Pov Ibu mertua
Aku terpegun dalam diam, di bangku kosong sudut taman kota ini aku melayangkan kembali masa-masa yang tak ingin kuingat lagi. Masa di mana kebodohan itu bermula, masa penuh kepalsuan yang membawaku ke kehidupan yang justru lebih buruk dari sebelumnya.
Dengan nanar kutatap alam kota ini kembali, menghirup udara dalam-dalam dan berharap akan ada asa yang menghampiri.
Entah sudah berapa lama aku tak menginjakkan kaki di tanah kelahiran suamiku, tepatnya mantan suamiku. Semenjak perpisahan kala itu, aku benar-benar menjauh dari kehidupannya.
Aku tinggalkan suami dan anakku yang saat itu masih berusia dua tahun. Sebuah kebodohan yang tak harus kusesali, karena bagaimana pun khilaf yang kulakukan penyebabnya adalah ketidakbecusan Mas Rahman dalam hal pemuasan urusan ranjang.
Ya, Mas Rahman saat itu terkena penyakit diabetes sehingga mengganggu kejantanannya. Aku wanita muda yang masih norma
POV Ibu MertuaSaat kesendirian melanda dengan penuh warna kesedihan dan luka, keinginanku untuk tinggal di rumah Darwin justru ditolak oleh keluarganya. Sungguh mereka tak punya rasa empati sedikit pun untukku.Aku tak peduli apa kata Darwin. Setelah telepon kututup segera kupesan ojek online untuk mengantar ke sana. Aku pikir, mereka tak akan menolakku jika kaki ini sudah ada di depan pintu rumah.Sepanjang perjalanan kunikmati kembali semilir angin kota ini, kota yang pernah memberiku kehidupan penuh kebahagiaan secara materi. Saat dengan Mas Rahman aku tak pernah kekurangan, apa yang aku mau selalu dituruti.Ya, Mas Rahman teramat mencintaiku. Itu sebabnya ia selalu berusaha menjadikan aku ratu dalam kehidupannya, bahkan istana mewah ia bangun khusus untukku.Kuseka netra yang basah karena cairan bening tetiba muncul dan luruh begitu saja. Di sudut hati ternyata aku masih menyimpan rindu untuk M
POV DanuSabtu Minggu ini Arini di rumah saja, kata dia ingin menghabiskan waktu bersamaku. Entahlah, sejak kapan ia berubah mendadak romantis. Y. Untuk perubahan satu itu justru aku sangat suka.Ada satu hal yang masih sering tak kumengerti. Ia sering bilang, "Mas, jaga hatimu untukku, ya." Setiap hendak tidur dan pagi hari ketika kukecup dahinya sebelum berangkat kerja, ia ucapkan kata-kata itu.Kata-kata yang Arini ucapkan menyiratkan makna bahwa ia memintaku untuk setia pada hati yang telah terpatri. Kata-kata itulah yang kini menjadi kekuatan sugesti terhebat dalam diriku.Pradugaku mulai bermain, sepertinya Arini sudah mulai mencium gelagat tidak baik dari ibunya. Kuharap begitu, agar sesegera mungkin Arini bisa mengambil sikap.Siang itu, di depan televisi Arini bergelayut manja di bahuku. Tak ia pedulikan ibunya yang sedari tadi mondar-mandir dan terbatuk-batuk. Kulihat dengan jelas sudut ne
"Dek, tolong jangan percaya. Itu hanya jebakan yang sengaja dibuat oleh Ibu." Aku mencoba meminta Arini untuk mengerti, berharap ia mampu memilah siapa yang benar dan siapa yang salah.Tak pernah aku sangka kalau ibu akan menggunakan video rekaman itu di saat-saat Arini sedang begitu romantisnya denganku. Sepertinya ini adalah cara wanita licik itu untuk merusak hubunganku dengan Arini. Mungkin ia cemburu.Arini masih tak mempedulikan ucapanku, ia masih saja fokus dengan video dalam gawai itu. Sungguh ini membuatku ingin menghabisi wanita itu. Apalagi saat kulihat lengkungan bibir menghias wajah wanita barbar yang seolah menyiratkan ia sedang mengejekku."Arini, sekarang kamu lihat sendiri bagaimana suami memperlakukan aku. Aku ini hanya wanita tua yang lemah, dia pukul pun aku tak kuasa membalas." Wanita iblis itu kembali mengompori peri baik hati yang masih saja bersikap tenang dengan posisi duduk manisnya.Ah, Ar
