POV AriniBulir bening masih jatuh bergulir di pipi kala memandang tubuh lelakiku tergolek lemah dengan beberapa alat medis menempel di badannya. Layar deteksi jantung masih menunjukkan adanya indikasi kehidupan pada raga yang koma.Berkali-kali aku rutuki kebodohanku yang tak mampu menolongnya. Mas Danu, pria setia yang tak pernah mendua. Keinginannya begitu sederhana, hanya ingin hidup bahagia bersamaku hingga menua bersama.Kini, kuhanya mampu mendekap erat tangan pria tampan yang telah meluluhkan hatiku. Kucium berulang kali punggung tangan yang tak mampu merespon.Bak disambar petir di siang bolong, derai air mata tak mampu kutahan tatkala mendengar penjelasan dari dokter yang menangani Mas Danu.Menurut hasil pemeriksaan, akibat pukulan vas bunga yang membabi buta itu mengakibatkan Mas Danu mengalami cedera saraf yang serius.Trauma pada otak yang menyebabkan pembengkakkan dan perdarahan di otak bagian belakang mengakibatkan gangguan fungsi otak yang berujung pada penurunan kesa
POV HeraLangkah kaki yang lelah mulai terseret, napas tersengal-sengal seperti hampir sekarat. Tenggorokan begitu kering kurasa, beberapa kali terbatuk-batuk karena haus yang mendera.Kujatuhkan tubuh di bawah rindang pohon. Sedikit mengerikan karena gelap masih menaungi malam yang telah larut menjelang pagi. Namun, aku tak ada pilihan. Tubuh tak muda ini sudah tak mampu berlari lagi.Pandangan mengedar mencari sesuatu yang bisa membasahi tenggorokan. Untunglah, ada segelas air mineral bekas tergeletak di tepi jalan. Segera tangan ini meraih dan menyobek lebar bagian atas kemasan, kemudian menenggak air hingga tandas.Ah, masih kurang. Air yang hanya seteguk itu tak mampu membasahi sempurna keringnya tenggorokan yang terasa tercekat. Kulempar jauh-jauh gelas plastik itu dengan kesal.Kegelisahan merayapi hati, di mana kini aku akan bernaung. Tak mungkin aku kembali ke rumah Arini, anak durhaka itu pasti tak akan mengijinkan aku tinggal di sana lagi.Tak sepantasnya Arini menceritakan
POV DanuMentari begitu terik, angin enggan bertiup. Di tepi jalan depan rumah sakit aku duduk termenung memandangi beberapa kendaraan yang lalu lalang.Aku sengaja keluar untuk mencari inspirasi. Berbagai cara sudah aku coba untuk kembali masuk ke raga, tapi tetap saja tak bisa. Entahlah, hingga kapan aku harus seperti ini.Di sana, di ruang ICU tubuhku masih tergolek lemah dengan perban membalut kepala. Selain itu, berbagai alat bantu kehidupan juga menempel di badan. Mungkin saja jika alat-alat itu dilepas, maka selamanya raga dan nyawa tak akan bersatu kembali.Ketakutan demi ketakutan yang menghantuiku kini berubah menjadi semangat untuk menemukan cara agar bisa kembali ke raga itu. Seperti saat ini, setelah mencoba berkali-kali hingga putus asa akhirnya aku putuskan untuk keluar mencari ide. Berharap menemukan jalan kembali.Apa aku perlu cenayang untuk membantu, ya? Kalaupun perlu, lalu di mana bisa aku temukan cenayang itu? Seperti di film-film horor begitu, bisa panggil arwah
