"Apa harus seperti ini?" tanya Ben dari tempatnya berdiri—berjarak tiga meter dari Ella. "Maksudku, tidak bisakah aku duduk di sampingmu? Kurasa sisa bangku itu masih cukup untukku."
Ella mendengus sebal dan menatap Ben tajam. "Dengar, Max—"
"Ben."
"Ya, Ben! Siapa pun namamu, aku tidak peduli. Aku hanya ingin mengingatkanmu, bahwa kau harus menjaga jarak denganku. Bahkan mungkin lebih baik lagi, kalau kau tidak usah mencariku!" kesal Ella, lalu mengambil ponselnya dan menghubungi Jensen. "Atau aku akan melaporkanmu pada polisi."
Sudah cukup Ben berdiri di tempatnya seperti orang bodoh. Ia tidak akan pernah menuruti perintah konyol pengadilan, apalagi perintah Ella. Ben langsung menghampiri Ella dan mereb
"Nic? Nicholas!" panggil Kim, membuat Ben berdeham untuk menyembunyikan kekagetannya. "Apa yang sedang kau pikirkan? Mereka sedang menunggumu.""Maaf," ucap Ben, lalu kembali fokus pada rapat yang sejak selesai makan siang, hingga hampir jam pulang kantor ini, belum juga selesai. "Lakukan rencana yang diusulkan bagian pemasaran. Setelah melakukan survei, akan terlihat bagaimana arah pasar dan dari sana kita bisa menentukan barang apa yang paling laku. Saya rasa, rapat sore ini, cukup sampai di sini. Selamat sore."Ben langsung menyambar jasnya dan berjalan keluar ruangan rapat. Di belakangnya, Kim mengejar dan berulang kali memanggilnya."Kau mau pergi ke mana?" tanya Kim saat mereka sudah berdua di dalam lift. "Beberapa hari ini, kau sepertinya tidak fokus dengan pekerj
"Kau jatuh cinta pada Ella."Satu kalimat itu terus berulang di dalam kepala Ben. Satu kalimat yang diucapkan Peter dengan mudahnya, sambil menuang bir dan tertawa lebar. Sedangkan Ben hanya bisa mengelak dengan mengatakan bahwa Peter salah mengartikan perasaannya. Namun, seolah seperti pakar dalam hal percintaan, Peter pun tetap pada pendiriannya, bahwa Ben jatuh cinta pada Ella.Meski Ben menolak pernyataan itu berulang kali, tapi di saat bersamaan ia pun tidak kuasa menolak keinginan untuk melajukan mobilnya menuju Rochden. Apakah ini berarti ucapan Peter adalah benar? Tidak, Ben tidak mungkin memiliki perasaan cinta pada Ella. Ia menyakini bahwa ini hanyalah rasa bersalah telah memperlakukan Ella dengan buruk, sehingga Ben perlu melakukan apa pun untuk menebusnya. Setidaknya, membalas budi, karena berkat perempua
Ben telah mengganti pakaian konyolnya dengan pakaiannya sendiri yang sudah dicuci oleh Rosaline. Namun, belum terlihat tanda-tanda bahwa ia akan pergi meninggalkan peternakan keluarga Baxter ini. Ben malah memilih duduk di serambi rumah, menikmati kue kering dan teh yang disajikan oleh Rosaline, sambil menikmati pemandangan Pedro dan teman-temannya yang berlari di lapangan rumput, para pekerja yang sibuk mengangkut jerami, dan hewan-hewan ternak yang asyik bermain lumpur."Jadi, kau adalah Benedict Cerg?"Ben menoleh dan mendapati Eden sudah berada di ambang pintu. Wanita tua itu terlihat jauh lebih sehat dari terakhir kali Ben melihatnya. Setidaknya, sekarang ia bisa mendorong kursi rodanya sendiri."Kita pernah bertemu, 'kan? Kau ... pengawal cucuku."
Prince hampir menghabiskan setengah stoples camilan yang disediakan di atas meja kerja Ben. Ia sudah duduk di sana—mungkin—selama hampir satu jam, hanya untuk melihat Ben berjalan mondar-mandir, duduk, membuka lembaran dokumen yang tidak sampai dua detik, berdiri lagi, meneguk wine—ya apa pun yang Ben lakukan, lama-lama membuat Prince lelah."Kalau tidak ada yang ingin kau bicarakan, bisakah sekarang aku pulang?"Ben menggeleng. "Kau baru boleh pulang, setelah memberiku ide untuk mendekati Ella," jawab Ben, lalu duduk di kursinya. "Kau pernah menjadi suaminya, kau pasti tahu semua yang membuat hati Ella luluh, apa yang disukainya, apa yang dibencinya—"Kedua bahu Prince berguncang hebat mendengar ucapan Ben yang belum selesai itu. Andai s
"Kau suka dengan kuenya?" tanya Kim pada Ben, setelah ia menyuapkan satu sendok penuh potongan keik. "Ini adalah keik favoritku."Ben tersenyum kecil sambil mengangguk."Kau sengaja mengajakku ke sini?""Aku?" bingung Kim. "Aku tidak pernah mengajakmu, Nic. Aku hanya menawarimu untuk ikut ke Rochden. Kau ada di sini adalah keputusanmu sendiri.""Kau tahu Ella bekerja di sini?"Kim meletakkan sendoknya, meminum air di gelas, lalu mengusap sisa air di ujung bibirnya dengan tisu. Ia mengambil napas panjang, kemudian menoleh dan tersenyum pada Ben. "Nic, aku pun sama terkejutnya denganmu saat melihat Ella berdiri di balik etalase. Kau tahu sendiri bahwa aku jarang
"Kau benar baik-baik saja, El?" tanya Jensen, ia masih mengkhawatirkan Ella yang jadi lebih banyak diam setelah kepergian pelanggan yang tidak diinginkannya. "Sebaiknya kau pulang dan beristirahat. Astrid pasti mengerti kondisimu. Aku yang akan memberitahunya.""Tidak perlu," tolak Ella. "Jam kerjaku masih sisa setengah jam lagi. Setelah selesai, aku akan langsung pulang.""Baiklah kalau begitu.""Apa nanti kau akan pergi menemani Kim?"Jensen yang hendak menghabiskan kopinya, langsung tersenyum kecil. "Kenapa? Kau tidak rela aku pergi dengannya? Kau cemburu?"Ella melengos mendengar kalimat Jensen. "Bukan begitu, aku—"
"El, kau benar-benar membiarkannya menunggumu di luar?" tanya Rosaline sambil mengintip melalui celah gorden."Aku tidak menyuruhnya menunggu. Itu pilihannya sendiri," jawab Ella sambil menyuapkan suapan terakhir makan siangnya—yang terlambat.Rosaline menggeleng pelan melihat sikap nona mudanya ini. Ia kemudian duduk di sebelah Ella dan menatapnya dalam diam. Sedangkan Ella yang ditatap intens oleh Rosaline, tentu saja merasa tidak nyaman, sebisa mungkin ia menghindari Rosaline dengan menghabiskan jus apel."Nana sudah memberimu lampu hijau. Bahkan sekarang dia sedang asyik menemani Ben di luar. Mengapa kau begitu keras kepala menolaknya?" bingung Rosaline. "Orang buta pun bisa melihatnya, El, kalau kau sedang membohongi perasaanmu sendiri. Kau juga mencintai dia,
"Terima kasih," ucap Ella saat menerima secangkir teh yang masih mengepulkan asap, dari Ben. Kemudian ia letakkan cangkir itu di dekat kakinya, dan segera merapatkan selimut ke tubuhnya. Ia melongok ke jendela, bulan masih berada di atas sana, meski sempat tertutup awan. Mendadak, cuaca yang hangat siang tadi, malam ini berubah sangat dingin. Mungkin minggu depan sudah memasuki musim dingin."Kau sedang melihat apa?" tanya Ben yang sudah duduk di belakang Ella, lalu menarik tubuh wanita itu mendekat padanya, ke atas pangkuannya, dan memeluknya. Ia menarik selimut yang dikenakan Ella, hanya untuk menyelimutkannya kembali membalut pada tubuhnya dan Ella."Tidak ada. Aku hanya sedang berpikir.""Tentang?""Sikap Nana s
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap