Telapak tangan lebar telah terulur meskipun Aresha belum bersetuju. Rasanya segan dan salah tingkah jika harus menari berdua tanpa pihak lain di antara mereka. Canggung sekali meski rasa hati sangat ingin menyambutnya."Maaf, aku merasa segan," ucap Aresha terus terang. Memandang enggan Herdion yang tatapannya sepeti menghipnotis. Menusuk ke dalam relung jiwa, seakan penyebab raga kehilangan tulang penyangga. Luruh ...."Ini hanya hiburan, Aresha. Jika keberatan, anggap saja tidak gratis," ucap Herdion tegas. Mendadak mengesankan jika pria itu sedang memaksakan inginnya."Bagaimana tidak gratis?" Aresha bertanya dengan bingung. Lebih tercekat lagi, telapak besar itu sudah menyambar hangat tangannya. Sangat hangat dalam genggaman lembut. Herdion telah membawanya ke posisi berdansa. Namun, serta merta pun Aresha merasa rela ...."Akan ada bonus untukmu. Aku sedang butuh teman saat ini, Aresha," ucap Herdion lirih. Tiba-tiba terlihat sebuah beban dalam nada suara dan tatapan matanya. "
Mereka benar-benar tidak saling bicara sama sekali. Kecuali hanya satu kalimat dari Herdion yang meminta agar Aresha segera tidur, bersikap tenang dan tidak perlu menganggapnya ada. Hening menyelimuti ruang kamar dan hanya dengkur Taufiq yang sesekali membahana. Hingga keduanya tertidur lelah sejenak dengan waktu hampir bersamaan.Mereka berdua terjaga saat subuh, juga hampir bersamaan kala kedua ponsel di atas meja berdering silih berganti. Venus hanya bergerak sedikit dan kembali menyambung tidurnya setelah sempat membuka mata dan tersenyum.Ponsel milik Herdion yang sedang berdering segera disambar pemiliknya. Ternyata Hisam yang sudah membuat panggilan pada ponsel Aresha dan miliknya. Lelaki yang baru mendapat musibah pada tempat kerjanya itu ternyata sudah standby di lobi. Mendesak Herdion agar segera menyebut nomor kamar yang sedang mereka pergunakan."Sudah kubilang akan kuantar Venus ke rumah kalian, Hisam," sambut Herdion kesal. Hisam sampai di depan pintu tidak lama setelah
Mereka dalam perjalanan menuju ke Pulau Marina."Jika nanti hak asuh Venus sudah totalitas ada pada keluarga Herdion, kalian harus masih mengunjungi dan menginap bersama kami, ya, Aresha ... Venus," ucap mama Nur Fatimah, ibundanya Hisam itu berbicara dengan sedih.Sepanjang jalan, bercerita segalanya pada Aresha. Tentang keterpaksaan yang memilih merelakan Venus pada keluarga besan. Dengan catatan, putra keluarga dari mantan besan bersedia memberi bantuan untuk menutup aib keluarga. Yakni menikahi anak perempuannya, Miana.Bukan bermaksud serakah dan tidak baik. Namun, justru sebaliknya. Selain sama-sama menguntungkan, tetapi juga demi menanggapi keluhan keluarga besan. Di mana dulu si besan seringkali mengeluhkan keadaan putra mereka. Herdion tidak ingin menikah, dia itu mati rasa. Besan ingin sekali anak lelaki menikah, bahkan dengan siapa saja. Asalkan si perempuan tidak memiliki minus dan cacat yang terlalu.Aresha terus menyimak cerita ibundanya Hisam saksama. Rasanya sedih dan
Aresha sedang mengeringkan rambut sambil sebelah tangan memegang botol You C. Minuman bersuplemen dengan kandungan tinggi vitamin c itu sangat menyegarkan diminumnya saat siang. Cuaca tengah hari di Pulau Marina demikian gerah dan terik.Sayup tangis Venus yang melengking memang sudah beberapa kali didengar. Membuatnya tidak tenang dan sangat penasaran. Namun, larangan sang paman membuatnya terus bertahan di dalam kamar saja.Tidak tahan lagi, hatinya bukan robot yang tanpa rasa dan iba. Tangisan Venus kembali menggema. Aresha keluar kamar dengan riasan tipis mempesona yang kian melukis wajah cantiknya. "Venus, ada apa nangis terus?" Aresha hampir bertabrakan dengan Siti Yasmin di ruang tengah."Aresha, kamu sudah selesai mandi? Syahfiq bilang kamu tidak enak badan, benar?" Siti Yasmin memberondong Aresha dengan tanyanya."Eh ... iya, Bu. Maaf jika lama," sahut Aresha terpaksa membenarkan. Tidak paham apa maksud Herdion mengatakan hal itu. Bukankah justru dia yang sedang kurang sehat
Keluarga Hisam diletak di rumah kesenian oleh keluarga tuan rumah. Mereka berencana menginap selama satu minggu. Termasuk sudah dalam acara pertunangan antara Miana dan Herdion yang rencana akan diselenggarakan di salah satu hotel di Pantai Marina secepatnya. Yang kemungkinan milik Syahfiq Herdion sendiri.Aresha sedang mematut diri di cermin dan menyisir rambut untuk kesekian banyak kali. Bibir indahnya tampak lebih merekah dengan warna lipstik merah cerah. Bayang pantul di cermin telah mewujudkan sosok jelita yang mempesona.CeklerkAresha sedang melepas jepit rambut yang tidak jadi dipakai saat pintu terbuka. Meletak di meja sambil memandang Herdion di cermin yang sedang memandangnya. Pria itu memasuki jantung kamar dan mendekatinya di meja rias."Apa merasa gembira akan pergi dengan keluarga Hisam Ardan?" Herdion telah berdiri tegak di belakangnya. Mereka berdiri menghadap meja rias dan saling berpandangan di pantul cermin."Apa ada alasanku menolak? Ibumulah yang menginginkanku i
Tubuh tegap itu mematung di tempat dan seperti mengunci ke dalam bumi. Hanya nafas tertahan sejenak yang kemudian dihempas keras dari dalam dadanya. Matanya berkilat tajam mengawasi.Miana dengan baju mini telah berdiri di depannya. Kini mengulur tangan dan mengalungkan di leher dengan sangat genit dan berani. Pandangan matanya menggoda disertai senyuman sangat manja."Apa yang kamu lakukan, Miana?" Herdion bertanya kaku dan membiarkan sikap wanita itu padanya. Menyentuh sekeliling kulit lehernya dengan tangan Miana yang halus."Menghibur calon suamiku. Aku tidak ingin lelaki yang akan menikahiku terjerumus dalam perselingkuhan," sahut Miana dengan senyuman yang sinis."Apa maksud kamu?" Herdion bersuara dingin dengan pandangan tajam pada Miana. Lekuk tubuh indah dan mulus dengan belahan dada sangat dalam sama sekali tidak mengganggu fokus tatapan matanya."Aku melihatmu di kamar pengasuh Venus sebelum mereka berangkat. Apa kalian sudah memiliki hubungan gelap?" Miana memicing mata den
Nafas panjangnya terasa sesak dan terengah. Menyandar tampak resah di daun pintu kamar Venus. Pemandangan menggiurkan di balik pintu baru saja menyapa kedua mata tak sengaja. Membuatnya memilih rela untuk berbalik dan segera menyingkir keluar dari dalam.Memang salah sendiri dan itu disengaja. Masuk begitu saja ke dalam kamar tanpa memberikan aba dan ketukan sebelumnya. Sementara gadis penghuni kamar yang menemani keponakan, sedang tidak berpakaian lengkap saat bertukar baju di depan almari. Membuat mata Herdion sempat khilaf sebelum mendapat jerit dan pekik kejut dari Aresha."Ada apa denganmu, Syahfiq?" Suara Siti Yasmin tiba-tiba menegur bersama hadir sosoknya. Sang mama baru muncul dari pintu dapur dan menghampiri kamar Venus. Sangat terkejut mendapati Syahfiq yang terlihat pias di sana."Eh, Ma. Tidak ...," sahut Herdion tampak gugup di depan mamanya. Lelaki itu tidak terbiasa berbohong pada wanita yang telah berjasa melahirkannya ke dunia dengan sempurna."Ada apa? Kamu tidak h
Pria gagah atletis itu berbau wangi sabun, bukan harum aroma parfum. Tercium semilir bersama hembus angin yang tercipta sebab hempas tubuhnya saat berjongkok duduk di depan Aresha dan Venus. Semerbak di hidung menggelitik rasa di dada Aresha yang berdebar."Venus, sampai bertemu lagi besok malam. Apa kau akan merindukanku?" tanya Herdion pada Venus dengan senyum hangat dan pandangan mata yang teduh. Bayi itu merespon dengan melonjak dan lebar tersenyum. Seketika membuat ketegangan yang Aresha rasa pun melebur."Pak Syahfiq kapan kembali ke sini?" tanya Aresha menyela. Tidak tahan menyimpan rasa penasaran. Pandangan Herdion berlabuh redup di wajahnya."Apa kamu berharap aku cepat kembali? Kamu tidak keberatan jika aku kembali masuk ke kamar keponakanku sesuka hatiku?" Herdion bartanya lirih sambil melirik ke arah Siti Yasmin di teras.Aresha tercekat dan bungkam. Dalam hati telah mengumpati Herdion dengan perasaan sangat kesal. Lelaki yang tidak disangka akan sikap dan tingkahnya. Sem
Herdion sedang membaca email dan tampak terdiam. Duduk di sofa dalam kamar hotel yang nyaman. Mereka semua masih berada di Singapura dan akan kembali dua hari lagi. Sedikit diperpanjang sebab sambil ingin liburan santai dan bahagia bersama keluaraga. Venus telah datang menyusul bersama Lia dan Tiwi. Lagi lagi Sita Yasmin tidak ikut. Seperti biasa, Yunus Herdion selalu sibuk memancing di lautan.Saat berangkat, tidak bisa barengan sebab Venus memiliki jadwal imunisasi. Sedang Tiwi harus upgrade passport lamanya ke Kantor Imigrasi. Kini semuanya di kamar sebelah yang luas bersama Taufiq dan Alya sambil mengawasi mereka berdua. “Sha, ada email dari Julian dan istrinya!” ujar Herdion agak keras, masih drngan posisi duduk di sofa. Bahkan menoleh Aresha pun tidak.“Apa isinya?!” Suara Aresha juga lantang. Sebab, sedang turun hujan sangat deras sedang pintu balkon terbiar dibuka. Nasib baik tidak ada angin kencang yang menyertai hujan lebat itu.“Kedua suami istri itu minta maaf dan minta
Aresha hanya bergerak menepi. Tidak ingin bereaksi dengan memgomentari. Justru bergeser membuka ruang agar pandangan mereka tanpa ada lagi penghalang dirinya.“Syahfiq, apa kabarmu… tidak menyangka melihatmu di sini,” ucap Clara. Mata itu berbinar sangat cantik. Tampak gembira melihat Herdion di kapal.“Kalian kenal?” Herdion merespon dengan menatap Aresha. Juga sekilas pada Clara. Terkesan abai akan sapa Clara yang sangat.l antusias.“Aku … kalian juga kenal?” Kali ini Clara tanggap, menatap Aresha dan Herdion bergantian.“Kenalkan, dia Aresha, istriku,” ucap Herdion cepat dan kaku. Wajah tampannya semakin tegang, tidak ada segaris pun senyum di bibirnya untuk Clara dan Aresha. Aresha terus diam dan menyimak. Masih bertanya siapa Clara bagi suaminya. Tidak ada lagi senyum cerah di wajah cantik itu. Mereka saling diam, kesan akrab seketika hilang di antara mereka.“Mammaah ….” Bocah kecil yang tadi asyik bermain dengan Alya dan Taufiq telah mendekati Clara dan memegangi lengan tanga
Herdion dengan sabar membujuk sang istri. Merasa sungguh tidak nyaman jika istri cemberut dan muram. Aresha yang biasa berbinar penuh senyum, ini jadi mendung suram seharian. “Lalu apa yang membuatmu muram seharian, Sha? Ayo, katakan …,” bujuk Herdion. Lembut membelai pipi istri dengan telapak dan jari."Sebenarnya … aku sedang ngidam," sahut Aresha sambil menunduk. Herdion merengkuh dan memeluk.Mendengar ucapan itu, Herdion justru ingin tertawa. Namun, sekuat hati ditahan, tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang bad mood di pelukan."Kamu sudah ngidam? Katakan saja padaku, apa yang sedang kamu inginkan, Sha ...," ucap Herdion lembut. Meski tidak habis pikir dengan ngidam Aresha yang dirasa sungguh dini."Aku ingin bercerita sedikit. Kata Mama Yasmin, saat kehamilan Taufiq, belio tidak bahagia, sebab papa sangat sibuk bekerja demimu dan almarhum adikmu. Mama kurang kasih sayang dan perhatian dari Papa Yunus." Aresha sejenak terdiam. Juga memeluk Herdion."Sama dengan m
Tujuh hari kemudian …Herdion meninggalkan Venus yang bermain sendiri di ranjang. Mendekati Aresha yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer di meja rias. Merasa janggal dengan sikapnya yang selalu muram pagi ini. Bahkan saat memadu kasih pagi tadi, istri cantiknya terlihat enggan menatap. Juga mengunci rapat bibirnya. Tidak segencar menyebut nama Herdion seperti di tiap padu kasih mereka biasanya."Ada apa denganmu, wajahmu tampak muram. Apa aku punya salah padamu, Sha?" tanya Herdion sambil mengancingkan kemeja di belakang kursi Aresha. Mereka bisa saling melihat di kaca.Mata bening Aresha hanya menyapu wajah menawan suami sekilas. Kembali abai dengan mengeringkan rambut di mesin."Kenapa? Jawablah ... aku tidak akan fokus buat kerja jika kamu tidak mengatakan. Apakah ingin pulang ke rumah orang tuamu? Bukankah sudah kubilang menunggu hari Minggu ... Kamu tidak sabar lagi?" Herdion membungkuk. Berbicara di samping kepala Aresha di pelipis."Kamu tidak pernah mencintaiku ..
Aresha memang sangat kecewa dan bahkan menangis. Kesal akan putusan suami yang menginginkan dirinya mencabut kasus Julian dari kepolisian.Namun, membayangkan diri lebih lama berada di tangan Julian, itu memang lebih mengerikan. Butuh bertaruh harga diri, kehormatan dan keselamatan. Mantan bajingan, si Julian, bisa saja kerasukan sewaktu-waktu dan melakukan pemaksaan. Beruntung selama ini Aresha masih selamat tanpa sedikit saja diciderakan. Bersyukur suami tercinta lekas datang menyelamatkan. “Bagaimana?” tanya Herdion sedikit lega saat merasa tangan Aresha bergerak melingkar ke punggung. Yang semula tegak kaku tidak menyambut pelukan, kini aktif membalas.“Iya, aku paham dengan keputusan yang sudah Bang Fiq ambil. Maafkan aku,” ucap Aresha yang kini kepala juga disandar ke dada sang suami. Memeluk erat punggungnya.“Jadi, minggu depan kita ke seberang lagi. Setuju?” tanya Herdion dan Aresha pun mengangguk. Herdion ingin memastikan jika Aresha bersetuju memaafkan Julian, sekadar dal
Herdion menghela napas dan menyandar di kursi. Hima siaga dengan perlengkapan tulis dan duduk di sebelah dalam kursi yang sama. Dua orang lelaki di depan mereka sedang berbincang dan serius. Mereka berempat baru saja berdiskusi hal penting bersama.“Baiklah, sebagai tanda minta maaf dan rasa malu yang kami tanggung. Kami setuju dengan segala syarat yang akan Anda ajukan minggu depan di kepolisian Singapura, Tuan Syahfiq Herdion.”“Tolong pastikan Anda benar-benar datang. Kami benar-benar khawatir jika Anda berubah pikiran. Kami tidak masalah dengan tuntutan materi pengganti kerugian secara moral dan materi akibat perbuatan anak-anak kami pada istri Anda. Berapa pun, Tuan Syahfiq …,” ucap salah satu lelaki yang Herdion baru tahu adalah ayah dari si bajingan Julian. Sedang lelaki yang duduk di sebelahnya, adalah ayah dari Hana. Mereka berdua merupakan bagian dari daftar atas orang-orang konglomerat di Pulau Batam. “Saya dan istriku akan datang setelah genap dua minggu putra Anda di tan
Syahfiq Herdion, Aresha Selim, Taufiq Herdion, Venus Herdion dan Lia, telah sampai di rumah orang tua Aresha pagi-pagi sekali dengan dibawa seorang sopir keluarga. Mereka makan pagi di sana dan berniat membawa Alya Selim keluar untuk healing bersama. Sedang orang tua tidak ikut dan memilih pergi ke store seperti biasanya.Alya yang masih mendapat pendidikan di sekolah khusus dekat store pun hari ini sedang libur sebab tanggal merah. Siti Yasmin ingin ikut tetapi Yunus Herdion yang masih belum benar-benar pulih dari sakit gerdnya keberatan. Alhasil mereka berdua tinggal di pulau bersama Tiwi yang bertugas tinggal di rumah.Alya terlihat lebih imut, lucu dan manis. Gadis remaja dua belas tahun itu telah disulap oleh Lia dengan sapuan make up natural yang ringan dan manis. Membuatnya terlihat lebih fresh dan cerah. Remaja yang pendiam tetapi suka tersenyum itu diharap bisa menarik perhatian Taufiq Herdion.“Apa ini bukan pedofil?” tanya Aresha yang tiba-tiba merasa khawatir. “Bukan, Sh
Segala urusan administrasi rumah sakit sudah diberesi. Taufiq diizinkan dibawa Herdion pulang ke tengah keluarga kembali pagi ini. Sebab bocah itu sudah tidak lagi demam dan menunjuk gelagat cukup patuh. Selain itu, selera makan Taufiq terbukti luar biasa jika bersama abangnya. Maka dokter pun tidak ragu meluluskan permintaan Herdion untuk membawa adiknya pulang.Sebelum tengah hari, mereka melaju meninggalkan gerbang rumah sakit Batu Ampar. Meluncur menuju kampung halaman tercinta di Pulau Marina. Di mana rumah keluarga berada dengan kedua orang tua yang tinggal di dalamnya. Herdion membawa empat penumpang dengan sangat bersemangat.“Bagaimana perasaanmu setelah boleh pulang, Fiq?” tanya Aresha setelah mobil jauh meluncur. Melihat gelagat Taufiq yang mulai bergerak tampak resah. Bocah cedera lebam di wajah itu duduk di muka dengan abangnya. Beberapa kali telah menoleh ke belakang tanpa maksud.Namun, Taufiq kembali hanya menoleh Aresha di belakang sekilas. Tidak bersuara untuk membe
Malam ini Suster Lia tidak menemani Taufiq dengan bermalam dan siaga di ruang perawatan seperti dua malam sebelumnya. Sang Tuan menyuruh tinggal di paviliun bersama Aresha, Lia dan Venus dengan tenang. Tidak lagi tegang menghadapi Taufiq sewaktu-waktu jika sedang naik darah. Namun, malam ini Tuan Herdion sendiri yang akan menemani adiknya.Venus telah tidur lebih awal setelah kenyang menghabiskan semangkuk nasi lembut dengan soto babat. Serta sebotol susu formula favoritnya. Kini terkapar pulas di kamar setelah dibawa Lia gosok gigi. Aresha pun keluar setelah puas memandang.“Sudah diselimuti, Sus?” tanya Aresha. Lia juga ikut menyusul keluar kamar.“Sudah, Kak,” sahut Lia mengangguk. Venus yang semula tertidur di sofa bersama Aresha sambil menonton televisi baru dipindah ke kamar oleh Lia.“Ayo kita makan. Yakin yang kubeli ini sedap gila,” ucap Tiwi. Baru saja masuk ke dalam paviliun dengan membawa kantung besar.Rupanya berisi tiga nasi kotak jumbo yang sekarang sedang dihampar Tiw