POV DanuGelap berganti terang, terang berganti senja. Masa telah terlewati dengan sejuta misteri yang perlahan mulai terurai. Namun, menyisakan teka-teki yang belum terungkap pasti.Arini, ia terus saja membuat ihwal baru yang tak kumengerti. Seluruh rencana yang ia susun tak melibatkan aku sedikit pun. Bahkan kebohongan yang ia ciptakan kemarin membuat aku semakin tak mampu memahami apa yang sebenarnya sedang ia mainkan dengan Bobby.Kutatap wajah wanitaku yang tertidur sembari duduk dan memeluk lenganku. Wajah lelah yang terlampau sangat begitu tersirat jelas. Kelopak mata yang terpejam dipenuhi tanda hitam melingkar.Kucoba untuk menyentuh pipi yang tertutup anak rambut, ingin sekali menyibakkan rambut yang menghalangi pandangan untuk menikmati paras yang telah memikat hatiku.Arini, sungguh aku merindukan segala hal tentangmu. Di sini netra ini mampu menatap, namun tak dapat menyentuh ragamu. Aku masih bisa merasakan cinta itu tetap untukku, tetapi di sudut hati terselip sedikit
Semilir angin bertiup mesra, membelai dedaunan yang bergerak mengikuti arahnya. Sepucuk daun kering jatuh ke tanah tanpa bisa dicegah. Begitu pun waktu, ia berputar tanpa menghiraukan apa yang telah terlewati.Di sini, di tempat aku berdiri. Di dalam ruang tanpa dimensi yang tak mampu dijamah netra, aku menjadi saksi semua ihwal yang sedang berlaku. Bobby, Arini, Niko, dan Pak Rahman yang sedang mempersiapkan rencana untuk memberi pelajaran pada wanita licik dan kejam itu.Detik demi detik kurasa begitu lambat menanti kemunculan si nenek semlohai. Aku rasa mertua genit itu pasti masih mondar-mandir untuk berpikir ribuan kali, makanya ia terlambat datang.Netraku mulai lelah menatap gerbang tinggi yang menjadi batas dari dunia tanpa beban ini dengan dunia luar yang penuh hiruk pikuk. Dua puluh menit yang Niko katakan telah berlalu. Kegelisahan mulai tampak di wajah-wajah mereka, terutama Arini."Sebentar, aku telpon Ibu lagi." Niko berinisiatif menghubungi Bu Hera. Ada nada sambung, na
Lantunan doa Arini di kala tengah malam masih bisa aku dengar. Meskipun dengan suara lirih ia meminta pada Sang Pemberi Kehidupan, namun aku yakin doa itu mampu menembus langit.Bulir bening itu masih saja menuruni lengkungan pipi dan jatuh menimpa mukena putih yang ia kenakan. Kesedihan dan harapan berkumpul dalam netra itu.Arini, wanita yang selalu membawa namaku dalam setiap sujud dan untaian doa. Dia wanita yang selama ini menerimaku dengan segala kekurangan, kini ia tengah dirundung kesedihan karena ulah ibunya.Arini ... seandainya aku bisa masuk kembali ke raga yang terbaring itu, mungkin saat ini jemariku tak akan membiarkan air mata itu tumpah. Di sini, di tepi sajadah yang ia gunakan untuk bermunajat, aku turut terduduk mengaminkan setiap bait doa yang ia panjatkan. Dari lubuk hati yang terdalam, aku pun memohon kehidupan kembali pada Sang Khalik.Arini, ia wanita yang tangguh. Saat pagi hingga sore ia menunaikan kewajibannya sebagai seorang karyawan bank, ketika pulang ke
POV HeraHari ini begitu melelahkan, pasalnya sudah tiga hari ini aku harus mengerjakan pekerjaan rumah dan merawat Mas Rahman yang sakit gila itu. Kata dokter, dia dinyatakan sudah sembuh.Tapi, entahlah! Aku sering merasa takut saja jikalau dia kambuh lagi. Tak bisa aku bayangkan saja bila ia kambuh, lalu mengamuk."Hera!" Teriakan itu kembali menggema ketika baru saja aku meletakkan tulang duduk di sofa."Huff ... apalagi maunya!" dengusku kesal, tak urung kaki ini tetap melangkah ke arah suara meski hati menggerutu."Iya, Mas. Ada apa?" Kupasang wajah seramah mungkin dengan lengkungan bibir manis."Siang ini aku mau makan nasi rawon!" "Tadi pagi udah aku masakin soto daging, itu juga belum habis.""Tapi aku mau nasi rawon!" teriak Mas Rahman sembari menggebrak meja makan di dekatnya."Iya, nanti aku buatkan. Aku harus belanja dulu bumbunya.""Nggak mau! Masakanmu nggak enak! Aku maunya kamu belikan di warung makan rawon Mak Bawon!" Duh, kenapa Mas Rahman seperti anak kecil gini,
POV HeraTerik matahari tepat di atas kepala begitu menyengat. Peluh mulai membasahi pakaian yang aku benci ini. Gamis dan hijab lebar mengurung lekuk indah tubuh yang aduhai, gerah menjalar ke seluruh badan.Kuseka bulir bening yang membasahi dahi dengan ujung hijab hitam lebar, berhenti sejenak untuk mengatur napas yang mulai tersengal. Aku harus bergegas pulang sebelum es krim yang kutenteng mencair.Rahman ternyata masih gila. Dia menyuruhku berjalan ke swalayan dan warung makan Mak Bawon, sedangkan letaknya saling berlawanan arah. Mana jauh lagi!Untuk saat ini tak ada pilihan selain mengikuti kemauan pria depresi itu. Ada sesal menyusup dalam hati, kenapa aku harus menerima perjanjian sepihak itu.Kuayunkan langkah lebih panjang agar cepat sampai, meski napas makin tersengal dan oksigen seolah sulit masuk. Tepat tiba di depan pagar, dari arah berlawanan terlihat mesin beroda empat menepi."Bukannya itu mobil Bobby?" gumamku sambil menghentikan langkah.Mobil itu memasuki halaman
Kegalauan yang melanda akhirnya berganti rasa lega yang tak terkira. Pasalnya, bidadari cantikku tak pernah berpaling sedikit pun ke pria lain. Aku tahu, Arini pasti tak akan bisa meninggalkan lelaki tampan dan setia sepertiku.Sepanjang perjalanan senyumku terus saja merekah, membayangkan nanti malam akan kureguk kembali manisnya cinta bersama wanita halalku. Menyesal pernah mengabaikan rayuan nakal yang seharusnya mendapat respon dariku.Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tak akan kubiarkan belahan jiwaku menahan hasrat seorang diri. Ah ... sepertinya benar kata orang, aku ini memang bodoh.Tapi tak apa, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki semua. Apalagi Arini selalu memaklumi setiap hal tentangku, termasuk ketidakpekaan yang selama ini dianggap sebagai kebodohanku.Tentu saja harus maklum, aku begini juga karena ibunya yang dulu memukul kepalaku hingga koma. Coba kalau dulu tidak digetok pakai vas, sudah pasti kejeniusanku akan bertahan hingga kini.Lamunanku buyar kala p
Dari spion mobil dapat kulihat sosok wanita dengan rambut dikuncir ekor kuda sedang berjalan menuju mobilku. Dia menenteng map kuning berisi berkas file yang memang sengaja kutinggal.Senyumku makin merekah ketika wanita itu menyembulkan kepala untuk mengetuk kaca mobil. Segera aku persilahkan ia masuk ke mobil dan siap mendengarkan semua pengaduannya."Ini berkasnya, Tuan.""Iya, terimakasih. Sini masuk."Sri hanya mengangguk dan duduk di sebelahku. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang kebingungan. "Baik, Tuan."Untuk kesekian kali kuhela napas kembali, mencoba mentralisir gejolak emosi yang meletup-letup. Aku persiapkan hati dan mental untuk mendengar sebuah kebenaran yang akan diungkap oleh Sri."Kita hanya punya waktu sebentar, jangan sampai Arini curiga karena kamu kelamaan di sini.""Iya, Tuan.""Jadi, cepet kamu cerita." Rasanya tak sabar lagi untuk mendengar penuturan Sri, rasa penasaran semakin memuncak."Begini, Tuan. Mbak Arini selama ini ...." Sri menggantung uc
Gawaiku kembali bergetar untuk kesekian kalinya. Akhirnya dengan malas kulirik juga layar yang berpendar itu. Sebuah nama terpampang, Bobby."Ya, ada apa?" jawabku malas."Dan, besok kamu berangkat lagi ke Bandung, ya? Aku harus ke Pekanbaru sore ini.""Kenapa harus aku?" tanyaku dengan sewot, karena aku tahu pasti ini akal-akalan dia lagi."Kamu itu partner kerja aku, ya sudah pasti kamu yang bisa handle kerjaanku."Sejenak aku berpikir. Sepertinya ini kesempatan aku untuk menangkap basah Bobby ketika menemui Arini. "Oke, besok pagi aku berangkat ke sana." Sengaja aku menjawab dengan mantap agar ia tak curiga dengan rencanaku."Thanks, Dan."Tanpa menjawab lagi, kumatikan panggilan. Bagiku sudah cukup basa-basi dan sandiwara yang dimainkan oleh Bobby. Sekarang saatnya Adarga Handanu menunjukkan taring.Malam ini aku mulai mempersiapkan beberapa lembar baju yang aku masukkan ke dalam koper kecil. Tidak lupa laptop dan beberapa dokumen yang akan dibutuhkan aku sertakan pula."Lho, Mas
Detak jarum jam terdengar mengisi sunyi malam yang kurasa tanpa ujung. Arini telah terlelap di sampingku. Begitu lekat kupandangi wajah lelahnya.Kembali anganku mengembara tak menentu. Hingga detik ini otak belum juga menemukan titik temu meski sudah banyak masukan dari para Danu lovers.Aku bangkit dari posisi tidurku, kemudian turun menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku rasa dua rakaat di tengah malam akan memberiku rasa tentram sehingga akal bisa berpikir jernih.Dengan menghadap kiblat, aku berserah diri dan memohon jalan keluar pada Illahi Rabbi. Ketenangan mulai menjalari relung jiwa, perlahan kekhawatiran sedikit demi sedikit terkikis.Setelah selasai bermunajat, kurebahkan kembali raga yang telah lelah. Kupejamkan netra meski masih sulit untuk tidur. Beberapa kali kuatur pernapasan agar himpitan di dada tak begitu menyesakkan.Baiklah, aku harus berpikir untuk mencari solusi tanpa membuat hubunganku dengan Arini renggang atau bahkan rusak.Bisa saja aku tunjukkan
Hari demi hari kegalauanku semakin memuncak. Perasaan was-was kian tak menentu menguasai setiap sendi rasa takut.Argh!Semakin lama situasi ini semakin membuat batinku tertekan. Setiap langkah yang hendak kugunakan terbentur pada rasa tidak yakin dengan hasil yang nantinya akan kudapat.Demi menjaga keutuhan rumah tangga, kuputuskan siang ini untuk pergi menemui teman lamaku, yaitu Martin. Berharap setelah mengobrol dengannya akan kudapati solusi dari semua permasalahan ini."Tumben ingat aku, Dan?" sapa Martin kala tulang duduk menyentuh kursi di cafe bernuansa klasik ini."Masih untung aku ingat kamu, Tin." sungutku tak berselera menanggapi kicauannya."Ada masalah apalagi?""Bobby.""Bobby? Mantan ayah mertua tiri kamu yang pemuja nenek semlohai itu?"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan panjang yang terlontar dari mulut Martin. "Pesen kopi dulu, gih!" usulku pada Martin."Pakai sianida, nggak?" canda Martin sembari mengedipkan mata membuat tingkah konyol."Boleh,
Hari ini adalah hari terakhir aku melakukan pemantauan proyek di kawasan perumahan elite. Sudah genap satu minggu aku bersama Rusli menyelesaikan pekerjaan.Kututup laptop dan bergegas menata pakaian. Setelah semua siap, aku berpamitan pada Rusli. Lelaki yang menjadi orang kepercayaan Bobby itu melepasku hingga depan pagar.Senyumku mengembang, rasa rindu terhadap anak dan istri begitu menggebu. Meski setiap malam bisa melihat mereka melalui video call, namun kerinduan akan hangatnya kebersamaan tetap bergelayut di hati.Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mesin beroda empat yang kukemudikan memasuki halaman rumah. Arini menyambutku di teras rumah dengan senyum manis menyembul di bibir tipisnya.Arini segera menyambutku dengan cium tangan takzim, kemudian ia bergelayut manja di lenganku. Kudaratkan kecupan hangat di dahi wanita yang teramat kurindukan pelukannya."Putra dan putri sehat, Dek?""Sehat, Mas.""Alhamdulillah ... Mas kangen, emmuach ...." sekali lagi k
