POV DanuTuhan selalu punya cara untuk menunjukkan jalan pada setiap hamba yang sedang kesulitan. Meski kembalinya kesadaranku dengan cara ekstrim, namun tetap patut disyukuri.Ciuman maut milik nenek semlohai hampir saja terulang kembali. Tak bisa kubayangkan detik-detik peristiwa itu, begitu mendebarkan. Ah, mungkin aku yang terlalu lebay.Tapi, baiklah. Sekarang aku tengah menikmati waktuku bersama bidadari surga yang pernah aku anggap lebih beruntung karena mendapatkan aku, pria tampan pujaan para wanita.Pada kenyataannya, justru akulah yang sangat beruntung karena memiliki istri sebaik Arini. Ia ternyata wanita yang sangat tangguh, wanita super dan juga cerdas. Dan satu lagi, dia wanita yang tak pernah komplain dengan kekuranganku.Ya, aku akui ... aku memang sering kepo, keceplosan, kebanyakan mikir ... tapi, semua itu bukan masalah besar. Toh itu semua hal normal yang bisa terjadi pada setiap orang.Ingat, aku bukan lemot atau telat mikir. Aku hanya penuh perhitungan dalam set
Kala bintang itu terus berputar dan menimbulkan rasa nyeri di kepala, segera kuteguk minuman yang telah tersaji di hadapanku. Perlahan pusing itu berkurang, kupijit pelipis dan kembali meneguk air."Kenapa, Mas? Mas Danu nggak enak badan?" Tampak Arini begitu khawatir, mungkin karena keadaanku yang belum benar-benar fit."Nggak, Dek. Kepala Mas hanya sedikit pusing." Kugelengkan kepala dan masih memijat pelipis."Mau pulang saja?" Ia genggam jemariku, tatapannya penuh kecemasan."Nanti saja, Dek. Nggak enak dengan Niko.""Ya, sudahlah. Tapi kalau memang Mas nggak kuat, kita bisa pulang."Sekali lagi kugelengkan kepala. Rasa penasaran lebih menguasai pikiranku. Aku tak boleh melewatkan sedikit pun cerita yang terjadi."Selamat sore semua, terimakasih telah hadir dalam perayaan ulang tahun Yayasan Panti Asuhan Kasih Bunda yang ke-36 tahun." Niko memulai sambutannya."Sebagai anak asuh yang telah mendapat bantuan dari panti asuhan ini, saya benar-benar berterimakasih kepada semua penguru
Kuhempas kasar tubuh ke sofa di ruang tamu. Nyeri yang kurasa tak hanya di kepala, namun juga di hati. Tak habis pikir kenapa Arini lebih memilih wanita itu daripada aku, suaminya.Mungkin Arini terbawa suasana sehingga ia lupa bahwa surga bukan lagi di kaki ibunya, melainkan pada bakti ke suami. Ya, mungkin sekarang ini Arini sedang khilaf dan takut kehilangan sosok wanita yang ia anggap ibu.Kupijat pelipis sembari meluruskan tubuh dan memejamkan netra. Berharap, setelah bangun nanti semua keadaan akan membaik.Percuma, pikiran tetap saja melanglang ke sana kemari, hati juga telah tercuri ketenangannya. Rasa tidak ikhlas merelakan semua yang terjadi begitu mengusik batin.Sungguh, aku masih sulit menerima jika Hera yang telah membuatku sekarat hanya menerima balasan ringan seperti itu. Aku tahu Tuhan itu Maha Adil, mungkin saja karma dia akan tiba nanti. Tapi hati ini benar-benar tak sabar melihat wanita jahanam berlumur dosa itu mendapat karma yang luar biasa menyakitkan.Ah, mungk
Aku bersyukur kehidupanku telah kembali normal. Kebahagian menaungi rumah tanggaku dengan Arini. Semakin lengkap ketika istriku melahirkan dua Danu junior alias kembar.Sungguh nikmat yang tiada tara. Lahirnya Darin Saputra dan Darin Saputri membuat Arini harus resign dari pekerjaannya. Sedangkan aku, oleh Pak Rahman dipercaya mengurus bisnis kuningan yang pangsa pasarnya sudah internasional.Pak Rahman banyak mengajariku ilmu bisnis, bahkan belajar cara mendesain kerajinan dari bahan kuningan juga ia berikan. Sungguh Tuhan telah mengganti semua cobaan dengan nikmat yang tak terhingga.Sore itu aku bersama istri dan anak-anak berkunjung ke Pak Rahman. Sampai di depan gerbang segera kutepikan mobil. Sejenak memperhatikan kendaraan roda empat yang tak asing bagiku."Kenapa, Mas? Kok, nggak langsung masuk?""Itu sepertinya mobil Ayah mertua muda, Dek?""Bang Bobby?""He-um.""Memangnya kenapa kalau itu mobil Bang Bobby? Kan, masih luas halaman parkirnya."Sungguh istri yang tidak peka. A
Sore itu rintik air dari langit datang menyapa senja. Mentari enggan menampakkan wajah sejak siang, ia memilih bersembunyi di balik gumpalan awan hitam yang berarak.Kuhentikan sejenak aktivitas di depan laptop, menyeruput kopi yang hampir dingin kemudian melirik penanda waktu."Hampir maghrib," batinku.Suasana rumah begitu lengang. Sudah dua hari ini Arini di rumah Pak Rahman. Lelaki yang memasuki usia senja itu mengabarkan bahwa sedang tidak enak badan. Setelah meminta ijin denganku, Arini buru-buru ke sana.Pak Rahman tinggal di rumah mewah itu hanya dengan supir dan asisten rumah tangga. Ia memutuskan tidak menikah lagi demi Arini, bahkan hingga saat ini putri semata wayang itu masih terus jadi prioritas.Wejangan demi wejangan selalu ia berikan untukku, terutama pesan untuk terus menjaga puterinya. Tanpa ia minta pun sebenarnya aku akan mati-matian mempertaruhkan segalanya demi wanitaku itu.Tiba-tiba kerinduan terhadap Arini dan dua juniorku menelusup dalam kalbu. Segera kuambi
Hari demi hari kecurigaanku mulai terbukti. Kedatangan Bobby yang semula karena alasan urusan bisnis denganku, membuat semuanya menjadi dilema berkepanjangan.Di sisi lain, aku masih ada ikatan kerjasama dengan pria itu. Namun, tak dapat kupungkiri bahwa perasaan Bobby ke Arini kian menyeruak dan tak dapat ia tahan.Siang itu, kala mentari mulai mendekat di atas kepala ... Bobby mencuri start untuk datang ke rumah lebih awal. Seperti biasa dengan alasan ikut membantu menyiapkan sajian.Kali ini dia membawa cukup banyak makanan catering. Ya, memang hari ini acara tasyukuran kecil-kecilan karena proyek kerjasama kami telah sukses. Semua relasi yang terkait saja yang diundang, termasuk Pak Rahman."Danu! harusnya kalau sudah kerepotan seperti ini, kamu cari asisten rumah tangga untuk bantu istrimu. Bukan malah hanya lihatin saja!" Bobby mulai dengan komplainnya.Entahlah, aku merasa dia itu laki-laki tapi cerewetnya melebihi emak-emak. Sudah berapa kali ia mengkritik sikapku yang seolah
"Selamat pagi, Tuan. Ini tehnya," sapa Sri sembari meletakkan secangkir teh di meja samping aku duduk.Kuhentikan aktivitas membaca majalah olahraga, sejenak kuarahkan pandangan ke wanita yang kini berdiri di hadapanku.Seperti ada magnet yang menarikku untuk memperhatikan paras serta kulitnya. Sebagai gadis desa, Sri tak tampak seperti gadis yang datang dari desa pada umumnya.Kulit dan wajahnya terawat, jauh dari kata kusam. Bahkan rambutnya juga terlihat ada bekas pernah diwarna. Aneh, mana ada gadis desa seperti itu?"Maaf, Tuan. Ada yang salah dengan pakaian saya?" tanya Sri mengaketkan penelusuran netraku."Ehm ... tidak, tapi ada yang ingin aku tahu darimu.""Apa, Tuan?"Kupicingkan sebelah mata, sedikit mengernyit memandangnya. Tetap saja aneh dalam pemikiranku, Sri tak tampak layaknya gadis desa yang lugu."Apa kamu sudah lama tinggal di kota?""I-iya, Tuan. Saya bekerja di kota sejak usia enam belas tahun.""Itu artinya sudah hampir empat tahun kamu hidup di kota?""Benar, T
Tekadku telah bulat. Aku harus menangkap basah perselingkuhan antara Arini dengan Bobby. Sudah kuputuskan menggunakan Sri sebagai mata-mata.Sengaja aku pergi setelah Sri keluar rumah untuk belanja sayuran ke pasar. Dengan sedikit tergesa kulajukan mobil dan berhenti tepat di dekat Sri berdiri menunggu angkutan."Tuan?" Tampak wajah Sri keheranan melihatku."Masuk!" titahku yang langsung dituruti oleh Sri."Ada apa, Tuan?" "Aku antar kamu ke pasar, sekalian ada yang perlu aku bicarakan denganmu.""Maaf, Tuan Danu. Mau bicara apa?""Kita cari tempat untuk bicara." Segera kuinjak gas untuk melajukan kembali mesin beroda empat.Setelah aku rasa cukup jauh dari rumah, kutepikan mobil. Mulai kuambil napas untuk mengumpulkan kembali serpihan kekuatan hati yang hancur seketika saat melihat foto Arini dan Bobby."Sri, aku butuh bantuan kamu.""Bantuan apa, Tuan?""Mengawasi Arini.""Ada apa dengan Mbak Arini, Tuan?"Huff ... kembali kuhembus napas kesal. Setiap mengingatnya, dada ini terasa
Kegalauan yang melanda akhirnya berganti rasa lega yang tak terkira. Pasalnya, bidadari cantikku tak pernah berpaling sedikit pun ke pria lain. Aku tahu, Arini pasti tak akan bisa meninggalkan lelaki tampan dan setia sepertiku.Sepanjang perjalanan senyumku terus saja merekah, membayangkan nanti malam akan kureguk kembali manisnya cinta bersama wanita halalku. Menyesal pernah mengabaikan rayuan nakal yang seharusnya mendapat respon dariku.Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tak akan kubiarkan belahan jiwaku menahan hasrat seorang diri. Ah ... sepertinya benar kata orang, aku ini memang bodoh.Tapi tak apa, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki semua. Apalagi Arini selalu memaklumi setiap hal tentangku, termasuk ketidakpekaan yang selama ini dianggap sebagai kebodohanku.Tentu saja harus maklum, aku begini juga karena ibunya yang dulu memukul kepalaku hingga koma. Coba kalau dulu tidak digetok pakai vas, sudah pasti kejeniusanku akan bertahan hingga kini.Lamunanku buyar kala p
Dari spion mobil dapat kulihat sosok wanita dengan rambut dikuncir ekor kuda sedang berjalan menuju mobilku. Dia menenteng map kuning berisi berkas file yang memang sengaja kutinggal.Senyumku makin merekah ketika wanita itu menyembulkan kepala untuk mengetuk kaca mobil. Segera aku persilahkan ia masuk ke mobil dan siap mendengarkan semua pengaduannya."Ini berkasnya, Tuan.""Iya, terimakasih. Sini masuk."Sri hanya mengangguk dan duduk di sebelahku. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang kebingungan. "Baik, Tuan."Untuk kesekian kali kuhela napas kembali, mencoba mentralisir gejolak emosi yang meletup-letup. Aku persiapkan hati dan mental untuk mendengar sebuah kebenaran yang akan diungkap oleh Sri."Kita hanya punya waktu sebentar, jangan sampai Arini curiga karena kamu kelamaan di sini.""Iya, Tuan.""Jadi, cepet kamu cerita." Rasanya tak sabar lagi untuk mendengar penuturan Sri, rasa penasaran semakin memuncak."Begini, Tuan. Mbak Arini selama ini ...." Sri menggantung uc
Gawaiku kembali bergetar untuk kesekian kalinya. Akhirnya dengan malas kulirik juga layar yang berpendar itu. Sebuah nama terpampang, Bobby."Ya, ada apa?" jawabku malas."Dan, besok kamu berangkat lagi ke Bandung, ya? Aku harus ke Pekanbaru sore ini.""Kenapa harus aku?" tanyaku dengan sewot, karena aku tahu pasti ini akal-akalan dia lagi."Kamu itu partner kerja aku, ya sudah pasti kamu yang bisa handle kerjaanku."Sejenak aku berpikir. Sepertinya ini kesempatan aku untuk menangkap basah Bobby ketika menemui Arini. "Oke, besok pagi aku berangkat ke sana." Sengaja aku menjawab dengan mantap agar ia tak curiga dengan rencanaku."Thanks, Dan."Tanpa menjawab lagi, kumatikan panggilan. Bagiku sudah cukup basa-basi dan sandiwara yang dimainkan oleh Bobby. Sekarang saatnya Adarga Handanu menunjukkan taring.Malam ini aku mulai mempersiapkan beberapa lembar baju yang aku masukkan ke dalam koper kecil. Tidak lupa laptop dan beberapa dokumen yang akan dibutuhkan aku sertakan pula."Lho, Mas
Detak jarum jam terdengar mengisi sunyi malam yang kurasa tanpa ujung. Arini telah terlelap di sampingku. Begitu lekat kupandangi wajah lelahnya.Kembali anganku mengembara tak menentu. Hingga detik ini otak belum juga menemukan titik temu meski sudah banyak masukan dari para Danu lovers.Aku bangkit dari posisi tidurku, kemudian turun menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku rasa dua rakaat di tengah malam akan memberiku rasa tentram sehingga akal bisa berpikir jernih.Dengan menghadap kiblat, aku berserah diri dan memohon jalan keluar pada Illahi Rabbi. Ketenangan mulai menjalari relung jiwa, perlahan kekhawatiran sedikit demi sedikit terkikis.Setelah selasai bermunajat, kurebahkan kembali raga yang telah lelah. Kupejamkan netra meski masih sulit untuk tidur. Beberapa kali kuatur pernapasan agar himpitan di dada tak begitu menyesakkan.Baiklah, aku harus berpikir untuk mencari solusi tanpa membuat hubunganku dengan Arini renggang atau bahkan rusak.Bisa saja aku tunjukkan
Hari demi hari kegalauanku semakin memuncak. Perasaan was-was kian tak menentu menguasai setiap sendi rasa takut.Argh!Semakin lama situasi ini semakin membuat batinku tertekan. Setiap langkah yang hendak kugunakan terbentur pada rasa tidak yakin dengan hasil yang nantinya akan kudapat.Demi menjaga keutuhan rumah tangga, kuputuskan siang ini untuk pergi menemui teman lamaku, yaitu Martin. Berharap setelah mengobrol dengannya akan kudapati solusi dari semua permasalahan ini."Tumben ingat aku, Dan?" sapa Martin kala tulang duduk menyentuh kursi di cafe bernuansa klasik ini."Masih untung aku ingat kamu, Tin." sungutku tak berselera menanggapi kicauannya."Ada masalah apalagi?""Bobby.""Bobby? Mantan ayah mertua tiri kamu yang pemuja nenek semlohai itu?"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan panjang yang terlontar dari mulut Martin. "Pesen kopi dulu, gih!" usulku pada Martin."Pakai sianida, nggak?" canda Martin sembari mengedipkan mata membuat tingkah konyol."Boleh,
Hari ini adalah hari terakhir aku melakukan pemantauan proyek di kawasan perumahan elite. Sudah genap satu minggu aku bersama Rusli menyelesaikan pekerjaan.Kututup laptop dan bergegas menata pakaian. Setelah semua siap, aku berpamitan pada Rusli. Lelaki yang menjadi orang kepercayaan Bobby itu melepasku hingga depan pagar.Senyumku mengembang, rasa rindu terhadap anak dan istri begitu menggebu. Meski setiap malam bisa melihat mereka melalui video call, namun kerinduan akan hangatnya kebersamaan tetap bergelayut di hati.Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mesin beroda empat yang kukemudikan memasuki halaman rumah. Arini menyambutku di teras rumah dengan senyum manis menyembul di bibir tipisnya.Arini segera menyambutku dengan cium tangan takzim, kemudian ia bergelayut manja di lenganku. Kudaratkan kecupan hangat di dahi wanita yang teramat kurindukan pelukannya."Putra dan putri sehat, Dek?""Sehat, Mas.""Alhamdulillah ... Mas kangen, emmuach ...." sekali lagi k
Tekadku telah bulat. Aku harus menangkap basah perselingkuhan antara Arini dengan Bobby. Sudah kuputuskan menggunakan Sri sebagai mata-mata.Sengaja aku pergi setelah Sri keluar rumah untuk belanja sayuran ke pasar. Dengan sedikit tergesa kulajukan mobil dan berhenti tepat di dekat Sri berdiri menunggu angkutan."Tuan?" Tampak wajah Sri keheranan melihatku."Masuk!" titahku yang langsung dituruti oleh Sri."Ada apa, Tuan?" "Aku antar kamu ke pasar, sekalian ada yang perlu aku bicarakan denganmu.""Maaf, Tuan Danu. Mau bicara apa?""Kita cari tempat untuk bicara." Segera kuinjak gas untuk melajukan kembali mesin beroda empat.Setelah aku rasa cukup jauh dari rumah, kutepikan mobil. Mulai kuambil napas untuk mengumpulkan kembali serpihan kekuatan hati yang hancur seketika saat melihat foto Arini dan Bobby."Sri, aku butuh bantuan kamu.""Bantuan apa, Tuan?""Mengawasi Arini.""Ada apa dengan Mbak Arini, Tuan?"Huff ... kembali kuhembus napas kesal. Setiap mengingatnya, dada ini terasa
"Selamat pagi, Tuan. Ini tehnya," sapa Sri sembari meletakkan secangkir teh di meja samping aku duduk.Kuhentikan aktivitas membaca majalah olahraga, sejenak kuarahkan pandangan ke wanita yang kini berdiri di hadapanku.Seperti ada magnet yang menarikku untuk memperhatikan paras serta kulitnya. Sebagai gadis desa, Sri tak tampak seperti gadis yang datang dari desa pada umumnya.Kulit dan wajahnya terawat, jauh dari kata kusam. Bahkan rambutnya juga terlihat ada bekas pernah diwarna. Aneh, mana ada gadis desa seperti itu?"Maaf, Tuan. Ada yang salah dengan pakaian saya?" tanya Sri mengaketkan penelusuran netraku."Ehm ... tidak, tapi ada yang ingin aku tahu darimu.""Apa, Tuan?"Kupicingkan sebelah mata, sedikit mengernyit memandangnya. Tetap saja aneh dalam pemikiranku, Sri tak tampak layaknya gadis desa yang lugu."Apa kamu sudah lama tinggal di kota?""I-iya, Tuan. Saya bekerja di kota sejak usia enam belas tahun.""Itu artinya sudah hampir empat tahun kamu hidup di kota?""Benar, T
Hari demi hari kecurigaanku mulai terbukti. Kedatangan Bobby yang semula karena alasan urusan bisnis denganku, membuat semuanya menjadi dilema berkepanjangan.Di sisi lain, aku masih ada ikatan kerjasama dengan pria itu. Namun, tak dapat kupungkiri bahwa perasaan Bobby ke Arini kian menyeruak dan tak dapat ia tahan.Siang itu, kala mentari mulai mendekat di atas kepala ... Bobby mencuri start untuk datang ke rumah lebih awal. Seperti biasa dengan alasan ikut membantu menyiapkan sajian.Kali ini dia membawa cukup banyak makanan catering. Ya, memang hari ini acara tasyukuran kecil-kecilan karena proyek kerjasama kami telah sukses. Semua relasi yang terkait saja yang diundang, termasuk Pak Rahman."Danu! harusnya kalau sudah kerepotan seperti ini, kamu cari asisten rumah tangga untuk bantu istrimu. Bukan malah hanya lihatin saja!" Bobby mulai dengan komplainnya.Entahlah, aku merasa dia itu laki-laki tapi cerewetnya melebihi emak-emak. Sudah berapa kali ia mengkritik sikapku yang seolah