Setelah berhasil menjebak Bu Hera dengan pertanyaan yang mampu menggiring pengakuan wanita licik itu, Arini langsung menghapus video rekaman yang dijadikan senjata wanita haus belaian tersebut.Sungguh lega hati ini melihat begitu cerdasnya Arini mengurai benang kusut akibat ulah ibu mertuaku yang kelakuannya sudah abnormal. Tak bisa kubayangkan jika Arini lebih percaya pada ibunya, aku tak akan pernah siap kehilangan wanita yang telah mengalihkan duniaku.Kini, perhatianku kembali tertuju pada sosok wanita yang membuatku berdecak kagum. Baru kali ini aku menyaksikan kecerdasan istriku, layaknya detektif Conan yang sedang membuka tabir misteri penuh alibi.Baru saja aku dibuat terperanjat oleh aksinya, sekarang aku dibuat penasaran oleh sebuah video yang ia kirim ke ibunya. Banyak tanda tanya besar yang berputar di otak memenuhi ruang rasa ingin tahu.Arini menyerahkan kembali gawai Bu Hera dan memintanya untuk memb
Napasku kini teramat lega. Pasalnya, nenek lampir namun semlohai itu telah kehilangan muka di hadapan Arini. Aku bisa melenggang bebas tanpa harus takut dengan rayuan setan berwujud makhluk cantik nan menggoda.Setelah kejadian itu, ibu mertua lebih banyak diam dan mengurung diri di kamar. Dia keluar hanya untuk makan atau ketika butuh sesuatu. Tak ada lagi belahan dada rendah, tak ada lagi kerling nakal, apalagi desah manja.Kerling nakal itu justru telah berubah menjadi mata sendu yang menyiratkan kesedihan. Aku yang melihatnya sedikit tersentuh di sisi lain hatiku, meski aku laki-laki tapi hatiku tetaplah selembut salju yang mudah meleleh jika melihat orang bersedih."Dek, kasihan Ibu," ujarku ketika usai makan malam melihat ibu mertua langsung masuk kamar tanpa pamit."Semua hal ada resikonya. Biarkan dia merenungi setiap kesalahannya." Arini masih saja bersikeras dengan pendiriaannya, membiarkan ibunya dalam ke
Panggilanku mengejutkan Arini dan Martin. Tapi aneh, kenapa hanya terkejut saja? Harusnya ada rasa takut yang tersirat di wajah mereka."Eh, Mas Danu. Sejak kapan di sini? Terus ... kenapa pakai baju ojol?" Arini memicingkan mata, seolah meminta penjelasan."Kapan aku di sini itu tidak penting, yang terpenting adalah ....""Oh iya, Mas. Ini kenalin, dia Bobby suami ke empat Ibu." Dengan tenang dan menunjukkan sikap ramah, ia memperkenalkan aku pada pria yang lebih tampan dariku itu.Apa? Bobby? Dia suami ke empat ibu mertuaku, itu artinya dia ayah mertuaku. Tidak mungkin, kenapa ayah mertuaku masih muda dan ketampanannya mengalahkan aku meski hanya selisih setingkat, sih.Aku menjabat tangan Bobby dan berusaha untuk bersikap wajar. Beruntung aku tidak langsung main gampar, jika tidak pasti hanya malu yang aku dapat.Arini mengajakku duduk, tepat di hadapan Bobby. Sedangkan Arini tep
Hari ini matahari tak bersahabat. Mendung hitam bergelayut manja di langit, beberapa kali kilat menghias cakrawala dengan bias warna emas. Cuaca yang dingin membuatku ingin bermalas-malasan sembari berseluncur di dunia maya.Tengah asyik menikmati berita yang muncul di google, tiba-tiba perhatianku tertuju pada sebuah judul berita, "Selingkuh dengan ayah mertua hingga hamil." Segera kubaca tuntas berita tersebut, kejadian yang terjadi di salah satu kota di negeri ini membuatku khawatir saja.Kuhembus napas dalam-dalam, mencoba memejamkan kelopak mata untuk mengusir seluruh prasangka buruk yang mulai berlalu lalang menyergap hati. Dari dasar hati aku selalu berdoa, meminta kepada Tuhan agar menjaga hati seorang Arini untukku.Semenjak dari pertemuan dengan Bobby -ayah mertua yang tampannya ngalahin aku- perasaanku jadi nggak enak. Aku malah jadi was-was kalau pada akhirnya rencana Arini justru membuat ia jatuh cinta pada Bobby.Kemungkinan itu bisa saja terjadi, mengingat Bobby selain
Sorot bola manik itu begitu tajam menatapku seperti harimau yang hendak menerkam mangsa. Sikap tawa manja berubah menjadi dengusan kekesalan. Ya, Bu Hera marah besar.Beberapa kali ia memaksaku untuk bicara, namun aku memilih untuk diam dan mencoba mencari alasan. Ternyata membohongi wanita licik di depanku ini teramatlah sulit, buktinya semua jawabanku dibantah.Dengan amarah ia meninggalkan aku yang masih kebingungan mengendalikan situasi. Terdengar kedoran keras di pintu kamar Arini disertai dengan teriakan melengking Bu Hera. Aku segera berjingkat untuk melihat."Arini! Kenapa kamu menemui Bobby?" serang Bu Hera setelah Arini membuka pintu.Tentu saja Arini kebingungan dan tidak siap dengan pertanyaan itu. Ia terkejut, kemudian mengalihkan pandangan ke arahku. Kembali kudapati tatapan tajam, kali ini dari Arini yang dibarengi dengan gemeretak kepalan tangan. Lebih ngeri dari emaknya.Jangan tanya bagaimana rasanya di posisiku saat ini. Sungguh tak mengenakkan! Antara nggak enak ha
Kegalauan yang melanda akhirnya berganti rasa lega yang tak terkira. Pasalnya, bidadari cantikku tak pernah berpaling sedikit pun ke pria lain. Aku tahu, Arini pasti tak akan bisa meninggalkan lelaki tampan dan setia sepertiku.Sepanjang perjalanan senyumku terus saja merekah, membayangkan nanti malam akan kureguk kembali manisnya cinta bersama wanita halalku. Menyesal pernah mengabaikan rayuan nakal yang seharusnya mendapat respon dariku.Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tak akan kubiarkan belahan jiwaku menahan hasrat seorang diri. Ah ... sepertinya benar kata orang, aku ini memang bodoh.Tapi tak apa, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki semua. Apalagi Arini selalu memaklumi setiap hal tentangku, termasuk ketidakpekaan yang selama ini dianggap sebagai kebodohanku.Tentu saja harus maklum, aku begini juga karena ibunya yang dulu memukul kepalaku hingga koma. Coba kalau dulu tidak digetok pakai vas, sudah pasti kejeniusanku akan bertahan hingga kini.Lamunanku buyar kala p
Dari spion mobil dapat kulihat sosok wanita dengan rambut dikuncir ekor kuda sedang berjalan menuju mobilku. Dia menenteng map kuning berisi berkas file yang memang sengaja kutinggal.Senyumku makin merekah ketika wanita itu menyembulkan kepala untuk mengetuk kaca mobil. Segera aku persilahkan ia masuk ke mobil dan siap mendengarkan semua pengaduannya."Ini berkasnya, Tuan.""Iya, terimakasih. Sini masuk."Sri hanya mengangguk dan duduk di sebelahku. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang kebingungan. "Baik, Tuan."Untuk kesekian kali kuhela napas kembali, mencoba mentralisir gejolak emosi yang meletup-letup. Aku persiapkan hati dan mental untuk mendengar sebuah kebenaran yang akan diungkap oleh Sri."Kita hanya punya waktu sebentar, jangan sampai Arini curiga karena kamu kelamaan di sini.""Iya, Tuan.""Jadi, cepet kamu cerita." Rasanya tak sabar lagi untuk mendengar penuturan Sri, rasa penasaran semakin memuncak."Begini, Tuan. Mbak Arini selama ini ...." Sri menggantung uc
Gawaiku kembali bergetar untuk kesekian kalinya. Akhirnya dengan malas kulirik juga layar yang berpendar itu. Sebuah nama terpampang, Bobby."Ya, ada apa?" jawabku malas."Dan, besok kamu berangkat lagi ke Bandung, ya? Aku harus ke Pekanbaru sore ini.""Kenapa harus aku?" tanyaku dengan sewot, karena aku tahu pasti ini akal-akalan dia lagi."Kamu itu partner kerja aku, ya sudah pasti kamu yang bisa handle kerjaanku."Sejenak aku berpikir. Sepertinya ini kesempatan aku untuk menangkap basah Bobby ketika menemui Arini. "Oke, besok pagi aku berangkat ke sana." Sengaja aku menjawab dengan mantap agar ia tak curiga dengan rencanaku."Thanks, Dan."Tanpa menjawab lagi, kumatikan panggilan. Bagiku sudah cukup basa-basi dan sandiwara yang dimainkan oleh Bobby. Sekarang saatnya Adarga Handanu menunjukkan taring.Malam ini aku mulai mempersiapkan beberapa lembar baju yang aku masukkan ke dalam koper kecil. Tidak lupa laptop dan beberapa dokumen yang akan dibutuhkan aku sertakan pula."Lho, Mas
Detak jarum jam terdengar mengisi sunyi malam yang kurasa tanpa ujung. Arini telah terlelap di sampingku. Begitu lekat kupandangi wajah lelahnya.Kembali anganku mengembara tak menentu. Hingga detik ini otak belum juga menemukan titik temu meski sudah banyak masukan dari para Danu lovers.Aku bangkit dari posisi tidurku, kemudian turun menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku rasa dua rakaat di tengah malam akan memberiku rasa tentram sehingga akal bisa berpikir jernih.Dengan menghadap kiblat, aku berserah diri dan memohon jalan keluar pada Illahi Rabbi. Ketenangan mulai menjalari relung jiwa, perlahan kekhawatiran sedikit demi sedikit terkikis.Setelah selasai bermunajat, kurebahkan kembali raga yang telah lelah. Kupejamkan netra meski masih sulit untuk tidur. Beberapa kali kuatur pernapasan agar himpitan di dada tak begitu menyesakkan.Baiklah, aku harus berpikir untuk mencari solusi tanpa membuat hubunganku dengan Arini renggang atau bahkan rusak.Bisa saja aku tunjukkan
Hari demi hari kegalauanku semakin memuncak. Perasaan was-was kian tak menentu menguasai setiap sendi rasa takut.Argh!Semakin lama situasi ini semakin membuat batinku tertekan. Setiap langkah yang hendak kugunakan terbentur pada rasa tidak yakin dengan hasil yang nantinya akan kudapat.Demi menjaga keutuhan rumah tangga, kuputuskan siang ini untuk pergi menemui teman lamaku, yaitu Martin. Berharap setelah mengobrol dengannya akan kudapati solusi dari semua permasalahan ini."Tumben ingat aku, Dan?" sapa Martin kala tulang duduk menyentuh kursi di cafe bernuansa klasik ini."Masih untung aku ingat kamu, Tin." sungutku tak berselera menanggapi kicauannya."Ada masalah apalagi?""Bobby.""Bobby? Mantan ayah mertua tiri kamu yang pemuja nenek semlohai itu?"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan panjang yang terlontar dari mulut Martin. "Pesen kopi dulu, gih!" usulku pada Martin."Pakai sianida, nggak?" canda Martin sembari mengedipkan mata membuat tingkah konyol."Boleh,
Hari ini adalah hari terakhir aku melakukan pemantauan proyek di kawasan perumahan elite. Sudah genap satu minggu aku bersama Rusli menyelesaikan pekerjaan.Kututup laptop dan bergegas menata pakaian. Setelah semua siap, aku berpamitan pada Rusli. Lelaki yang menjadi orang kepercayaan Bobby itu melepasku hingga depan pagar.Senyumku mengembang, rasa rindu terhadap anak dan istri begitu menggebu. Meski setiap malam bisa melihat mereka melalui video call, namun kerinduan akan hangatnya kebersamaan tetap bergelayut di hati.Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mesin beroda empat yang kukemudikan memasuki halaman rumah. Arini menyambutku di teras rumah dengan senyum manis menyembul di bibir tipisnya.Arini segera menyambutku dengan cium tangan takzim, kemudian ia bergelayut manja di lenganku. Kudaratkan kecupan hangat di dahi wanita yang teramat kurindukan pelukannya."Putra dan putri sehat, Dek?""Sehat, Mas.""Alhamdulillah ... Mas kangen, emmuach ...." sekali lagi k
Tekadku telah bulat. Aku harus menangkap basah perselingkuhan antara Arini dengan Bobby. Sudah kuputuskan menggunakan Sri sebagai mata-mata.Sengaja aku pergi setelah Sri keluar rumah untuk belanja sayuran ke pasar. Dengan sedikit tergesa kulajukan mobil dan berhenti tepat di dekat Sri berdiri menunggu angkutan."Tuan?" Tampak wajah Sri keheranan melihatku."Masuk!" titahku yang langsung dituruti oleh Sri."Ada apa, Tuan?" "Aku antar kamu ke pasar, sekalian ada yang perlu aku bicarakan denganmu.""Maaf, Tuan Danu. Mau bicara apa?""Kita cari tempat untuk bicara." Segera kuinjak gas untuk melajukan kembali mesin beroda empat.Setelah aku rasa cukup jauh dari rumah, kutepikan mobil. Mulai kuambil napas untuk mengumpulkan kembali serpihan kekuatan hati yang hancur seketika saat melihat foto Arini dan Bobby."Sri, aku butuh bantuan kamu.""Bantuan apa, Tuan?""Mengawasi Arini.""Ada apa dengan Mbak Arini, Tuan?"Huff ... kembali kuhembus napas kesal. Setiap mengingatnya, dada ini terasa
"Selamat pagi, Tuan. Ini tehnya," sapa Sri sembari meletakkan secangkir teh di meja samping aku duduk.Kuhentikan aktivitas membaca majalah olahraga, sejenak kuarahkan pandangan ke wanita yang kini berdiri di hadapanku.Seperti ada magnet yang menarikku untuk memperhatikan paras serta kulitnya. Sebagai gadis desa, Sri tak tampak seperti gadis yang datang dari desa pada umumnya.Kulit dan wajahnya terawat, jauh dari kata kusam. Bahkan rambutnya juga terlihat ada bekas pernah diwarna. Aneh, mana ada gadis desa seperti itu?"Maaf, Tuan. Ada yang salah dengan pakaian saya?" tanya Sri mengaketkan penelusuran netraku."Ehm ... tidak, tapi ada yang ingin aku tahu darimu.""Apa, Tuan?"Kupicingkan sebelah mata, sedikit mengernyit memandangnya. Tetap saja aneh dalam pemikiranku, Sri tak tampak layaknya gadis desa yang lugu."Apa kamu sudah lama tinggal di kota?""I-iya, Tuan. Saya bekerja di kota sejak usia enam belas tahun.""Itu artinya sudah hampir empat tahun kamu hidup di kota?""Benar, T
Hari demi hari kecurigaanku mulai terbukti. Kedatangan Bobby yang semula karena alasan urusan bisnis denganku, membuat semuanya menjadi dilema berkepanjangan.Di sisi lain, aku masih ada ikatan kerjasama dengan pria itu. Namun, tak dapat kupungkiri bahwa perasaan Bobby ke Arini kian menyeruak dan tak dapat ia tahan.Siang itu, kala mentari mulai mendekat di atas kepala ... Bobby mencuri start untuk datang ke rumah lebih awal. Seperti biasa dengan alasan ikut membantu menyiapkan sajian.Kali ini dia membawa cukup banyak makanan catering. Ya, memang hari ini acara tasyukuran kecil-kecilan karena proyek kerjasama kami telah sukses. Semua relasi yang terkait saja yang diundang, termasuk Pak Rahman."Danu! harusnya kalau sudah kerepotan seperti ini, kamu cari asisten rumah tangga untuk bantu istrimu. Bukan malah hanya lihatin saja!" Bobby mulai dengan komplainnya.Entahlah, aku merasa dia itu laki-laki tapi cerewetnya melebihi emak-emak. Sudah berapa kali ia mengkritik sikapku yang seolah