Tekadku telah bulat. Aku harus menangkap basah perselingkuhan antara Arini dengan Bobby. Sudah kuputuskan menggunakan Sri sebagai mata-mata.Sengaja aku pergi setelah Sri keluar rumah untuk belanja sayuran ke pasar. Dengan sedikit tergesa kulajukan mobil dan berhenti tepat di dekat Sri berdiri menunggu angkutan."Tuan?" Tampak wajah Sri keheranan melihatku."Masuk!" titahku yang langsung dituruti oleh Sri."Ada apa, Tuan?" "Aku antar kamu ke pasar, sekalian ada yang perlu aku bicarakan denganmu.""Maaf, Tuan Danu. Mau bicara apa?""Kita cari tempat untuk bicara." Segera kuinjak gas untuk melajukan kembali mesin beroda empat.Setelah aku rasa cukup jauh dari rumah, kutepikan mobil. Mulai kuambil napas untuk mengumpulkan kembali serpihan kekuatan hati yang hancur seketika saat melihat foto Arini dan Bobby."Sri, aku butuh bantuan kamu.""Bantuan apa, Tuan?""Mengawasi Arini.""Ada apa dengan Mbak Arini, Tuan?"Huff ... kembali kuhembus napas kesal. Setiap mengingatnya, dada ini terasa
"Selamat pagi, Tuan. Ini tehnya," sapa Sri sembari meletakkan secangkir teh di meja samping aku duduk.Kuhentikan aktivitas membaca majalah olahraga, sejenak kuarahkan pandangan ke wanita yang kini berdiri di hadapanku.Seperti ada magnet yang menarikku untuk memperhatikan paras serta kulitnya. Sebagai gadis desa, Sri tak tampak seperti gadis yang datang dari desa pada umumnya.Kulit dan wajahnya terawat, jauh dari kata kusam. Bahkan rambutnya juga terlihat ada bekas pernah diwarna. Aneh, mana ada gadis desa seperti itu?"Maaf, Tuan. Ada yang salah dengan pakaian saya?" tanya Sri mengaketkan penelusuran netraku."Ehm ... tidak, tapi ada yang ingin aku tahu darimu.""Apa, Tuan?"Kupicingkan sebelah mata, sedikit mengernyit memandangnya. Tetap saja aneh dalam pemikiranku, Sri tak tampak layaknya gadis desa yang lugu."Apa kamu sudah lama tinggal di kota?""I-iya, Tuan. Saya bekerja di kota sejak usia enam belas tahun.""Itu artinya sudah hampir empat tahun kamu hidup di kota?""Benar, T
Hari demi hari kecurigaanku mulai terbukti. Kedatangan Bobby yang semula karena alasan urusan bisnis denganku, membuat semuanya menjadi dilema berkepanjangan.Di sisi lain, aku masih ada ikatan kerjasama dengan pria itu. Namun, tak dapat kupungkiri bahwa perasaan Bobby ke Arini kian menyeruak dan tak dapat ia tahan.Siang itu, kala mentari mulai mendekat di atas kepala ... Bobby mencuri start untuk datang ke rumah lebih awal. Seperti biasa dengan alasan ikut membantu menyiapkan sajian.Kali ini dia membawa cukup banyak makanan catering. Ya, memang hari ini acara tasyukuran kecil-kecilan karena proyek kerjasama kami telah sukses. Semua relasi yang terkait saja yang diundang, termasuk Pak Rahman."Danu! harusnya kalau sudah kerepotan seperti ini, kamu cari asisten rumah tangga untuk bantu istrimu. Bukan malah hanya lihatin saja!" Bobby mulai dengan komplainnya.Entahlah, aku merasa dia itu laki-laki tapi cerewetnya melebihi emak-emak. Sudah berapa kali ia mengkritik sikapku yang seolah