirami tanaman pot di depan rumah. Dapat kudengar desah napas meski perlahan, sepertinya ia sedang menghalau perasaan yang mulai mengganggu pikiran.Kulihat ada raut resah yang menggelayut di riak wajahnya. Mungkinkah dia mulai mengerti dengan apa yang ada dalam hatiku?'Tuhan, bantu Arini memb
Kejadian di kantor membuatku semakin ingin mencari cara agar Arini segera bisa melihat kelakuan ibunya. Aku tidak ingin rumah tanggaku hancur hanya karena nafsu ibu mertua yang kegenitan.Malam ini sudah aku rancang semua percakapan, berharap tak ada salah paham yang membuat Arini berpikir aku tidak menyukai keberadaan ibunya di rumah ini.Terkadang aku merasa tak leluasa dalam berpendapat, mengingat kembali rumah yang kutempati adalah hasil jerih payah Arini. Meski Arini tak pernah mengungkit ataupun menyinggung, tetap saja aku punya rasa tak enak jika harus banyak komplain.Malam ini, setelah makan malam aku langsung pamit masuk ke kamar lebih awal dengan alasan tidak enak badan. Berharap Arini segera menyusulku ke kamar. Benar saja, dia masuk dengan membawa wedang jahe hangat dan minyak kayu putih di tangan.Ah, dia memang istri yang super. Menerima penghasilan yang kuberikan tanpa mencibir, melayaniku tanp
Pov AriniNamaku Arini, Arini Prabandari itu lengkapnya. Terlahir dalam keluarga broken home. Sejak kecil dalam asuhan paman dan bibi. Cerita tentang orang tuaku hanya kudengar dari mereka saja.Jujur, kekecewaan itu ada ketika mengetahui bagaimana kehidupan ayah dan ibu. Terlalu tragis bagiku, tapi tidak untuk ibu.Kata paman, ayahku pengusaha baja kuningan yang tergolong sukses. Banyak barang bernilai seni hasil produksinya yang tembus ke pasaran internasional.Ayah menikahi ibu yang berstatus janda bukan semata-mata karena ibu cantik, tapi lebih pada rasa iba. Ibu saat itu sedang kebingungan di sebuah terminal sambil menggendong anak kecil.Sungguh ironis memang, ayah yang datang sebagai dewa penolong justru harus berakhir tragis. Pernikahan mereka hanya bertahan tiga tahun dan dalam masa itu ayah kehilangan semua jerih payah yang ia bangun bertahun-tahun.Ya, ayahku adalah
"Mas, Sabtu besok aku ada tugas keluar kota. Ada pelatihan yang bahas produk perbankan baru," ucap Arini saat ia menyisir rambut di depan cermin.Kuhentikan jemariku dari aktivitas berseluncur di dunia maya. Kudekati wanita tangguhku dan mendekap erat tubuhnya dari belakang. Seketika indra penciumanku langsung dimanjakan oleh harum rambut seusai keramas."Dek, bisa nggak kalau tugasnya dilempar ke yang lain?" Aku berharap Arini tak meninggalkan rumah, karena itu artinya memberi celah pada wanita jelmaan itu untuk membuatku semakin gila."Nggak bisa, Mas. Pimpinan langsung menunjukku karena aku yang nantinya berkompeten untuk mempublikasikan produk tabungan itu." Dengan lembut ia menjawab seraya telapak tangan kanannya mengelus pipiku.Aku membalikkan badannya, menatap netra dengan manik kelam itu. Ingin kuselami dan kutemukan apa yang sebenarnya mengendap dalam pikiran wanita yang begitu tenang dan teduh ini.
Semenjak kepergian Arini keluar kota, kuputuskan untuk numpang di kost-kostan Martin, teman sekantor. Hanya dengannya kuceritakan semua dan disambut dengan gelak tawa.Mungkin baginya kisah menantu dikejar-kejar mertua itu sama seperti kisah Abu Nawas, penuh tantangan yang butuh akal ekstra untuk mengalahkan semua permainan atau teka-teki.Tak kupungkiri, ada kekhawatiran yang merayapi ruang pikir. Bagaimana jika Arini melihat video perlakuanku ke ibunya. Yang kutakutkan adalah Arini hilang hormat padaku yang berujung ia akan mendiamkan aku berhari-hari atau lebih parahnya mengusirku karena tidak terima ibunya aku bentak-bentak.Ah! Kenapa wanita iblis itu hadir dalam hidupku. Kupikir manusia seperti itu hanya ada dalam film-film saja, tapi ternyata memang ada dan hadir dalam kehidupanku sebagai penguji.Pikiranku buntu saat ini. Otak tak mampu bekerja mencari jalan keluar. Ingin rasanya membalas, tapi takut justru
Kegalauan yang melanda akhirnya berganti rasa lega yang tak terkira. Pasalnya, bidadari cantikku tak pernah berpaling sedikit pun ke pria lain. Aku tahu, Arini pasti tak akan bisa meninggalkan lelaki tampan dan setia sepertiku.Sepanjang perjalanan senyumku terus saja merekah, membayangkan nanti malam akan kureguk kembali manisnya cinta bersama wanita halalku. Menyesal pernah mengabaikan rayuan nakal yang seharusnya mendapat respon dariku.Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tak akan kubiarkan belahan jiwaku menahan hasrat seorang diri. Ah ... sepertinya benar kata orang, aku ini memang bodoh.Tapi tak apa, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki semua. Apalagi Arini selalu memaklumi setiap hal tentangku, termasuk ketidakpekaan yang selama ini dianggap sebagai kebodohanku.Tentu saja harus maklum, aku begini juga karena ibunya yang dulu memukul kepalaku hingga koma. Coba kalau dulu tidak digetok pakai vas, sudah pasti kejeniusanku akan bertahan hingga kini.Lamunanku buyar kala p
Dari spion mobil dapat kulihat sosok wanita dengan rambut dikuncir ekor kuda sedang berjalan menuju mobilku. Dia menenteng map kuning berisi berkas file yang memang sengaja kutinggal.Senyumku makin merekah ketika wanita itu menyembulkan kepala untuk mengetuk kaca mobil. Segera aku persilahkan ia masuk ke mobil dan siap mendengarkan semua pengaduannya."Ini berkasnya, Tuan.""Iya, terimakasih. Sini masuk."Sri hanya mengangguk dan duduk di sebelahku. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang kebingungan. "Baik, Tuan."Untuk kesekian kali kuhela napas kembali, mencoba mentralisir gejolak emosi yang meletup-letup. Aku persiapkan hati dan mental untuk mendengar sebuah kebenaran yang akan diungkap oleh Sri."Kita hanya punya waktu sebentar, jangan sampai Arini curiga karena kamu kelamaan di sini.""Iya, Tuan.""Jadi, cepet kamu cerita." Rasanya tak sabar lagi untuk mendengar penuturan Sri, rasa penasaran semakin memuncak."Begini, Tuan. Mbak Arini selama ini ...." Sri menggantung uc
Gawaiku kembali bergetar untuk kesekian kalinya. Akhirnya dengan malas kulirik juga layar yang berpendar itu. Sebuah nama terpampang, Bobby."Ya, ada apa?" jawabku malas."Dan, besok kamu berangkat lagi ke Bandung, ya? Aku harus ke Pekanbaru sore ini.""Kenapa harus aku?" tanyaku dengan sewot, karena aku tahu pasti ini akal-akalan dia lagi."Kamu itu partner kerja aku, ya sudah pasti kamu yang bisa handle kerjaanku."Sejenak aku berpikir. Sepertinya ini kesempatan aku untuk menangkap basah Bobby ketika menemui Arini. "Oke, besok pagi aku berangkat ke sana." Sengaja aku menjawab dengan mantap agar ia tak curiga dengan rencanaku."Thanks, Dan."Tanpa menjawab lagi, kumatikan panggilan. Bagiku sudah cukup basa-basi dan sandiwara yang dimainkan oleh Bobby. Sekarang saatnya Adarga Handanu menunjukkan taring.Malam ini aku mulai mempersiapkan beberapa lembar baju yang aku masukkan ke dalam koper kecil. Tidak lupa laptop dan beberapa dokumen yang akan dibutuhkan aku sertakan pula."Lho, Mas
Detak jarum jam terdengar mengisi sunyi malam yang kurasa tanpa ujung. Arini telah terlelap di sampingku. Begitu lekat kupandangi wajah lelahnya.Kembali anganku mengembara tak menentu. Hingga detik ini otak belum juga menemukan titik temu meski sudah banyak masukan dari para Danu lovers.Aku bangkit dari posisi tidurku, kemudian turun menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku rasa dua rakaat di tengah malam akan memberiku rasa tentram sehingga akal bisa berpikir jernih.Dengan menghadap kiblat, aku berserah diri dan memohon jalan keluar pada Illahi Rabbi. Ketenangan mulai menjalari relung jiwa, perlahan kekhawatiran sedikit demi sedikit terkikis.Setelah selasai bermunajat, kurebahkan kembali raga yang telah lelah. Kupejamkan netra meski masih sulit untuk tidur. Beberapa kali kuatur pernapasan agar himpitan di dada tak begitu menyesakkan.Baiklah, aku harus berpikir untuk mencari solusi tanpa membuat hubunganku dengan Arini renggang atau bahkan rusak.Bisa saja aku tunjukkan
Hari demi hari kegalauanku semakin memuncak. Perasaan was-was kian tak menentu menguasai setiap sendi rasa takut.Argh!Semakin lama situasi ini semakin membuat batinku tertekan. Setiap langkah yang hendak kugunakan terbentur pada rasa tidak yakin dengan hasil yang nantinya akan kudapat.Demi menjaga keutuhan rumah tangga, kuputuskan siang ini untuk pergi menemui teman lamaku, yaitu Martin. Berharap setelah mengobrol dengannya akan kudapati solusi dari semua permasalahan ini."Tumben ingat aku, Dan?" sapa Martin kala tulang duduk menyentuh kursi di cafe bernuansa klasik ini."Masih untung aku ingat kamu, Tin." sungutku tak berselera menanggapi kicauannya."Ada masalah apalagi?""Bobby.""Bobby? Mantan ayah mertua tiri kamu yang pemuja nenek semlohai itu?"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan panjang yang terlontar dari mulut Martin. "Pesen kopi dulu, gih!" usulku pada Martin."Pakai sianida, nggak?" canda Martin sembari mengedipkan mata membuat tingkah konyol."Boleh,
Hari ini adalah hari terakhir aku melakukan pemantauan proyek di kawasan perumahan elite. Sudah genap satu minggu aku bersama Rusli menyelesaikan pekerjaan.Kututup laptop dan bergegas menata pakaian. Setelah semua siap, aku berpamitan pada Rusli. Lelaki yang menjadi orang kepercayaan Bobby itu melepasku hingga depan pagar.Senyumku mengembang, rasa rindu terhadap anak dan istri begitu menggebu. Meski setiap malam bisa melihat mereka melalui video call, namun kerinduan akan hangatnya kebersamaan tetap bergelayut di hati.Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mesin beroda empat yang kukemudikan memasuki halaman rumah. Arini menyambutku di teras rumah dengan senyum manis menyembul di bibir tipisnya.Arini segera menyambutku dengan cium tangan takzim, kemudian ia bergelayut manja di lenganku. Kudaratkan kecupan hangat di dahi wanita yang teramat kurindukan pelukannya."Putra dan putri sehat, Dek?""Sehat, Mas.""Alhamdulillah ... Mas kangen, emmuach ...." sekali lagi k
Tekadku telah bulat. Aku harus menangkap basah perselingkuhan antara Arini dengan Bobby. Sudah kuputuskan menggunakan Sri sebagai mata-mata.Sengaja aku pergi setelah Sri keluar rumah untuk belanja sayuran ke pasar. Dengan sedikit tergesa kulajukan mobil dan berhenti tepat di dekat Sri berdiri menunggu angkutan."Tuan?" Tampak wajah Sri keheranan melihatku."Masuk!" titahku yang langsung dituruti oleh Sri."Ada apa, Tuan?" "Aku antar kamu ke pasar, sekalian ada yang perlu aku bicarakan denganmu.""Maaf, Tuan Danu. Mau bicara apa?""Kita cari tempat untuk bicara." Segera kuinjak gas untuk melajukan kembali mesin beroda empat.Setelah aku rasa cukup jauh dari rumah, kutepikan mobil. Mulai kuambil napas untuk mengumpulkan kembali serpihan kekuatan hati yang hancur seketika saat melihat foto Arini dan Bobby."Sri, aku butuh bantuan kamu.""Bantuan apa, Tuan?""Mengawasi Arini.""Ada apa dengan Mbak Arini, Tuan?"Huff ... kembali kuhembus napas kesal. Setiap mengingatnya, dada ini terasa
"Selamat pagi, Tuan. Ini tehnya," sapa Sri sembari meletakkan secangkir teh di meja samping aku duduk.Kuhentikan aktivitas membaca majalah olahraga, sejenak kuarahkan pandangan ke wanita yang kini berdiri di hadapanku.Seperti ada magnet yang menarikku untuk memperhatikan paras serta kulitnya. Sebagai gadis desa, Sri tak tampak seperti gadis yang datang dari desa pada umumnya.Kulit dan wajahnya terawat, jauh dari kata kusam. Bahkan rambutnya juga terlihat ada bekas pernah diwarna. Aneh, mana ada gadis desa seperti itu?"Maaf, Tuan. Ada yang salah dengan pakaian saya?" tanya Sri mengaketkan penelusuran netraku."Ehm ... tidak, tapi ada yang ingin aku tahu darimu.""Apa, Tuan?"Kupicingkan sebelah mata, sedikit mengernyit memandangnya. Tetap saja aneh dalam pemikiranku, Sri tak tampak layaknya gadis desa yang lugu."Apa kamu sudah lama tinggal di kota?""I-iya, Tuan. Saya bekerja di kota sejak usia enam belas tahun.""Itu artinya sudah hampir empat tahun kamu hidup di kota?""Benar, T
Hari demi hari kecurigaanku mulai terbukti. Kedatangan Bobby yang semula karena alasan urusan bisnis denganku, membuat semuanya menjadi dilema berkepanjangan.Di sisi lain, aku masih ada ikatan kerjasama dengan pria itu. Namun, tak dapat kupungkiri bahwa perasaan Bobby ke Arini kian menyeruak dan tak dapat ia tahan.Siang itu, kala mentari mulai mendekat di atas kepala ... Bobby mencuri start untuk datang ke rumah lebih awal. Seperti biasa dengan alasan ikut membantu menyiapkan sajian.Kali ini dia membawa cukup banyak makanan catering. Ya, memang hari ini acara tasyukuran kecil-kecilan karena proyek kerjasama kami telah sukses. Semua relasi yang terkait saja yang diundang, termasuk Pak Rahman."Danu! harusnya kalau sudah kerepotan seperti ini, kamu cari asisten rumah tangga untuk bantu istrimu. Bukan malah hanya lihatin saja!" Bobby mulai dengan komplainnya.Entahlah, aku merasa dia itu laki-laki tapi cerewetnya melebihi emak-emak. Sudah berapa kali ia mengkritik sikapku yang seolah