Baju-baju telah berserakan di karpet, bercampur baur antara kepunyaan Aresha dan Herdion. Mereka rebah berhadapan dengan bulir keringat basah yang tersisa di badan. Saling pandang penuh engah dan hembus napas yang memburu.“Hampir maghrib, Bang … mandilah,” ucap Aresha. Berniat memberi kesempatan terlebih dahulu pada sang suami.Herdion tidak menyahut. Hanya menatap kaku wajah Aresha. Aura dingin di wajah tegasnya kembali memancar meresahkan. Sang istri yang dipandang sedemikian pun bukan tak paham, pria di hadapannya masih menyimpan rasa tidak gembira akan pertemuannya yang tidak sengaja dengan Julian. “Nanti maghribnya kelewatan, Bang Syahfiq…,” ucap Aresha lagi dan lembut.“Ck …!” Herdion berdecak keras sambil beringsut bangun. Selimut yang tersingkap dan menampakkan sebagian tubuh poloss sang istri, yang biasanya dia tutupkan semula, terbiar begitu saja. Sungguh sedang sangat merajuk.Pria dengan penampilan sekelas model internasional berjalan santai sambil menyambar handuk dan m
Aresha benar-benar tidak membawa satu barang pun dari hasil belanjanya kemarin. Larangan keras dari Herdion, dipatuhi olehnya tanpa syarat. “Sorry, Pa. Cepatlah sembuh.”Herdion sebagai orang yang terakhir berpamit. Baru saja salam sungkem pada sang papa yang sakit.“Tidak masalah, Fiq. Semoga urusanmu sukses dan lancar. Pulang pun membawakanku dan mamamu oleh-oleh calon cucu,” sahut Pak Yunus Herdion pada sang putra dengan suara lemah dan gemetar. Namun, masih sambil melemparkan senyuman. Siti Yasmin juga tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih, Pa, Ma. Doakan saja untuk hal itu. Kami berangkat. Assalamu'alaikum,” pamit Syahfiq Herdion. “Wa'alaikumsalam,” sahut kedua orang tuanya hampir bersamaan.Siti Yasmin menatap haru pada kepergian kendaraan yang membawa rombongan putranya. Merasa bersalah sebab tidak mampu menjadi seorang nenek sekaligus seorang ibu yang baik.Bagaimana tidak, moment di mana seharusnya menjadi hari bahagia antara Aresha dan Herdion, berbulan madu dengan ber
Herdion turun begitu saja dengan menggendong Venus. Wajah tampannya terlihat tegang dan serius, maklum baru bangun tidur. Itu pun sebab dibangunkan oleh Aresha.Begitu juga suster Lia. Matanya memerah dan sebab dibangunkan oleh Aresha juga. Bahkan kerudung yang dipakai sudah senget senget berantakan. Namun, masih tersangkut aman di kepalanya.Aresha sengaja tidak mengambil Venus dari Herdion. Agar sang suami lebih fokus sebab kerepotan menggendong sambil berbicara dengan resepsionis. Tidak sempat mengamati di sekeliling lobi. Resah andai Herdion sempat melihat kelebat kepergian Julian di lorong tangga hotel.Entah kenapa, si mantan tega itu memilih menaiki tangga. Bukan masuk lift agar pintunya menutup dengan cepat. Membuat Aresha senam jantung saja dibuatnya.“Mana, Bang. Biar aku yang gendong Venus. Capek …?” tanya Aresha iba dan perhatian memandang. Sebenarnya kasihan dari tadi, tetapi si mantan tega belum hilang juga dari pandangan. “Kenapa? Tidak masalah, Aresha. Kamu ragu deng
Aresha mengancing kemeja suaminya yang akan berangkat ke Denpasar untuk bertemu rekan bisnis sore ini. Menolak tawaran untuk ikut, lebih memilih tinggal dan menunggu di hotel saja dengan Venus. Khawatir jika anak itu mengamuk mencarinya, sedang suster Lia masih selalu gagal menenangkan. Bayi tampan dan berkulit putih itu suka berunjuk rasa jika tidak ada Aresha saat bangun tidur. Akan menangis heboh sekali setelah lama tidak dihampirinya. Sedang mengajak Venus di pertemuan sore ini, Herdion menolaknya. Suaminya bilang, itu bukan ide bagus. Bayi lucu itu bisa memecah fokusnya sewaktu-waktu.“Sepulang dari Bali, coba kita letak Venus di kamarnya lagi, Sha,” kata Herdion.“Sama aku?” Aresha senyum menggoda. Rambutnya masih basah dan sesekali menitikkan air dari ujung rambut panjangbya di punggung. “Kamu di kamar Venus, lalu aku sama siapa?” Herdion tampak gemas. Di tariknya hidung kecil Aresha dengan jarinya yang besar dan panjang.“Tujuan Venus dilatih, supaya dia bisa mandiri tanpa k
