Sorot bola manik itu begitu tajam menatapku seperti harimau yang hendak menerkam mangsa. Sikap tawa manja berubah menjadi dengusan kekesalan. Ya, Bu Hera marah besar.Beberapa kali ia memaksaku untuk bicara, namun aku memilih untuk diam dan mencoba mencari alasan. Ternyata membohongi wanita licik di depanku ini teramatlah sulit, buktinya semua jawabanku dibantah.Dengan amarah ia meninggalkan aku yang masih kebingungan mengendalikan situasi. Terdengar kedoran keras di pintu kamar Arini disertai dengan teriakan melengking Bu Hera. Aku segera berjingkat untuk melihat."Arini! Kenapa kamu menemui Bobby?" serang Bu Hera setelah Arini membuka pintu.Tentu saja Arini kebingungan dan tidak siap dengan pertanyaan itu. Ia terkejut, kemudian mengalihkan pandangan ke arahku. Kembali kudapati tatapan tajam, kali ini dari Arini yang dibarengi dengan gemeretak kepalan tangan. Lebih ngeri dari emaknya.Jangan tanya bagaimana rasanya di posisiku saat ini. Sungguh tak mengenakkan! Antara nggak enak ha
POV AriniSetelah mendengar celoteh Ibu dengan Mas Danu di dapur, ketenanganku sungguh terusik. Ada rasa sakit yang semakin dalam menyiksa batin.Lara dan air mata yang telah lama mengering, kini seolah tersiram air cuka kembali. Perih dan menyayat mengetahui kenyataan bahwa ibu yang dulu pernah kunanti kepulangannya, justru belum berubah. Bahkan penyesalan saja tak ada di hatinya.Aku sengaja pamit ke Mas Danu dengan alasan ada pelatihan sosialisasi tabungan baru. Padahal itu semua hanyalah bagian dari rencanaku.Dua hari sebelum rencana kepergianku, aku telah memasang beberapa chip penyadap suara yang dilengkapi dengan video perekam dan mikropon yang aku pesan dari teman. Chip itu aku tempel di tempat-tempat tersembunyi yang tak akan terlihat.Chip pertama aku pasang di dapur, di dalam buffet kaca menempel pada pegangan sebuah panci presto. Chip kedua aku pasang di kamar tidurku, tepat di bagian rak buku paling atas di sela-sela tatanan buku.Rak buku yang sengaja aku letakkan di su
POV AriniAdakalanya sabar itu luas bak samudra, namun adakalanya kesabaran itu menipis terkikis oleh berbagai ulah yang teramat menyebalkan. Begitu jua dengan kesabaran yang kumiliki.Jujur, tingkah ibuku yang sudah melampaui batas kewajaran membuatku muak dan kesabaran yang selama ini aku miliki menguap tak bersisa. Hanya saja aku punya rencana lain untuk membuatnya benar-benar jera, syukur-syukur bisa menjadi jalan ia bertaubat.Jika menuruti nafsu, mungkin saja aku sudah mengusirnya sejak aku tahu gelagatnya yang tak sungkan memperlihatkan belahan dada dan mulusnya kaki atas pada suamiku. Ini sungguh tak wajar, kenyataan yang tak pernah kubayangkan selama ini.Aku tak mengerti kenapa ibu mempunyai sifat seperti itu. Ia begitu tega menghianati bahkan menghancurkan kehidupan suami yang sudah memberikan kehidupan layak, mengangkatnya dari kehidupan sebagai orang teraniaya.Dan sekarang ... bagaimana bisa ia juga tega akan menghancurkan kehidupan rumah tangga anaknya sendiri? Tak wara
POV DanuKuseka keringat yang membasahi dahi. Langkah gontai menuju sebuah kedai kecil. Kupesan segelas es teh untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering. Terik matahari membakar kulit, menjadikan suhu tubuh naik dan gerah.Dua puluh menit aku berjalan menghabiskan waktu menunggu Arini pulang. Martin yang kutuju tak juga kudapati di tempat kost. Ia pergi dengan kekasih baru, katanya. Enak bener dia, tanggal merah untuk kencan dengan cewek.Tak seperti aku yang harus berjalan panas-panasan hanya demi menghindar dari ibu mertua. Seharusnya rumah itu bisa memberiku ketenangan, namun semenjak nenek semlohai itu hadir dalam kehidupan rumah tanggaku, semua jadi kacau.Rasa takut malam-malam ia datang menggerayangi tubuhku membuat bulu kuduk meremang. Ketakutan yang berlebih menjadikan aku phobia dengan yang namanya ibu mertua. Bikin paranoid saja itu nenek semlohai.Aku teguk es teh hingga tandas, kemudian minta diisi kembali. Pas sekali, ada gorengan risoles isi kentang kesukaanku. Ja
Seperti biasa, pulang kerja aku selalu menunggu Arini di mushola dekat rumah. Tetangga sekitar sudah hafal kalau aku adalah orang yang paling rajin ke mushola, bahkan mereka mengacungi jempol untukku. Banyak pujian aku terima karena mereka menganggap aku mau mengabdikan diri dengan membersihkan tempat ibadah.Sebenarnya bukan pujian yang aku harapkan, apalagi apa yang aku lakukan bukanlah sesuatu yang besar. Aku sengaja membersihkan mushala karena memang sekalian menghabiskan waktu menunggu Arini pulang. Nggak etis jika hanya duduk bermain gawai di tempat ibadah, kan?Sepertinya Allah kasih bonusnya berlebihan. Allah memang baik. Kasih istri yang pengertian, memberiku jalan rejeki yang halal dan mudah, dan sekarang hal kecil pun Allah kasih balasan untukku. Tapi ... sepertinya Allah kasih ujian juga, yaitu kehadiran ibu mertua yang menggoda iman.Tak habis aku berpikir, kehidupan ini terkadang aneh. Bobby ganteng dan tajir melintir, tapi bisa jatuh ke pelukan wanita tua. Bahkan hingga
Teriakan histeris dari mulut wanita yang berjuluk ibu mertua itu kian melemah. Mungkin energi yang sedari tadi ia luapkan kini melemah. Ia menjatuhkan diri di lantai, bersandar pada dinding bercat biru muda.Perlahan namun pasti, lelaki bertubuh atletis itu mendekati Bu Hera. Ia mengulurkan tangan yang kemudian ditepis kasar oleh wanita itu. Jangankan menerima uluran tangan dari Bobby, melihat wajah pria yang level kegantengannya di atasku itu saja dia tak mau."Hera, kenapa kamu jadi membenciku? Apa salahku sampai-sampai kamu meninggalkan aku?""Aku tidak sudi hidup miskin denganmu!""Apa karena aku miskin kamu meninggalkan aku?""Kamu itu bodoh, Bob! Orang tua kamu kaya raya, tapi malah mengajakku hidup melarat! Apa kamu pikir aku menikah denganmu karena ketampananmu?"Bobby menurunkan satu lutut dan duduk setengah berjongkok menghadap ke arah Bu Hera. Ada kilatan rindu yang menggelora di mata sendu itu."Aku pikir kamu mau menikah denganku karena tulus mencintaiku," ucap Bobby sera
Setelah menunggu ibu mertua bersiap-siap selama dua puluh menit, akhirnya wanita itu muncul dengan gamis berwarna navy membalut tubuh montoknya. Hijab warna senada menonjolkan wajah yang masih menyisakan kecantikan masa muda.MashaAllah ... sungguh cantik ia dalam balutan pakaian syar'i. Seandainya saja hidayah itu datang, mungkin hati yang hampir mati itu akan kembali ke fitrahnya sebagai istri dan ibu yang baik."Bobby, buruan pesen ojek online!" perintah Bu Hera sembari duduk dengan kaki kanan di atas kaki kiri."Untuk apa?" "Pesen mobil lah ... emangnya kamu pikir aku mau naik motor bututmu itu!"Ya, Allah ... baru saja dalam hatiku mengagumi kecantikan fisiknya, tapi sosok anggun itu justru masih saja menampakkan sifat aslinya.Bobby hanya mendengus, kemudian meraih gawai yang ada dalam waistbag. "Pak Nardi, tolong bawa mobil ke sini, ya." "Pak Nardi? Bukankah dia sopir Ayah kamu?" tanya Bu Heran dengan memicingkan netra."Iya, kenapa?" jawab Bobby dengan cuek."Itu artinya kam
