Kalender di atas nakas telah Shania tandai. Ia lingkari tanggal di mana rencananya ia akan pergi meninggalkan rumah yang ia tempati sekarang. Meninggalkan Alex dan menyudahi rumah tangganya dengan lelaki yang sangat ia cintai itu. 'Satu bulan dari sekarang. Setelah tanggung jawabku selesai, aku harus pergi dari sini. Menyudahi pernikahanku dengan Alex yang memang sejak awal tidak ditakdirkan bersama.'Pagi itu Shania bertemu dengan Alex di meja makan, tapi sang suami tidak memintanya untuk membuat sarapan. Alex yang acuh melihat Shania, mengambil sepotong roti saat istrinya itu lewat dan berjalan menuju dapur. "Kau masih di sini?" tanya Alex tiba-tiba. Terdengar nada menyindir yang begitu kentara. "Apa kamu mengusirku sekarang?"Alex melirik ke arah Shania dan tersenyum sinis. "Aku tidak pernah mengusirmu. Hanya saja beberapa hari kemarin kau tidak pulang ke rumah, aku pikir kau sudah benar-benar pergi."Beberapa hari Shania memang menginap di rumah Rachel. Demi menstabilkan kondis
Kekhawatiran yang Ethan tunjukkan, bisa Shania baca. Untuk itulah Shania berusaha bersikap santai dan mengangguk setuju ketika lelaki di depannya itu mengajak pergi ke kantor Alex. "Jam berapa kita berangkat?" tanya Shania tersenyum. "Eh, kira-kira sepuluh menit lagi. Masih ada beberapa data yang harus aku selesaikan." Ethan menatap wajah santai Shania dan itu membuatnya sedikit lebih tenang. 'Apa benar bukan Alex? Tapi, aku tidak mungkin salah. Interaksi keduanya terlihat lain setiap aku lihat,' batin Ethan masih menganggap bahwa suami Shania adalah pengusaha muda tersebut. "Baiklah. Kabari aku kalau sudah mau berangkat." Shania tersenyum menjawab. Ethan mengangguk, "Ya."Setelah itu Ethan masuk ke ruangannya, sedangkan Shania mulai memeriksa pekerjaannya yang sudah seminggu ini ia tinggalkan. "Sepuluh menit, setidaknya ada beberapa hal yang bisa aku selesaikan sebelum pergi.""Semangat, Shania?" teriak perempuan itu sembari mengangkat satu tangannya ke udara. Fiersa yang dudu
Alex mungkin bisa tidak peduli dengan keberadaan Shania, begitu pun sebaliknya. Shania terlihat cuek dan santai ketika harus kembali berhadapan dengan suaminya yang pagi tadi telah berhasil membuatnya menangis. Ketika keduanya bersalaman, bahkan Alex melepaskan jabatan tangan mereka dengan cepat. Darren, asisten Alex, hanya bisa melongo melihat interaksi bos dan istri bosnya itu. Namun, lain dengan Ethan yang justru melihat situasi di depannya itu aneh. Tampak lain dan berbeda. Terlebih ketika keberadaan Maura yang kembali hadir di tengah-tengah meeting mereka siang itu, yang sempat membuatnya heran kalau saja Alex tidak memberi tahu ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh tim Maura. "Sebagai salah satu pemenang proyek, sama seperti kalian," Maura mulai berbicara setelah sebelumnya Alex menyampaikan salam, sapa dan pembukaan. "Saya hanya sedikit mau mengoreksi beberapa coretan desain dari tim kalian yang sudah tim teknisi mulai aplikasikan."Gaya Maura sudah seperti pemilik proyek
"Rupanya sudah ada penggantiku? Cepat sekali berpindah ke lain hati." Suara sinis dari Alex tiba-tiba Shania dengar saat ia sedang membaca buku di taman belakang rumah. Shania menoleh, menatap wajah Alex yang kesal. "Apa maksudmu?" tanyanya tak mengerti apa yang suaminya katakan. Alex berdiri di ambang pintu yang menghubungkan dapur bersih dengan area taman. Penampilannya masih sama seperti saat Shania bertemu dengan lelaki itu di kantor siang tadi. Jas hitam yang membalut kemeja biru muda, dengan aroma parfum yang Shania tahu bukan milik Alex. 'Tentu saja parfum milik wanita itu. Secara mereka berinteraksi sangat dekat. Tidak mungkin kalau tetesan parfumnya tidak menempel padanya.' Shania membatin dalam hati. Mau kesal, tapi itu sudah hal yang sangat biasa semenjak ia tahu jika kekasih suaminya itu telah kembali. "Jadi, kamu berkoar-koar ingin menyudahi pernikahan ini karena lelaki itu?"Shania menautkan kedua alisnya. "Berkoar-koar? Lelaki?""Ya. Kamu sejak awal ingin menyudahi
Kamar tamu mendadak terasa mencekam bagi Shania saat melihat seringai di bibir Alex. Ia yang sempat terbaring, mencoba bangun demi melihat gerakan lelaki di depannya itu. "Jangan macam-macam, Lex!" seru Shania khawatir akan aksi Alex yang akan menyakitinya. "Tidak ada yang akan macam-macam. Apa yang akan aku lakukan, memang seharusnya aku lakukan. Sebagai seorang suami, aku berhak melakukannya padamu."Kalimat Alex semakin menjurus. Terlebih saat ikat pinggang dengan brand ternama yang dikenakan di celananya, dilepaskan dan dilemparkan begitu saja ke sembarang arah. "Mungkin aku harus meminta maaf karena sudah membiarkan kamu hingga akhirnya berlaku kurang ajar, yakni menjalin hubungan dengan lelaki lain yang tidak sepantasnya kamu lakukan." Alex mulai berorasi. "Mungkin aku akan merutinkan kegiatan kita sebagai pasangan suami istri, supaya kamu tidak berlaku sembarangan lagi seperti sebelumnya," lanjutnya membuat Shania dilanda ngeri. Shania menggeleng, takut. "Tidak perlu. Kita
Sore itu Ethan pergi mengunjungi kedua orang tuanya. Sudah sebulan terakhir ia tidak datang berkunjung sebab pekerjaan yang begitu menyita waktunya sampai-sampai untuk bersalam sapa dengan orang-orang tersayangnya itu ia tidak mampu. Seorang gadis berusia remaja adalah sosok yang membukakan pintu untuknya. Tampak cantik dengan seragam SMA-nya dengan rambut panjang dikuncir kuda. "Wah, ada angin apa nih datang ke sini?" tanya remaja itu yang tak lain adalah Bella, adik Ethan. Ethan tidak menjawab, ia hanya mengucek rambut adiknya sebagai respon atas sindiran yang dilontarkan. "Ih! Berantakan tahu, Kak!" seru Bella kesal. Tak suka rambutnya yang baru saja dirapikan, harus kembali acak-acakan sebab ulah jahil kakaknya tersebut. "Ayah udah pulang?" tanya Ethan yang mendapat anggukan dari sang adik. "Baru atau dari tadi?" tanya Ethan lagi. Namun, bukannya mendapat jawaban, Ethan malah mendapat tatapan sinis dari Bella melalui ekor matanya. "Sebulan enggak ke sini, jangan sampai lupa
Alex masuk ke sebuah klub malam di mana Maura mengajaknya bertemu. Di sebuah bangku yang posisinya sedikit ke pojok, Maura duduk bersama sepasang kekasih yang sedang memadu cinta. Pemandangan tersebut membuat Alex memalingkan mukanya jengah. "Alex! Di sini?" seru Maura tersenyum sembari melambaikan tangannya. Alex berjalan pelan menuju sang kekasih. Beberapa meja yang ia lewati juga menunjukkan pemandangan yang sama di mana para pasangan tua atau pun muda yang beraksi tak mengenal malu. Mereka berciuman dengan tangan yang tidak tinggal diam diiringi musik dari disc jockey yang memainkan lagu di atas stage. "Hai, Lex! Apa kabar?" sapa seorang pria yang duduk di dekat Maura, yang saat itu sedang memangku kekasihnya dalam posisi yang sangat intim. "Hem, baik." Alex menjawab pertanyaan yang kawan Maura lontarkan. Sikapnya terlihat malas dan tak semangat. "Lama banget, Lex. Lagi pacaran, ya, sama istri kamu?" tanya Maura terdengar meledek. Tawa tersungging di bibirnya. Bahkan pasangan
Shania berjalan masuk ke kamarnya dalam kondisi rumah yang sudah gelap. Pelayan sudah mematikan lampu meski jam baru menunjukkan angka sembilan malam. Alhasil, ia harus berjalan dari ruang depan sampai naik tangga menuju kamarnya di lantai dua. Setibanya di kamar, Shania tidak langsung menyalakan lampu kamar. Ia hanya menekan lampu tidur yang ada di atas nakas. "Dari mana kamu?" Tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki saat Shania hendak melepas pakaiannya. "A-Alex!" seru Shania, yang mengenal suara suaminya itu. Ia begitu terkejut karena lelaki itu ada di kamarnya. Sontak ia kembali mengenakan pakaiannya kembali. "Sedang apa kamu di sini?" tanya Shania kemudian menyalakan lampu kamar. Sosok lelaki yang begitu ia cintai itu tengah duduk di pojok ruangan, menatap tajam padanya di atas sofa tunggal berwarna silver yang kerap Shania duduki bila sedang santai membaca buku. Alex, dalam balutan piyama berwarna biru dongker, menatap Shania. Kaki yang disilangkan, saling menopang satu d
Alex terjebak. Pertanyaan yang ia ajukan kepada Shania, dibalas dengan pertanyaan tentang kemunculannya ke kediaman Tita bersama sang kekasih. "Kami memang belum memutuskan untuk berpisah waktu itu. Meski aku sudah tidak pernah pergi atau bersama-sama dengannya lagi, hubungan kami belum berubah.""Tapi, apakah menurutmu itu pantas, Lex? Ya, meskipun aku tidak peduli juga." Shania menjawab cuek. "Kamu peduli," sahut Alex mendadak senang. "Tidak." Shania menggeleng, tertawa sinis. "Aku hanya merasa lucu. Entah apa yang kamu pikirkan waktu itu. Pergi mencari aku, tapi bersama wanita lain. Apakah tujuanmu sebenarnya, mau meminta maaf atau mau memaksa aku pulang?"Alex bukan tidak menyadari itu. Tapi, saat itu ia benar-benar dalam situasi yang serba salah. Ia telah mengakui kesalahannya terhadap Shania, tapi ia tidak bisa langsung memutuskan hubunganya dengan Maura tanpa ada alasan yang jelas. "Aku sadar, mau sampai kapan pun kamu dan Maura memang tidak bisa berpisah.""Aku sudah tidak
Shania akhirnya bisa kembali ke rumah. Rumah yang sudah hampir setahun tidak ia tinggali, kini bak istana megah yang begitu ia rindukan. Aromanya yang khas, mampu membuatnya terpukau hingga tanpa sadar air matanya menggenang di pelupuk mata. Baru ruang tamu dan keluarga yang Shania jelajahi, tapi ia seolah tak mampu lagi berjalan sebab keharuan yang dalam dadanya rasakan. Hampir sesak sebab penyesalan yang dirinya rasakan setelah pernikahan yang terjadi bersama Alex. Nina melihat keharuan pada wajah putrinya itu. Bayi yang tampak nyaman dalam gendongannya, ia berikan pada Lian untuk diambil alih. "Ibu dan ayah senang akhirnya kamu bisa kembali lagi ke rumah ini," ucap Nina setelah menghampiri anak perempuannya itu seraya memeluk bahu yang tampak bergetar. "Maafin aku ya, Bu?" Shania menatap sang ibu dalam raut wajah penuh penyesalan. "Tidak ada yang salah di sini, tidak ada juga yang harus Ibu dan ayah maafkan."Keduanya kemudian saling berpelukan. Jauh di belakang mereka, berdir
Sudah tiga hari sejak Shania dirawat, sejak itu juga ia ditemani oleh Hanum atau Nina secara bergantian. Lian dan Jimmy juga datang, tapi keduanya hanya datang di saat jam makan siang atau pulang kantor. Dua kakek itu seolah tak mau kehilangan satu hari pun demi melihat perkembangan harian si kecil.Lantas, kemana Alex yang katanya akan mengubah sikapnya demi mempertahankan biduk rumah tangganya dengan Shania? Apakah Alex berdusta sebab tak bisa melupakan sosok Maura di dalam pikiran dan jiwanya? Jawabannya tidak. Ternyata sosok lelaki itu juga setia berada di ruang perawatan VVIP di rumah sakit milik kerabat keluarga Sebastian tersebut. Alex —meski keberadaannya tak dianggap, tak pernah pulang ke rumahnya dan tetap menjaga serta menemani Shania juga bayinya. Sejak Shania melahirkan, Alex tidur, makan, dan melakukan semua kegiatannya di ruangan tersebut. Ia hanya akan pergi saat bekerja. Setelahnya ia akan kembali mengunjungi sang istri dan putranya. Namun, apakah Shania setuju? Ap
"Aku yang tidak akan izinkan!" Suara bariton terdengar menggema di ruang tempat Shania dirawat. Sosok lelaki paruh baya dengan wajah sedikit bule berdiri di ambang pintu menahan amarah.Bukan hanya Alex saja yang kaget dengan kemunculan lelaki tersebut di tengah-tengah mereka. Tapi, semua orang terutama Jimmy Sebastian yang tak lain adalah mertua Shania, papanya Alex, juga merasakan perasaan yang sama. "Ayah," lirih Shania berkata. Lian Harrison. Lelaki yang tak lain adalah ayah Shania, muncul tepat di saat semua orang tengah membahas mengenai hubungan Shania dan Alex selanjutnya. Pengusaha bertubuh tegap itu berjalan menghampiri sang putri untuk kemudian memeluknya. "Selamat, Sayang. Terima kasih karena kamu sudah berjuang untuk cucu Ayah.""Terima kasih juga, Yah. Karena Ayah mau berjuang menahan emosi Ayah untuk tidak menemui Alex selama ini."Ketika nama Alex disebut, lelaki itu terhenyak kaget. Ia yang sejak tadi menunduk, tampak mendongak dan mencoba menatap sang ayah mertu
Jimmy terperangah kaget, tak percaya dengan apa yang besannya katakan barusan. "Jadi, Lian sudah tahu?" Jimmy menatap Nina dengan ekspresi panik. Terlihat sekali berbeda dari saat ia datang. "Tentu saja. Sejak Hanum memberi tahu saya tentang Shania dan segala masalahnya, saya langsung memberi tahu suami saya. Tidak ada yang saya tutupi darinya. Saya ceritakan semuanya."Jimmy tampak syok. Sejenak ia menatap Hanum yang menunduk. "Beruntunglah Anda, Pak Jimmy. Karena Shania menahan papanya untuk tidak menyambangi Anda. Padahal ia sudah bersiap dengan segala kemarahannya untuk menemui Alex, putra kesayangan Anda itu." Sekarang Nina yang marah. Wajahnya tak bisa menutupi betapa perihnya ia demi mengetahui masalah rumah tangga yang menimpa anak semata wayangnya. Sebagai seorang ibu, ia tentunya akan mendukung apapun keputusan sang putri, termasuk memintanya untuk tidak 'membunuh' Alex meski hal itu akan sangat mungkin keduanya lakukan. "Andai saya tahu masalah yang menimpa Shania, say
Ruangan dengan dominan warna putih yang menjadi pemandangan Shania saat ini, tampak sibuk dengan orang yang berlalu lalang. Mereka sibuk dengan tugas masing-masing saat mengetahui menantu dari pengusaha kaya Jimmy Sebastian itu akan melahirkan. Ya, setelah usia kandungannya menginjak bulan ke tiga puluh sembilan, kontraksi yang Shania tunggu akhirnya datang. Sejak subuh ia sudah merasakan perutnya melilit. Minim pengalaman, Shania sangat bersyukur ketika Hanum dan ibunya setia menemani. Kedua wanita hebat itu membersamai Shania dari pembukaan pertama sampai pembukaan sembilan, di mana saat ini para dokter yang dipilih oleh Hanum mulai bersiap membantu persalinan. Sebagian dari mereka mungkin khawatir akan keselematan Shania dan calon bayi yang akan segera hadir itu. Tapi, sebagai petugas medis yang berpengalaman, karir mereka rela dipertaruhkan demi sebuah gengsi karena bisa membantu kelahiran sang calon pewaris dua keluarga konglomerat itu. Shania masih menggenggam tangan sang ibu
Sepanjang hari libur, Alex memang hanya berdiam diri di rumah. Tak ada kencan apalagi berlibur bersama Maura seperti yang sebelumnya ia lakukan. Waktu Alex hanya diisi dengan bekerja dan bekerja. Hari liburnya ia isi dengan tidur dan bersantai di rumah.Hal itu sudah ia lakukan sejak sebulan kepergian Shania dari kehidupannya hingga kini sudah setengah tahun lamanya. Pertemuannya dengan sang mama beberapa waktu lalu, telah mengubah sebagian prinsip dan hidup seorang Alex. Kini ia jauh lebih sehat, baik dari segi fisik ataupun mental. Jimmy dan Hanum tentu senang dengan perubahan yang terjadi pada sang putra. Karena beberapa bulan lamanya dua orang tua itu harus berjuang membantu memulihkan kondisi mental Alex yang tiba-tiba drop. Entah apa yang membuat sang putra demikian, sebab tak ada kata atau penjelasan yang terlontar selain perkataan dokter yang mengatakan jika mental Alex terganggu.Jimmy bahkan menyerah dan hampir membawa Alex ke rumah sakit jiwa. Tapi, tidak dengan Hanum. Tak
Maura menatap kesal pada sosok Alex yang sejak tadi mengabaikannya dan hanya terpaku pada ponsel di tangannya. "Lex? Apa kamu tidak mendengarku?" tanya wanita itu masih dengan nada setenang mungkin. Padahal hatinya sudah sangat kesal sebab sikap Alex yang semakin hari menyebalkan. Tapi, tetap saja Alex tak bereaksi. Sudah lebih dari setengah tahun sejak Alex memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama Maura, lelaki itu memilih untuk tinggal sendirian di rumahnya. Meski status mereka masih pacaran, tapi Alex sudah tidak terlalu mempedulikannya. Maura curiga kalau Alex tengah mencari keberadaan Shania. Wanita yang masih berstatus istri, tapi pergi karena hubungan perselingkuhan mereka. "Lex, lusa aku ada kerjaan ke luar negeri. Kamu mau ikut enggak?" tanya Maura kembali menanyakan hal yang sama.Lagi-lagi Alex diam dengan pandangannya yang melihat layar ponsel di tangannya. "Lex!" Kali ini Maura menaikkan volumenya. Ia sepertinya sudah tak tahan dengan sikap Alex yang tak lagi perh
Shania terlihat santai saat menikmati sarapan pagi ditemani kecipak ikan dalam kolam. Duduk di balkon taman yang berhadapan dengan kolam ikan, sungguh suasana syahdu dengan udara pagi yang sangat sejuk, yang membuat jiwa dan pikiran Shania sehat. Kehamilan Shania sekarang yang sudah besar, sudah tidak lagi membuatnya mabuk. Tapi, membawa bayi di dalam perut, berjalan ke sana ke sini dengan perut besar, sungguh menjadi pekerjaan baru baginya. Meskipun begitu, Shania melakukannya dengan perasaan bahagia. Kesehatannya yang jauh lebih baik itu, tentu saja tak lepas karena campur tangan seseorang. Saat Shania selesai dengan roti dan makanan pendamping lainnya, indra pendengarannya menangkap suara mesin mobil masuk ke area garasi. Tak berapa lama, sosok wanita yang selama ini selalu ada membersamainya, muncul dengan wajah yang ceria dan bahagia. "Hai, Sayang. Sudah sarapan?" Hanum, mamanya Alex mencium dan memeluk sang menantu. "Sudah, Mah. Baru saja." Shania tersenyum saat membalas p