Keranjang berisi beberapa keperluan selama ada di Bali, telah berpindah pada kantung-kantung yang mudah dibawa. Mereka keluar meninggalkan swalayan dengan Venus yang digendong Aresha. Suster Lia bertugas membawa barang belanja.“Suster Lia, aku ke toilet sebentar. Duduk dan tunggu sini dulu, ya?” pamit Aresha sambil mengulurkan Venus pada Lia.“Lho, nggak mau …,” keluh Aresha sambil meringis. Venus menyusupkan kepala dan menempel di dadanya. Tidak mau diajak oleh Lia.“Ayo Venus, anak baik. Mamamu capek, lho. Kasihan juga kebelet pipis. Ayoo …,” ucap Lia dengan lembut membujuk. Setelah Aresha dan Lia bekerja sama dan sedikit memaksa, anak itu berhasil juga dipindahkan tangan. Kini telah digendong Lia dengan ekspresi yang was-was dan tidak tenang. Menatap Aresha dengan pandang nanar. Namun, anak itu tidak menangis.Aresha bergegas meninggalkan teras swalayan demi hajat kecil yang harus segera dihempas. Ginjalnya terasa penuh dan seperti akan bocor saja rasanya.Toilet dengan banyak p
Seorang wanita berlarian kencang seperti sedang kerasukan.“Aresha!” Seruan lelaki yang sangat dihapal sungguh membuat lega bukan kepalang. Tidak menyangka jika Herdion ada di depan toilet saat lelaki milik Julian hampir tepat di belakangnya. “Bang Syahfiq …!” Aresha menyahut dengan gembira luar biasa. Rasanya hingga ingin menangis sebab terlalu merasa senang. Rasa aman dan tenang serta merta menghampiri.“Kamu dari mana? Kenapa berlari kencang dan keringatan begini? Ada apa, Sha?” tanya Syahfiq risau dan heran. Tidak menyangka mendapati Aresha di tempat yang tidak disangka. Sesampai di hotel dari Denpasar, Herdion merasa perutnya tidak nyaman. Maka toilet lah destinasi pertama yang diburunya. Belum menghubungi Aresha sama sekali saat tiba. Ternyata mereka justru bertemu di teras toilet.“Bang Syahfiq, ngapain juga di sini?” tanya Aresha. Melirik lelaki yang mengejarnya tadi masih berdiri mengamati di tempat yang tidak terlalu jauh.“Aku baru pulang dari Denpasar dan langsung menca
Lelaki yang biasa memberikan peluk menjelang tidur, kini acuh tak acuh dan membelakangi. Rasanya hampa dan sungguh tidak tenang. Nelangsa dan seperti sendirian di tanah orang. Semua berubah asing dan tidak tenang.“Bang Syahfiq, apa kamu sudah tidur? Hadaplah ke sini. Jangan menghadap ke sana. Aku susah tidur …,” bujuk Aresha sedih. Nekat menghempas rasa kesal sekaligus rasa gengsi.Aresha ingin menangis, sesak di dadanya. Tidak ada sahut dan respon. Bergerak pun tidak. Secepat itukah suaminya tidur? Tidak memikirkan perasaannya sama sekali. Mudahnya mengabaikan hanya sebab alasan yang tak pasti.Didekatinya punggung lebar Herdion. Dengan tidak peduli dan coba lupa akan rasa kesal. Dipeluk erat punggung suaminya dari belakang. Menghembus napas dan mengambil kembali dengan aroma sang suami yang khas. Sedih, kecewa dan justru semakin tidak tenang rasanya!Hampir setengah malaman diabaikan. Tidur tidak berbincang, tanpa pelukan atau juga kegiatan bercocok tanam apa pun. Aresha terbangun
Hanya kesadaran sebagai pribadi dewasa yang sama-sama beretika dan beradab belakalah mereka terus terlihat baik-baik saja di hadapan kelurga. Terlebih Aresha yang berusaha cerah ceria di depan ibu mertua dan ayah mertuanya. Yang padahal, hati sangat tersiksa dengan kemarahan suami yang tidak kunjung bersikap manis padanya.Perang dingin terus bergolak di antara keduanya. Bisu dan buta seperti teori serta paham yang sedang mereka jalankan jika sama-sama berada di dalam kamar. Hanya jika teramat sangat terpaksa, mereka akan berkomunikasi.“Venus ayo tidur! Enak kan, tidur di tengah-tengah? Hangat dan nyaman, kan?” ujar Aresha pada Venus di gendongan. Disambut lonjakan bahagia dari bayi sehat itu.Aresha sudah mendapatkan cara baru menidurkan Venus. Tidak lagi digendong dan diayun. Melainkan berangkat tidur bersama dan rebah di bantal bersamaan. Meski bayi itu terlihat segar bugar, tetapi lama-lama juga tidur dengan sendirinya. Terlihat damai saat berada di pelukan.Aresha sengaja meleta
Herdion sedang membaca email dan tampak terdiam. Duduk di sofa dalam kamar hotel yang nyaman. Mereka semua masih berada di Singapura dan akan kembali dua hari lagi. Sedikit diperpanjang sebab sambil ingin liburan santai dan bahagia bersama keluaraga. Venus telah datang menyusul bersama Lia dan Tiwi. Lagi lagi Sita Yasmin tidak ikut. Seperti biasa, Yunus Herdion selalu sibuk memancing di lautan.Saat berangkat, tidak bisa barengan sebab Venus memiliki jadwal imunisasi. Sedang Tiwi harus upgrade passport lamanya ke Kantor Imigrasi. Kini semuanya di kamar sebelah yang luas bersama Taufiq dan Alya sambil mengawasi mereka berdua. “Sha, ada email dari Julian dan istrinya!” ujar Herdion agak keras, masih drngan posisi duduk di sofa. Bahkan menoleh Aresha pun tidak.“Apa isinya?!” Suara Aresha juga lantang. Sebab, sedang turun hujan sangat deras sedang pintu balkon terbiar dibuka. Nasib baik tidak ada angin kencang yang menyertai hujan lebat itu.“Kedua suami istri itu minta maaf dan minta
Aresha hanya bergerak menepi. Tidak ingin bereaksi dengan memgomentari. Justru bergeser membuka ruang agar pandangan mereka tanpa ada lagi penghalang dirinya.“Syahfiq, apa kabarmu… tidak menyangka melihatmu di sini,” ucap Clara. Mata itu berbinar sangat cantik. Tampak gembira melihat Herdion di kapal.“Kalian kenal?” Herdion merespon dengan menatap Aresha. Juga sekilas pada Clara. Terkesan abai akan sapa Clara yang sangat.l antusias.“Aku … kalian juga kenal?” Kali ini Clara tanggap, menatap Aresha dan Herdion bergantian.“Kenalkan, dia Aresha, istriku,” ucap Herdion cepat dan kaku. Wajah tampannya semakin tegang, tidak ada segaris pun senyum di bibirnya untuk Clara dan Aresha. Aresha terus diam dan menyimak. Masih bertanya siapa Clara bagi suaminya. Tidak ada lagi senyum cerah di wajah cantik itu. Mereka saling diam, kesan akrab seketika hilang di antara mereka.“Mammaah ….” Bocah kecil yang tadi asyik bermain dengan Alya dan Taufiq telah mendekati Clara dan memegangi lengan tanga
Herdion dengan sabar membujuk sang istri. Merasa sungguh tidak nyaman jika istri cemberut dan muram. Aresha yang biasa berbinar penuh senyum, ini jadi mendung suram seharian. “Lalu apa yang membuatmu muram seharian, Sha? Ayo, katakan …,” bujuk Herdion. Lembut membelai pipi istri dengan telapak dan jari."Sebenarnya … aku sedang ngidam," sahut Aresha sambil menunduk. Herdion merengkuh dan memeluk.Mendengar ucapan itu, Herdion justru ingin tertawa. Namun, sekuat hati ditahan, tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang bad mood di pelukan."Kamu sudah ngidam? Katakan saja padaku, apa yang sedang kamu inginkan, Sha ...," ucap Herdion lembut. Meski tidak habis pikir dengan ngidam Aresha yang dirasa sungguh dini."Aku ingin bercerita sedikit. Kata Mama Yasmin, saat kehamilan Taufiq, belio tidak bahagia, sebab papa sangat sibuk bekerja demimu dan almarhum adikmu. Mama kurang kasih sayang dan perhatian dari Papa Yunus." Aresha sejenak terdiam. Juga memeluk Herdion."Sama dengan m
Tujuh hari kemudian …Herdion meninggalkan Venus yang bermain sendiri di ranjang. Mendekati Aresha yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer di meja rias. Merasa janggal dengan sikapnya yang selalu muram pagi ini. Bahkan saat memadu kasih pagi tadi, istri cantiknya terlihat enggan menatap. Juga mengunci rapat bibirnya. Tidak segencar menyebut nama Herdion seperti di tiap padu kasih mereka biasanya."Ada apa denganmu, wajahmu tampak muram. Apa aku punya salah padamu, Sha?" tanya Herdion sambil mengancingkan kemeja di belakang kursi Aresha. Mereka bisa saling melihat di kaca.Mata bening Aresha hanya menyapu wajah menawan suami sekilas. Kembali abai dengan mengeringkan rambut di mesin."Kenapa? Jawablah ... aku tidak akan fokus buat kerja jika kamu tidak mengatakan. Apakah ingin pulang ke rumah orang tuamu? Bukankah sudah kubilang menunggu hari Minggu ... Kamu tidak sabar lagi?" Herdion membungkuk. Berbicara di samping kepala Aresha di pelipis."Kamu tidak pernah mencintaiku ..
Aresha memang sangat kecewa dan bahkan menangis. Kesal akan putusan suami yang menginginkan dirinya mencabut kasus Julian dari kepolisian.Namun, membayangkan diri lebih lama berada di tangan Julian, itu memang lebih mengerikan. Butuh bertaruh harga diri, kehormatan dan keselamatan. Mantan bajingan, si Julian, bisa saja kerasukan sewaktu-waktu dan melakukan pemaksaan. Beruntung selama ini Aresha masih selamat tanpa sedikit saja diciderakan. Bersyukur suami tercinta lekas datang menyelamatkan. “Bagaimana?” tanya Herdion sedikit lega saat merasa tangan Aresha bergerak melingkar ke punggung. Yang semula tegak kaku tidak menyambut pelukan, kini aktif membalas.“Iya, aku paham dengan keputusan yang sudah Bang Fiq ambil. Maafkan aku,” ucap Aresha yang kini kepala juga disandar ke dada sang suami. Memeluk erat punggungnya.“Jadi, minggu depan kita ke seberang lagi. Setuju?” tanya Herdion dan Aresha pun mengangguk. Herdion ingin memastikan jika Aresha bersetuju memaafkan Julian, sekadar dal
Herdion menghela napas dan menyandar di kursi. Hima siaga dengan perlengkapan tulis dan duduk di sebelah dalam kursi yang sama. Dua orang lelaki di depan mereka sedang berbincang dan serius. Mereka berempat baru saja berdiskusi hal penting bersama.“Baiklah, sebagai tanda minta maaf dan rasa malu yang kami tanggung. Kami setuju dengan segala syarat yang akan Anda ajukan minggu depan di kepolisian Singapura, Tuan Syahfiq Herdion.”“Tolong pastikan Anda benar-benar datang. Kami benar-benar khawatir jika Anda berubah pikiran. Kami tidak masalah dengan tuntutan materi pengganti kerugian secara moral dan materi akibat perbuatan anak-anak kami pada istri Anda. Berapa pun, Tuan Syahfiq …,” ucap salah satu lelaki yang Herdion baru tahu adalah ayah dari si bajingan Julian. Sedang lelaki yang duduk di sebelahnya, adalah ayah dari Hana. Mereka berdua merupakan bagian dari daftar atas orang-orang konglomerat di Pulau Batam. “Saya dan istriku akan datang setelah genap dua minggu putra Anda di tan
Syahfiq Herdion, Aresha Selim, Taufiq Herdion, Venus Herdion dan Lia, telah sampai di rumah orang tua Aresha pagi-pagi sekali dengan dibawa seorang sopir keluarga. Mereka makan pagi di sana dan berniat membawa Alya Selim keluar untuk healing bersama. Sedang orang tua tidak ikut dan memilih pergi ke store seperti biasanya.Alya yang masih mendapat pendidikan di sekolah khusus dekat store pun hari ini sedang libur sebab tanggal merah. Siti Yasmin ingin ikut tetapi Yunus Herdion yang masih belum benar-benar pulih dari sakit gerdnya keberatan. Alhasil mereka berdua tinggal di pulau bersama Tiwi yang bertugas tinggal di rumah.Alya terlihat lebih imut, lucu dan manis. Gadis remaja dua belas tahun itu telah disulap oleh Lia dengan sapuan make up natural yang ringan dan manis. Membuatnya terlihat lebih fresh dan cerah. Remaja yang pendiam tetapi suka tersenyum itu diharap bisa menarik perhatian Taufiq Herdion.“Apa ini bukan pedofil?” tanya Aresha yang tiba-tiba merasa khawatir. “Bukan, Sh
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.“Bagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?” tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.“Sudah diselimuti, Sus?” tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.“Sudah, Kak,” sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.“Ayo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,” ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw