Kening Ben mengerut saat ia mendapati gudang James sudah dikepung oleh banyak polisi. Lebih dari lima mobil dan puluhan polisi menggrebeknya. Selain itu, puluhan, bahkan mungkin ratusan orang—dan mungkin dari seluruh penjuru dunia dan segala umur—yang terlihat kebingungan ada di sana. Namun, wajah-wajah bingung itu, perlahan berubah menjadi penuh kelegaan dan tangis bahagia. Berulang kali beberapa dari mereka mengucapkan terima kasih pada para polisi. Sedikit demi sedikit, mereka diangkut oleh mobil polisi dan ambulans meninggalkan tempat itu. Melihat kekacauan ini, Ben segera menghubungi Prince dan Grace, meminta mereka untuk menyusul. “Apa yang terjadi?” tanya Ben pada salah seorang polisi yang berjaga. Bukannya menjawab, polisi itu malah meminta identitas Ben dan menginterogasinya. Melihat dan mendengar tingkah serta jawaban Ben yang mencurigakan, polisi itu hendak menggiring Ben ke mobil polisi dan memborgolnya. “Nicholas? Apa yang kau lakukan di sini?” “Jensen, apa yang ter
Ella tidak benar-benar bisa mengingat bagaimana ia bisa sampai di tempat ini. Bau menyengat disinfektan, terakhir ia mencium aroma yang sama adalah saat ia meninggalkan rumah sakit tempat Nana dan Rosaline dirawat. Hal terkahir yang ia ingat adalah wajah seorang pria dan suaranya yang terus berteriak di dekat telinga Ella agar ia tetap membuka mata. Namun, bukan pria itu, pria yang berdiri yang saat ini berdiri di dekatnya hanya diam menatapnya. Sedetik kemudian, ia segera berlari—entah ke mana. Ella mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan seketika ia menyadari di mana dirinya berada saat ini. Sedikit nyeri di bagian perutnya, membuatnya meringis dan memaki dengan suara kecil. Ella berusaha bangkit, tapi kepalanya masih terasa sedikit pening dan entah mengapa tubuhnya terasa lelah sekali. “Radella Softucker? Atau kau lebih suka dipanggil dengan nama Radella Loshen?” Ella menoleh ke arah pintu dan melihat seorang pria—dan Ella yakin, bahwa itu adalah pria yang sama, yang berteria
Sudah berhari-hari Garrett Wade tidak berhenti tertawa puas setiap kali membaca atau mendengar berita tentang penangkapan James Softucker. Bahkan pria itu mengadakan pesta perayaan di rumahnya untuk merayakan kejatuhan lawannya. Ia juga memberikan banyak diskon di toko-toko retail miliknya, sekaligus bonus bagi karyawannya. Namun, entah mengapa semua gegap gempita ini tidak serta merta membuat Ben puas. Rasa-rasanya, masih ada yang mengganjal di batinnya, terlebih saat ia mengingat ucapan Ella saat terakhir kali mereka bertemu—seminggu yang lalu—di taman rumah sakit. Satu sisi hatinya ingin memercayai apa yang diucapkan Ella, tapi sisi hatinya yang lain masih meragu. “Nic, kau mendengarkanku?” Suara Garret membuat Ben kembali tersadar dari lamunannya. “Maaf.” “Akhir-akhir ini, kulihat kau sering melamun. Ada apa?” tanya Garret lagi, sambil memotong steiknya. “Apa ada masalah dengan pekerjaan?” Ben menggeleng. “Tidak ada. Aku … aku hanya memikirkan tentang orang tuaku.” “Hm, ya,
Sudah hampir seminggu Ella bersama Rosaline menemani Nana yang masih dalam perawatan di rumah sakit. Menurut dokter,jika hasil lab dan pemeriksaan Nana siang ini hasilnya baik, maka besok Nana sudah diperbolehkan untuk pulang. Sebuah kabar baik yang sangat dinantikan oleh Ella. Namun, tidak hanya kabar baik yang hadir untuknya, melainkan juga kabar buruk. Saat ini, ia tidak memiliki tempat tinggal untuk kembali. Beberapa hari yang lalu, Jensen Baxter mengatakan bahwa seluruh aset Softucker akan disita sebagai barang bukti kejahatan James, termasuk mansion milik Nana—yang ternyata sudah digadaikan James ke rekan bisnis ilegalnya. Tidak ada pilihan lain bagi Ella, selain mencari tempat tinggal yang lebih murah, tapi tetap layak untuknya dan Nana. Kediaman Loshen? Jangan ditanya apa yang dilakukan Tuan Loshen saat kabar bahwa James Softucker ditahan oleh polisi sampai ke telinganya. Ella mendadak dianggap sebagai aib yang harus segera disingkirkan dari pohon keluarga Lo
Ben mematikan mesin mobil, lalu turun, dan berjalan memutar untuk membukakan pintu Ella. Perempuan itu merengut dengan kedua tangannya yang terikat ke belakang. Ella tidak menyangka, bahwa pria itu menyimpan tali di mobil—bahkan untuk hal-hal seperti ini? Ella pun tidak mengira bahwa Ben akan membawanya ke pondok musim panas keluarga Softucker.Ben mengambil pisau lipat dari saku celanannya, memotong garis polisi, lalu berjongkok sebentar di dekat undakan untuk mengambil kunci cadangan pondok yang sempat ia simpan di sana."Aku menyimpannya, siapa tahu dibutuhkan," jelasnya tanpa diminta, lalu berjalan masuk dan menyuruh Ella untuk duduk di sofa di depan perapian. Sedangkan dirinya berjalan menuju dapur dan memeriksa isi lemari dapur dan lemari pendingin. Tidak ada apa pun di sana, hanya ada dua kaleng makanan yang hamp
Prince memeluk Abby begitu erat saat mendengar putusan hakim yang membebaskan Arian dari segala tuduhan yang menyebabkan dia dipenjara. Ibu dan anak itu menangis, terharu, sekaligus bahagia, di saat bersamaan memikirkan rencana-rencana mereka di masa depan, yang mereka susun di rumah baru mereka yang mungil di pinggiran kota.Setelah menjalani persidangan yang melelahkan selama hampir enam bulan, kini Prince bisa bernapas lega melihat ibu dan ayahnya bisa kembali berpelukan. Air matanya sedikit menetes dan ia buru-buru mengusapnya. Tuhan memang sangat baik padanya, tidak hanya mendapatkan kedua orang tuanya kembali, kehidupannya juga perlahan membaik.Ketika tidak lagi menjadi pewaris kekayaan keluarga Loshen, Prince harus mencari pekerjaan untuk kehidupannya. Sudah tiga bulan terakhir ini ia berusaha mencari, tapi keb
"Kau yakin ingin tinggal di sini? Aku bisa saja menempatkanmu di sebuah apartemen di Rotterfort dan menyuruh polisi untuk bersiaga di sekitarnya."Ella menggeleng. "Tidak. Aku tidak ingin peristiwa kemarin terulang lagi dan membuat semua orang khawatir. Lagi pula, kita tidak tahu apakah Max benar-benar akan berhenti mencariku, seperti janjinya. Juga anak buah Rodriguez masih ada di luar sana," ucap Ella sambil mengeluarkan barang-barangnya dari dalam kardus pindahan. "Di sini jauh lebih aman. Seperti katamu, ini hanya sebuah peternakan, mereka tidak akan berpikir bahwa aku sanggup tinggal di tempat seperti ini, 'kan?""Kau tidak perlu khawatir mengenai Rodriguez dan anak buahnya lagi. Saat dia dihukum mati dua bulan lagi, bersamaan dengan itu seluruh organisasinya
Prince beberapa kali melirik spion tengah mobil untuk melihat apa yang dilakukan Ben bersama Kim di kursi penumpang belakang. Tidak ada. Seperti biasanya, keduanya duduk, berjarak, dan sibuk dengan urusannya masing-masing. Entah apa yang dipikirkan Kim, tapi beberapa hari terakhir ini, dia nampak sering melamun dan tidak cerewet seperti biasanya. Sedangkan Ben, pria itu terus menunduk menatap layar ponselnya. Kesunyian itu berlangsung hingga mereka tiba di kediaman keluarga Wade."Aku akan langsung ke kantor," ucap Ben yang membuat Kim urung untuk membuka pintu di sebelahnya."Kita baru saja pulang dari perjalanan bisnis, kau mau langsung bekerja?""Masih ada banyak hal yang harus aku urus.""Oh, maksudmu wasiat aya
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap