Sepulang dari restoran, William dan Ella masuk ke kamar masing-masing. Namun, baru beberapa detik William merebahkan tubuhnya ke atas ranjang, sebuah ketukan pintu terdengar. Dengan malas William berjalan ke arah pintu dan melihat siapa yang mengganggunya.
"Ada apa?" tanyanya dengan wajah datar.
"Will, apakah AC di kamarku bisa dimatikan dan diganti kipas angin saja?" tanya Ella dengan ragu.
"Di rumah ini tidak ada benda itu. Bahkan kamar pelayan di rumah ini menggunakan AC juga." William menolak permintaan Ella.
"Tapi sudah beberapa hari aku tidak tidur dengan nyenyak. Aku selalu kedinginan setiap malam dan malam ini kepalaku terasa sangat pusing karena masuk angin."
William memerhatikan wajah Ella yang agak pucat. Pantas saja selama di restoran dia diam saja dan tidak terlihat sehat.
"Baiklah, tapi besok saja aku belikan kipas anginnya. Jika kau tidak tahan dinginnya AC, kau bisa mematikannya."
"Mematikan? Tapi itu tidak mungkin. Aku pernah mematikannya dan rasanya seperti direbus. Lagipula jendela kamar tidak ada yang bisa dibuka untuk membiarkan angin masuk."
"Kalau jendela bisa dibuka, bukan hanya angin, tetapi pencuri pun akan masuk."
"Jadi bagaimana?" Ella terlihat bingung.
"Tahan saja untuk satu malam ini. Pakailah selimut hingga menutupi seluruh tubuhmu," ujar William.
"Baiklah." Ella mengangguk pasrah dan kembali ke kamarnya.
Di dalam kamar, Ella masih merasa kedinginan. Tubuhnya yang tidak pernah disentuh AC membuat daya tahan tubuhnya menurun.
"Aku tidak akan bisa tidur kalau begini. Eh, seingatku ada balkon kan? Aku tidur di balkon sajalah."
Ella mengambil selimut dan bantal lalu pergi ke balkon. Ia berbaring di kursi santai yang ada di sana. Udara segar mulai menyentuh kulitnya. Membawanya pada kenyamanan tidur yang ia rindukan. Dalam beberapa menit, Ella pun tertidur. Hingga waktu semakin malam dan udara semakin dingin tak membuatnya bangun karena sangking lelahnya.
*****
Pagi hari pun tiba. William membuka matanya dan meregangkan otot-otot tubuhnya. Kemudian, ia berjalan menuju balkon kamarnya untuk menikmati pagi yang indah itu.
Matanya menyapu seluruh pemandangan yang ada di sekitarnya hingga ia melihat sebuah pemandangan yang mengejutkan. Ella terlihat berbaring di balkon kamarnya dengan wajah pucat dan tubuh menggigil. Dengan cepat William berlari keluar kamarnya dan mencoba membuka kamar Ella dengan kunci cadangan.
"Ella, kau kenapa?" William menggoyangkan tubuh Ella yang masih terus menggigil.
"Siti!!!" panggil William.
Tak berselang lama, kepala pelayan yang bernama Siti datang. "Ada apa, Tuan?"
"Coba periksa tubuhnya!" titah William.
Siti langsung memeriksa tubuh Ella.
"Tuan, Nona Ella demam tinggi."
"Cepat panggil dokter Steven."
Siti segera menghubungi dokter Steven. Sedangkan William memindahkan Ella ke ranjang. Mata Ella masih terpejam, namun, ia terus menggigil.
Sepuluh menit kemudian, dokter Steven yang merupakan teman William sekaligus dokter pribadinya datang. Jarak rumah yang dekat memungkinkan nya datang dengan cepat.
Steven segera memeriksa kondisi Ella. Memberinya suntikan dan obat untuk di konsumsi saat sudah sadar.
"Bagaimana?" tanya William.
"Kelihatannya kau khawatir sekali," goda Steven.
"Berhentilah basa basi dan katakan bagaimana keadaannya!"
"Dia sudah baikan, demamnya juga sudah turun. Dia terlalu banyak angin-anginan. Apa dia tidur di lantai?" tanya Steven.
"Aku tidak sejahat itu. Ya sudah, pulang sana!" William mengusir Steven.
Steven keluar sambil tersenyum pada William. Namun sebelum ia pergi, ia mengatakan sesuatu. "Kau tahu, dia ini memiliki kecantikan alami. Aku bisa melihat kulit wajah tanpa kandungan zat berbahaya pada wajahnya. Kau beruntung memiliki istri yang memiliki wajah alami seperti dia. Jarang sekali ditemukan gadis dengan kulit wajah seperti itu."
"Enyahlah, dokter playboy !" William hendak melempar bantal pada Steven.
Steven langsung menghindar dan melanjutkan langkahnya. 'Ah beruntung sekali William. Seandainya kau tidak menyukainya, kau bisa melepaskannya untukku. Aku akan dengan senang hati menerimanya,' batin Steven yang terus tersenyum di tengah derap langkahnya.
*****
Ella sudah sadar. Perlahan, ia membuka mata dan langsung melihat William berada di sampingnya.
"William, kenapa kau tidak bekerja?" tanya Ella.
"Aku sudah mengundurkan jadwal meeting pagiku karena seseorang sedang sakit."
"Siapa yang sakit?"
"Siapa? Lihat dirimu." William berdecak kesal.
"Aku sakit apa?" tanya Ella.
"Yang kau rasakan saat ini memangnya apa?"
"Aku merasa sedikit pusing." Ella memegangi kepalanya.
"Apa yang kau lakukan di balkon kamarmu?" William menatap heran pada Ella.
"Aku tidak bisa tidur dengan AC. Aku pikir tidur di luar lebih baik, ternyata tidak."
"Karena itu jangan lakukan hal bodoh. Tidak bisakah kau menunggu sampai pagi ini?"
"Maafkan aku." Ella menunjukkan ekspresi sedih.
William menghela nafas panjang. "Baiklah, ya sudah aku harus pergi bekerja. Kau makanlah yang banyak dan minumlah obatmu. Aku ingin kau sudah sembuh saat aku pulang. Pengawal akan melepas AC di kamarmu dan menggantinya dengan kipas angin."
"Terima kasih, Will." Ella memberikan sedikit senyuman.
"Aku pergi." William hendak beranjak namun Ella menahan tangannya.
"Ada apa?"
"Apa boleh aku mencium punggung tanganmu?" tanya Ella ragu.
"Kenapa?"
"Itu hal yang dilakukan istri pada suaminya yang hendak berangkat bekerja," jelas Ella.
"Oh ya sudah."
William memberikan tangannya, membiarkan istrinya mencium punggung tangannya sambil berkata, "Hati-hati, ya."
"Hmmm." William mengangguk dan pergi keluar dari kamar itu.
Setibanya di kantor, Aiden sudah ada di sana.
"Ayah!"
"Kenapa kau mengundurkan jadwal meetingmu?"
"Maafkan aku, Yah. Itu karena....aku bangun kesiangan."
"Oh ya? Bukankah karena Ella sakit?"
William terkejut mendengar ucapan ayahnya. "Darimana.... Ayah tahu?"
"Tidak penting dari mana Ayah tahu. Katakan! Kenapa dia bisa sakit? Apa kau melakukan sesuatu padanya?" tanya Aiden penuh selidik.
"Tidak, Ayah. Aku tidak melakukan apa-apa. Dia hanya tidak bisa tidur dengan AC."
"Bukan karena dia tidur di balkon?"
"Apa Siti yang memberitahu ayah?"
"Siti? Ibumu datang ke rumahmu tepat saat kau berangkat bekerja. Ella mengatakan semuanya."
"Apa?"
'Astaga, aku lupa memberitahunya untuk tidak mengatakan ini pada ayah dan ibu,' batin William.
"Maafkan aku, Ayah. Aku tidak mungkin menggedor toko perabot jam sebelas malam."
"Kau bisa melakukannya. Ini baru kipas angin, bagaimana saat dia hamil dan ngidam ketoprak jam tiga pagi seperti ibumu? Pasti kau tidak akan peduli."
'Apa? Hamil? Yang benar saja,' batin William.
"Maaf, Ayah. Aku berjanji akan menjaganya lebih baik lagi."
"Bagus, itu baru anak Ayah, ayo kita mulai meetingnya." Aiden menepuk bahu William dan mengajaknya ke ruang meeting. Di sana juga ada Harry, adik kembarnya.
'Jika Ella menikah dengan Harry, aku yakin mereka akan mengalami hari yang berat. Aku juga ragu dia akan ingat jika punya istri. Astaga apa yang aku pikirkan. Dia adikku, kenapa aku malah menghina kelemahannya. Aku pun punya kelemahan yang cukup memalukan yang tidak semua orang tahu,' batin William.
Setelah mereka memasuki ruang meeting tersebut, rapat segera dimulai. Aiden memimpin rapat besar itu. Meskipun sudah berumur, Aiden masih tampan dan berwibawah. Dan tentu saja ketampanan kedua anak kembarnya menurun dari dirinya.
Sementara itu.
Di rumah William.
"Bagaimana, Sayang, apa sudah baikan?" tanya Haira pada Ella.
"Iya, Bu," sahut Ella. 'Dengan ibu menyodorkan tiga pil untuk ku telan sekaligus, aku yakin akan sembuh lebih cepat,' batinnya.
"Maafkan William ya, Sayang. Jika dia pulang nanti, ibu akan memarahinya, awas aja dia." Haira mengepal erat tangannya dan meninju telapak tangan satunya. Tampak wajahnya yang sangat kesal karena William sudah membuat menantunya tidur di balkon.
William sudah pulang dari bekerja. Namun, sepanjang jalan perasaannya tidak enak terus. Bahkan saat sampai di rumah, hatinya semakin tak karuan. Baru saja dia melangkah melewati pintu, aura seram sudah merebak di seluruh ruangan."Pasti ibu belum pulang." William bergumam. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. "Bismillahirrahmanirrahim, lindungi aku Ya Allah." Melanjutkan langkah menuju kamar Ella. Ia menapaki anak tangga dengan sekuat hati.Hingga pada saat mencapai ambang pintu kamar Ella, aura menakutkan semakin kuat. Terlihat Haira, ibunya sedang berdiri dengan menyilangkan tangan di dada serta wajah masam."Hai, Bu, kapan datang?" William mencoba berbasa basi meski hatinya kian berkecamuk."Kapan datang atau kapan pulang?" Haira semakin melotot pada William.William menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Tidak, Bu, aku senang ibu ke sini." Berjalan
Beberapa minggu telah berlalu. Hari ini adalah hari pernikahan Harry dan Selena. Akad nikah diselenggarakan di gedung Alexan Group milik ayahnya, Aiden. Dan resepsi akan diselenggarakan pada malam harinya bersamaan dengan William dan Ella.Aiden dan Haira benar-benar menjaga ketat Harry malam tadi. Mereka mengurung Harry di kamar agar ia tidak lupa lagi hari pernikahannya. Mereka juga sampai menyuruh pengawal menjaga setiap pintu rumah itu agar Harry tidak keluar.Pernikahan pun segera dimulai. Pernikahan kali ini penuh drama karena Harry harus latihan terus agar pada saat ijab qobul dilakukan, ia tidak salah menyebut nama.Hingga pada akhirnya para saksi dan tamu mengucapkan kata "SAH" sebagai pertanda bahwa pernikahan tersebut telah sah di mata agama dan hukum.Aiden dan Haira mengucapkan syukur atas lancarnya pernikahan Harry dan Selena.Pada malam harinya, resepsi pernikahan
Sesampainya di rumah, Harry dan Selena masuk ke dalam rumah besar milik Harry."Mana kamarku?" tanya Selena yang menguap tiada henti karena sangat mengantuk. Sekarang sudah jam satu dini hari ketika mereka menginjakkan kaki di lantai rumah itu.Harry menepuk dahinya."Kenapa? Apa kau lupa mempersiapkan kamar terpisah untuk kita?" Selena membelalakkan matanya. Ia sudah menduga ini akan terjadi."Iya, aku...lupa."Selena kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. "Baiklah, kita lewati saja ini. Aku ingin segera tidur. Dimana kamarmu?""Ada di lantai dua." Harry menunjuk ke atas."Baiklah, hoaaam." Selena segera melangkah menapaki anak tangga satu persatu."Tunggu, sebenarnya kau tidak perlu....""Ssssstttt, aku mengantuk." Selena melanjutkan langk
"Ada apa, Ayah?" tanya William yang penasaran."Ini hadiah untuk pernikahan kalian." Haira menyerahkan dua lembar tiket kepada William dan Ella.William dan Ella saling pandang. William bingung karena itu adalah tiket ke luar negeri. Sementara Ella bingung itu tiket untuk apa."Ayah dan Ibu tidak perlu repot-repot mempersiapkan ini semua.""Ya sudah, ambil. Agar kerepotan kami tidak sia-sia." Haira meletakkan tiket ke tangan William."Besok kalian akan berangkat ke Paris untuk berbulan madu. Persiapkan semua keperluan kalian mulai dari sekarang," ujar Haira."Ba-baik, Bu." William mengangguk pasrah."Besok jangan terlambat. Ibu juga akan meminta Selena untuk mengingatkan Harry agar besok ia tidak lupa.""Apa? Jadi mereka akan pergi bersama kami?" William membelalakkan matanya."Kenapa? Apa kau Keb
William kembali ke kamar hotelnya untuk menemui Ella. Sebelum ia pergi, ia sempat melihat bahwa benda yang seperti kepala berambut hitam yang terombang-ambing di tengah laut adalah sebuah wig entah punya siapa.William telah sampai ke kamar hotel. Ia melihat Ella sedang duduk di sebuah kursi sambil menatap keluar jendela."Ella.""Mandilah, Will, air laut tidak bagus berada lama-lama di tubuhmu." Ella tidak menoleh. Ia masih terus menatap hamparan ombak di lautan."Ella, aku...""Nanti kau bisa sakit jika tidak mengeringkan tubuhmu." Masih tidak menoleh."Aku ingin....""Aku sudah memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu. Mandilah, sebentar lagi dia akan datang." Kali ini Ella menoleh sambil tersenyum.William pergi ke kamar mandi. Ia terus memikirkan reaksi yang diberikan Ella. Senyuman barusan itu bukanlah senyuma
Selena dan Ella tengah asyik memakan hidangan makan malam di restoran hotel. Sesekali Selena terlihat menggerutu tentang kejadian yang baru saja mereka alami. "Memangnya mereka pikir mereka siapa? Seenaknya saja memanfaatkan tampang kembar mereka.""Kenapa kau kesal sekali?" tanya Ella."Bagaimana aku tidak kesal. Tadi itu aku berdansa dengan William dan rasanya sangat tidak nyaman." Selena memotong daging steak dengan kasar hingga menimbulkan suara. Menumpahkan semua rasa kesalnya pada makanan lezat itu."Apa kau menyukai William?" Ella menunggu reaksi di wajah Selena."Awalnya. Aku kira bersama dengan orang yang sama diamnya seperti aku akan membuat hidupku lebih nyaman. Ternyata membosankan. Baru beberapa menit aku berbincang dengannya rasanya sangat tidak nyaman." Selena mengaduk minumannya lalu menikmatinya dengan sedotan."Tapi William masih menyukaimu."
William dan Ella sudah sampai di kamar mereka. Secepat mungkin William menurunkan Ella karena rasanya tangannya hampir patah."Will, apa kau yakin baik-baik saja?" tanya Ella yang melihat William mengibas-ngibaskan kedua tangannya berkali-kali."Tidak, aku hanya ingin meregangkan ototku saja. Ayo makan bersama, aku sangat lapar." William membuka paper bag lalu menatanya di atas meja dengan piring-piring yang tersedia di dalam kamar itu.Ella masih terngiang-ngiang daging steak dua juta yang belum habis tadi. Ia duduk dengan lesu dan memakan makanannya."Apa tidak enak?" tanya William yang heran melihat reaksi Ella."Enak, tapi aku menyayangkan sisa steak tadi. Harusnya kita bungkus saja." Ella memainkan sendok di atas piringnya."Ketahuilah, Ella, sekarang steak itu sudah ada di tempat sampah atau di perut seseorang. Menyesal pun tidak berguna. Steak sudah pe
Keesokan paginya, Ella yang baru saja bangun dari tidur terkejut kala merasakan ada sesuatu yang berat tengah menekan perutnya. Samar-samar ia melihat dan ternyata itu adalah tangan William. Mata Ella terbelalak. Bukan hanya karena William tengah memeluknya, namun juga karena melihat tubuh bagian atas William polos tanpa baju. Bentuk tubuh atletisnya berhasil membuat Ella tertegun. Sepertinya, karena kepanasan, ia membuka bajunya dan karena tidak nyaman di sofa, ia tidur di ranjang bersama Ella.Ella berusaha menggeser tangan William dari tubuhnya. Itu bukanlah hal sulit baginya karena pada dasarnya tenaganya memang lumayan kuat. Itulah kenapa kemarin gebrakan tangannya di restoran membuat meja restoran itu bergetar.Jika saja William sudah membuka mata, mungkin saat ini Ella akan berpura-pura menjadi wanita lemah.Ella berjalan ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Setelah itu, ia bersantai di balkon kamar hotel ters
William, Ella, Jane, dan Haira sedang makan malam bersama."Ella, ingat, ya. Saat melahirkan normal, pengaturan nafas sangat penting. Dan kau juga tidak melahirkan hanya satu bayi, melainkan dua bayi. Dulu ibu memilih operasi caesar karena tidak memungkinkan melahirkan secara normal. Jika kau ingin merubah pikiranmu, masih sempat. Kita ke rumah sakit sekarang dan melakukan operasi." Haira menjelaskan panjang lebar."Benar, Nak. Jarang ada yang melahirkan bayi kembar dengan normal. Satu bayi saja rasanya sangat sakit, apalagi dua. Dan juga, kalau kau pingsan atau tak sadarkan diri setelah melahirkan anak pertama, maka itu akan membahayakan keselamatanmu. Ibu juga dulu operasi caesar saat melahirkan kau dan Selena." Jane menambahkan."Ibu, sudahlah. Aku selalu mendengar ini setiap hari. Dan keputusanku tetap sama, aku ingin melahirkan normal." Ella menengahi ceramah kedua ibunya.Sedangkan William hany
Beberapa bulan telah berlalu. Ella dan William tengah menanti kehadiran buah hati mereka. William bahkan sudah mengambil cuti untuk menjadi suami siaga jika Ella sewaktu-waktu mengalami kontraksi. Memang, Ella ingin agar kelahiran anaknya dilakukan secara normal.Namun, semakin mendekati kelahiran anak mereka, William bertambah pusing karena ibu dan mertuanya tinggal di rumahnya."Bu, aku tau kalian ingin menjaga Ella. Tetapi tidak perlu satu kamar dengan kami, kan," ucap William kepada Haira dan Jane yang merupakan ibu dan mertuanya.Kini mereka sedang berada di kamar William dan Ella."Memangnya kenapa? Kami kan ingin menjaga Ella. Ella itu anak kami," ucap Jane."Tapi tidak begini konsepnya. Aku dan Ella kan butuh privasi.""Privasi apa? Agar bisa berduaan? Bermesraan?" cibir Haira."Astaga, ibu bukan itu. Ada kalanya aku ingin m
Dua minggu kemudian, William dan Ella baru saja pulang dari rumah orang tua Ella. Mereka piknik bersama di taman belakang rumah orang tua mereka."Aku senang sekali hari ini." William berseru saat memasuki rumahnya."Kenapa kau sangat gembira sekali? Apa karena Kak Alex hanya datang sebentar?" Ella menatap penuh selidik."Tentu saja, tanpa adanya si berengsek itu, aku bisa leluasa melakukan apa yang aku ingin tanpa perlu waspada terhadapnya.""Itu kan karena dia tiba-tiba mendapat tugas penting. Ada pembunuhan yang sulit diungkap detektif kepolisian.""Memangnya sampai kapan dia akan menjadi detektif dadakan?""Tidak ada batas. Dia akan menjadi detektif kasus tersulit seumur hidupnya. Itulah kesepakatannya. Lagi pula, dia selalu dengan mudah memecahkan masalah.""Bagaimana denganmu? Kau juga mempunyai otak cerdas dan bisa memecahkan beber
"Bisa-bisanya kau bersekongkol dengan ibu dan Harry, Ella!" gerutu William saat berjalan memasuki rumah mereka. Mereka baru saja sampai rumah setelah acara piknik di taman tadi selesai."Aku tidak bersekongkol." Ella membela diri."Apa kau kira aku tuli? Jelas sekali aku mendengar ucapan Harry saat aku dan Alex mengejarnya."William mengingat kembali saat ia dan Alex mengejar Harry."Ibu, tolong akuuuu!""Kemari kau, adik laknat!" William mempercepat larinya hingga akhirnya ia berhasil mendapatkan Harry.Harry jatuh tersungkur. Bukannya memukul, William malah ikut tergeletak di atas rerumputan tepat di samping Harry. Sedangkan Alex memilih duduk di samping mereka dan mengatur nafas.Jelas saja, mereka berkejar-kejaran selama setengah jam. Untung saja taman yang sepi tidak membuat mereka terlihat seperti orang gila."N
Setahun telah berlalu. Kini, Selena telah melahirkan seorang bayi perempuan lucu yang diberi nama Hazel Alexander. Sedangkan Ella tengah mengandung anaknya dan William.Hari ini, mereka baru pulang dari berziarah dan memutuskan untuk piknik bersama di sebuah taman."Lihatlah Hazel, dia cantik sekali, ya," puji Ella."Anak siapa dulu?" Harry membanggakan diri."Apa kalian memang suka bersenang-senang tanpa aku?" Alex datang sambil menggandeng tangan Anisa istrinya yang kini sudah memberikannya seorang anak yang usianya hampir sama dengan anak Harry dan Selena. Anak laki-lakinya itu diberi naman Jimmy Wilson."Kau saja yang dayang terlambat." Ella mencibir."Jangan kebanyakan mencibir, nanti anakmu bisa tampan seperti aku.""Enak saja, dia akan tampan seperti aku." William tak mau kalah."Dasar calon ayah amatir."
"Alex." Ella tersenyum melihat kedatangan Alex yang tiba-tiba itu."Bereskan wanita ini!" perintah Alex kepada anak buahnya."Alex, jangan! Jangan bunuh dia. Jangan terjerat lebih dalam lagi," cegah Ella."Siapa juga yang mau mengotori tangan dengan membunuhnya. Dia harus merasakan dulu penderitaan dibalik jeruji baru boleh mati.""Kau! Dimana anak buahku?" tanya Margareth sambil memegangi lengannya yang berdarah karena tembakan Alex barusan."Anak buah? Maksudmu para pengecut itu? Mereka sudah lari saat melihat aku datang. Kau bilang itu anak buah." Alex menggelengkan kepalanya.Memang, saat kedatangan Alex tadi. Semua anak buah Margareth langsung ciut. Mereka lansung pucat dan ketakutan. Bahkan saat Alex melangkah mendekat, mereka langsung lari kocar kacir."Kau! Siapa kau sebenarnya?""Aku adalah Alex Julian. Jika
Beberapa hari kemudian.Akhirnya Feri sadar."Paman, bagaimana keadaan Paman?" tanya Ella."Dimana aku?" Feri seperti orang kebingungan."Paman ada di rumah sakit. Beberapa hari yang lalu, Paman mencoba untuk...bunuh diri." Ella sedikit ragu mengatakan.Feri mencoba mengingatnya. "Paman baru ingat. Tapi Paman bukan bunuh diri. Paman tergores pisau kecil yang terdapat di dalam baju yang terletak di pergelangan tangan Paman. Karena Tarikan tangan William dan Paman yang berlari, pisau itu menggores urat nadi Paman hingga saat berada di kamar, Paman baru melihat banyak sekali darah. Saat Paman buka, Paman syok melihat darah yang mengalir deras. Karena itu Paman tidak bisa membuka pintu.""Apa? Bagaimana bisa?" William terlihat heran."Bisa. Itu yang aku katakan soal kejanggalan. Tangannya berdarah dengan sayatan yang acak-acakan. Jika itu bunuh diri, maka
Sesampainya di rumah, William dan Ella langsung menuju kamar. Ella masih tetap diam. Ia berjalan menapaki anak tangga dengan tatapan kosong. Ia masih sangat kecewa dengan perlakuan Alex padanya."Ella, istirahatlah." William menepuk bahu Ella yang sedang berdiri di ambang pintu.Ella mengangguk dan tersenyum. Ia memasuki kamar. Namun, ia tak langsung menuju ranjang. Ia pergi ke balkon dan menatap langit yang bertabur banyak bintang.William datang lalu memeluk nya dari belakang. "Menangislah lagi jika masih kurang," bisiknya.Ella berbalik dan memeluk William. Ia menumpahkan segala kekecewaannya lagi, malam ini.William membelai rambut Ella yang sudah tidak dipasangi rambut sambung lagi.Setelah agak tenang, "Masuklah ke dalam. Nanti kau bisa sakit.""Iya, lagipula besok kita harus menangkap Paman Feri, kan?""Sebaikn
"Luar biasa!" Terdengar suara Alex dari dalam speaker."Sekarang lewatilah tantangan berikutnya. Jika kalian gagal, maka....""Yayaya kami tahu, kami akan mati, bukan?" tanya William dengan wajah malas."Apa kau tidak sabar ingin mati?""Ya, setelah itu aku akan gentayangan dan mengganggu hidupmu." William menunjuk CCTV yang berada tak jauh darinya."Hentikan, Sayang." Ella menyela William. "Apa tantangan berikutnya?" Ella menatap serius ke arah CCTV."Sebelum kalian lanjut, aku ingin bertanya apa sebenarnya tujuanmu datang kesini? Kau sama sekali tidak takut dan kau sangat pintar.""William sudah mengatakan padamu, kan?" Ella mengingatkan."Hahahaha, kau kira aku percaya?""Kalau tidak percaya, jangan mengulur waktu. Berikan tantangan yang lain.""Kau benar-benar berani