Sinar terang menyilaukan serasa memaksa kelopak mata untuk sedikit menutup, membiarkan bulu netra menghalangi intensitas cahaya yang berpendar.Kuedarkan pandangan tatkala sinar itu perlahan memudar. "Masihkah aku hidup?" Pertanyaan itulah yang pertama ingin kutemukan jawabnya.Entahlah, aku tak mengerti. Pasalnya, aku berasa melayang. Tubuh ini begitu ringan dan ... tunggu! Aku melihat sosok yang sering aku lihat dalam cermin."Aku? Itu aku?" gumamku tak percaya, kucoba mendekat untuk memastikan sosok tubuh yang terbaring lemah dengan beberapa alat menempel di tubuh itu.Bagai dihentak oleh ribuan kilogram beban, dadaku serasa menyesak tatkala menyaksikan kebenaran bahwa yang tergolek lemah itu adalah jasadku.Apa yang terjadi denganku? Apa aku mati suri? Lalu di mana semua orang? Kenapa tidak satu pun di antara mereka yang menungguiku? Di mana Arini?Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepala. Aku mencoba mengingat apa yang telah menimpaku. Sejenak aku terdiam, membiarkan detik
Kegalauan yang melanda akhirnya berganti rasa lega yang tak terkira. Pasalnya, bidadari cantikku tak pernah berpaling sedikit pun ke pria lain. Aku tahu, Arini pasti tak akan bisa meninggalkan lelaki tampan dan setia sepertiku.Sepanjang perjalanan senyumku terus saja merekah, membayangkan nanti malam akan kureguk kembali manisnya cinta bersama wanita halalku. Menyesal pernah mengabaikan rayuan nakal yang seharusnya mendapat respon dariku.Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tak akan kubiarkan belahan jiwaku menahan hasrat seorang diri. Ah ... sepertinya benar kata orang, aku ini memang bodoh.Tapi tak apa, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki semua. Apalagi Arini selalu memaklumi setiap hal tentangku, termasuk ketidakpekaan yang selama ini dianggap sebagai kebodohanku.Tentu saja harus maklum, aku begini juga karena ibunya yang dulu memukul kepalaku hingga koma. Coba kalau dulu tidak digetok pakai vas, sudah pasti kejeniusanku akan bertahan hingga kini.Lamunanku buyar kala p
Dari spion mobil dapat kulihat sosok wanita dengan rambut dikuncir ekor kuda sedang berjalan menuju mobilku. Dia menenteng map kuning berisi berkas file yang memang sengaja kutinggal.Senyumku makin merekah ketika wanita itu menyembulkan kepala untuk mengetuk kaca mobil. Segera aku persilahkan ia masuk ke mobil dan siap mendengarkan semua pengaduannya."Ini berkasnya, Tuan.""Iya, terimakasih. Sini masuk."Sri hanya mengangguk dan duduk di sebelahku. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang kebingungan. "Baik, Tuan."Untuk kesekian kali kuhela napas kembali, mencoba mentralisir gejolak emosi yang meletup-letup. Aku persiapkan hati dan mental untuk mendengar sebuah kebenaran yang akan diungkap oleh Sri."Kita hanya punya waktu sebentar, jangan sampai Arini curiga karena kamu kelamaan di sini.""Iya, Tuan.""Jadi, cepet kamu cerita." Rasanya tak sabar lagi untuk mendengar penuturan Sri, rasa penasaran semakin memuncak."Begini, Tuan. Mbak Arini selama ini ...." Sri menggantung uc
Gawaiku kembali bergetar untuk kesekian kalinya. Akhirnya dengan malas kulirik juga layar yang berpendar itu. Sebuah nama terpampang, Bobby."Ya, ada apa?" jawabku malas."Dan, besok kamu berangkat lagi ke Bandung, ya? Aku harus ke Pekanbaru sore ini.""Kenapa harus aku?" tanyaku dengan sewot, karena aku tahu pasti ini akal-akalan dia lagi."Kamu itu partner kerja aku, ya sudah pasti kamu yang bisa handle kerjaanku."Sejenak aku berpikir. Sepertinya ini kesempatan aku untuk menangkap basah Bobby ketika menemui Arini. "Oke, besok pagi aku berangkat ke sana." Sengaja aku menjawab dengan mantap agar ia tak curiga dengan rencanaku."Thanks, Dan."Tanpa menjawab lagi, kumatikan panggilan. Bagiku sudah cukup basa-basi dan sandiwara yang dimainkan oleh Bobby. Sekarang saatnya Adarga Handanu menunjukkan taring.Malam ini aku mulai mempersiapkan beberapa lembar baju yang aku masukkan ke dalam koper kecil. Tidak lupa laptop dan beberapa dokumen yang akan dibutuhkan aku sertakan pula."Lho, Mas
Detak jarum jam terdengar mengisi sunyi malam yang kurasa tanpa ujung. Arini telah terlelap di sampingku. Begitu lekat kupandangi wajah lelahnya.Kembali anganku mengembara tak menentu. Hingga detik ini otak belum juga menemukan titik temu meski sudah banyak masukan dari para Danu lovers.Aku bangkit dari posisi tidurku, kemudian turun menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku rasa dua rakaat di tengah malam akan memberiku rasa tentram sehingga akal bisa berpikir jernih.Dengan menghadap kiblat, aku berserah diri dan memohon jalan keluar pada Illahi Rabbi. Ketenangan mulai menjalari relung jiwa, perlahan kekhawatiran sedikit demi sedikit terkikis.Setelah selasai bermunajat, kurebahkan kembali raga yang telah lelah. Kupejamkan netra meski masih sulit untuk tidur. Beberapa kali kuatur pernapasan agar himpitan di dada tak begitu menyesakkan.Baiklah, aku harus berpikir untuk mencari solusi tanpa membuat hubunganku dengan Arini renggang atau bahkan rusak.Bisa saja aku tunjukkan
Hari demi hari kegalauanku semakin memuncak. Perasaan was-was kian tak menentu menguasai setiap sendi rasa takut.Argh!Semakin lama situasi ini semakin membuat batinku tertekan. Setiap langkah yang hendak kugunakan terbentur pada rasa tidak yakin dengan hasil yang nantinya akan kudapat.Demi menjaga keutuhan rumah tangga, kuputuskan siang ini untuk pergi menemui teman lamaku, yaitu Martin. Berharap setelah mengobrol dengannya akan kudapati solusi dari semua permasalahan ini."Tumben ingat aku, Dan?" sapa Martin kala tulang duduk menyentuh kursi di cafe bernuansa klasik ini."Masih untung aku ingat kamu, Tin." sungutku tak berselera menanggapi kicauannya."Ada masalah apalagi?""Bobby.""Bobby? Mantan ayah mertua tiri kamu yang pemuja nenek semlohai itu?"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan panjang yang terlontar dari mulut Martin. "Pesen kopi dulu, gih!" usulku pada Martin."Pakai sianida, nggak?" canda Martin sembari mengedipkan mata membuat tingkah konyol."Boleh,
Hari ini adalah hari terakhir aku melakukan pemantauan proyek di kawasan perumahan elite. Sudah genap satu minggu aku bersama Rusli menyelesaikan pekerjaan.Kututup laptop dan bergegas menata pakaian. Setelah semua siap, aku berpamitan pada Rusli. Lelaki yang menjadi orang kepercayaan Bobby itu melepasku hingga depan pagar.Senyumku mengembang, rasa rindu terhadap anak dan istri begitu menggebu. Meski setiap malam bisa melihat mereka melalui video call, namun kerinduan akan hangatnya kebersamaan tetap bergelayut di hati.Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mesin beroda empat yang kukemudikan memasuki halaman rumah. Arini menyambutku di teras rumah dengan senyum manis menyembul di bibir tipisnya.Arini segera menyambutku dengan cium tangan takzim, kemudian ia bergelayut manja di lenganku. Kudaratkan kecupan hangat di dahi wanita yang teramat kurindukan pelukannya."Putra dan putri sehat, Dek?""Sehat, Mas.""Alhamdulillah ... Mas kangen, emmuach ...." sekali lagi k
Tekadku telah bulat. Aku harus menangkap basah perselingkuhan antara Arini dengan Bobby. Sudah kuputuskan menggunakan Sri sebagai mata-mata.Sengaja aku pergi setelah Sri keluar rumah untuk belanja sayuran ke pasar. Dengan sedikit tergesa kulajukan mobil dan berhenti tepat di dekat Sri berdiri menunggu angkutan."Tuan?" Tampak wajah Sri keheranan melihatku."Masuk!" titahku yang langsung dituruti oleh Sri."Ada apa, Tuan?" "Aku antar kamu ke pasar, sekalian ada yang perlu aku bicarakan denganmu.""Maaf, Tuan Danu. Mau bicara apa?""Kita cari tempat untuk bicara." Segera kuinjak gas untuk melajukan kembali mesin beroda empat.Setelah aku rasa cukup jauh dari rumah, kutepikan mobil. Mulai kuambil napas untuk mengumpulkan kembali serpihan kekuatan hati yang hancur seketika saat melihat foto Arini dan Bobby."Sri, aku butuh bantuan kamu.""Bantuan apa, Tuan?""Mengawasi Arini.""Ada apa dengan Mbak Arini, Tuan?"Huff ... kembali kuhembus napas kesal. Setiap mengingatnya, dada ini terasa
"Selamat pagi, Tuan. Ini tehnya," sapa Sri sembari meletakkan secangkir teh di meja samping aku duduk.Kuhentikan aktivitas membaca majalah olahraga, sejenak kuarahkan pandangan ke wanita yang kini berdiri di hadapanku.Seperti ada magnet yang menarikku untuk memperhatikan paras serta kulitnya. Sebagai gadis desa, Sri tak tampak seperti gadis yang datang dari desa pada umumnya.Kulit dan wajahnya terawat, jauh dari kata kusam. Bahkan rambutnya juga terlihat ada bekas pernah diwarna. Aneh, mana ada gadis desa seperti itu?"Maaf, Tuan. Ada yang salah dengan pakaian saya?" tanya Sri mengaketkan penelusuran netraku."Ehm ... tidak, tapi ada yang ingin aku tahu darimu.""Apa, Tuan?"Kupicingkan sebelah mata, sedikit mengernyit memandangnya. Tetap saja aneh dalam pemikiranku, Sri tak tampak layaknya gadis desa yang lugu."Apa kamu sudah lama tinggal di kota?""I-iya, Tuan. Saya bekerja di kota sejak usia enam belas tahun.""Itu artinya sudah hampir empat tahun kamu hidup di kota?""Benar, T
Hari demi hari kecurigaanku mulai terbukti. Kedatangan Bobby yang semula karena alasan urusan bisnis denganku, membuat semuanya menjadi dilema berkepanjangan.Di sisi lain, aku masih ada ikatan kerjasama dengan pria itu. Namun, tak dapat kupungkiri bahwa perasaan Bobby ke Arini kian menyeruak dan tak dapat ia tahan.Siang itu, kala mentari mulai mendekat di atas kepala ... Bobby mencuri start untuk datang ke rumah lebih awal. Seperti biasa dengan alasan ikut membantu menyiapkan sajian.Kali ini dia membawa cukup banyak makanan catering. Ya, memang hari ini acara tasyukuran kecil-kecilan karena proyek kerjasama kami telah sukses. Semua relasi yang terkait saja yang diundang, termasuk Pak Rahman."Danu! harusnya kalau sudah kerepotan seperti ini, kamu cari asisten rumah tangga untuk bantu istrimu. Bukan malah hanya lihatin saja!" Bobby mulai dengan komplainnya.Entahlah, aku merasa dia itu laki-laki tapi cerewetnya melebihi emak-emak. Sudah berapa kali ia mengkritik sikapku yang seolah