Pagi-pagi sekali Andin bangun, ia menoleh ke tempat tidur anaknya tapi Bara tidak ada di sana. "Bara ke mana?"
Andin pun turun dari tempat tidurnya, berjalan mendekati ranjang pasien, lalu menoleh ke kamar mandi, melihat sang pengawal sedang berdiri di depan pintu kamar mandi.
"Selamat pagi, Nyonya," sapa pengawal itu sembari menunduk hormat saat istri tuannya berjalan mendekati.
"Apa Bara ada di dalam?" tanya Andin sembari menunjuk kamar mandi.
"Iya, Nyonya. Tuan muda merasa mual dan minta secepatnya diantar ke kamar mandi."
"Mual," gumam Andin. 'Apa dugaanku benar, kalau Anisa sedang hamil? Atau ... jangan-jangan wanita lain yang dihamili Bara. Apa ada dua wanita yang hamil karena ulahnya?'
Andin bertanya pada dirinya sendiri di dalam hati. Tatapannya kosong, memikirkan masa depan anak dan cucunya kelak jika dugaannya benar terjadi.
Seketika kepalanya merasa sangat sakit memikirkan kelakuan anaknya. Wanita itu memegangi kepala
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Bara sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah membaik dan tidak ada penyakit yang serius.Andin sangat bersyukur anaknya bisa cepat pulih. Ia sangat cemas dengan keadaan putranya.Sebelumnya Bara jarang sekali sakit, hingga Andin begitu khawatir ketika anaknya masuk rumah sakit."Apa kamu masih mual?" Andin memperhatikan anaknya yang sejak tadi duduk di pinggiran tempat tidur setelah keluar dari kamar mandi."Bara menggeleng pelan. "Nggak, Mom.""Kamu bisa jalan sendiri? Nggak mau pakai kursi roda?"Andin masih mengkhawatirkan kondisi anaknya yang selalu kambuh di pagi hari."Mom, aku sudah sehat. Aku kuat jalan sendiri, ngapain pakai kursi roda."Bara menolak untuk memakai kursi roda karena kondisinya memang sudah baik-baik saja.Sedangkan sang mommy masih merasa khawatir dengan keadaan anaknya sebab sejak keluar dari kamar mandi wajah Ba
“Kamu bawa apaan?” tanya Andin kepada anaknya yang baru saja pulang dari rumah Anisa sambil menenteng paperbag berwarna coklat.“Baju Anisa,” jawab Bara dengan santainya sambil melenggang menuju kamarnya meninggalkan sang mommy yang masih terbengong.Andin membalikkan badannya menghadap Bara yang berjalan menjauhinya. “Baju Anisa? Buat apaan?” Gumam Andin sembari menatap punggung anaknya yang sedang menapaki anak tangga menuju lantai dua. “Jangan-jangan!”Andin segera menyusul anaknya menuju lantai dua. “Ya ampun kenapa dia sampai punya pikiran seperti itu.”Andin berpikir kalau anaknya akan menggunakan cara yang jahat untuk mendapatkan Anisa kembali.Melihat istrinya berjalan terburu-buru, membuat Haidar khawatir terjadi sesuatu terhadap putranya yang baru pulang dari rumah sakit.Ia berjalan cepat menghampiri istrinya sembari berteriak, "Bee, kamu mau ke mana?”
Pagi-pagi sekali Bara sudah membuka mata, ia segera turun dari ranjang, lalu berlari ke kamar mandi.Bara berusaha mengeluarkan isi perutnya. Namun, karena belum terisi apa-apa membuat ia tersiksa saat berusaha memuntahkannya. Rasa mual dan pusing tidak bisa ia hindari di kala pagi.Bara berjalan sempoyongan setelah keluar dari kamar mandi. Ia cepat-cepat naik ke tempat tidur, dan membaringkan tubuhnya di sana."Kenapa selalu kambuh di pagi hari," ucap Bara pelan sembari memejamkan matanya.Tubuhnya gemetaran, kepalanya terasa pusing, dan perutnya terasa sakit. Itu benar-benar menyiksa dirinya.Bara tidak mau keluar dari kamar karena tubuhnya sangat lemas, ia tidak mau sang mommy cemas karena tahu tentang kondisinya."Lapar, tapi nggak kuat bangun," ucapnya pelan, lalu memejamkan mata.Walaupun perutnya terasa lapar, tapi ia lebih memilih untuk kembali memejamkan matanya. Berharap sang mommy segera datang menemuinya.Dan
Bara segera turun dari mobil setelah kendaraan mewah itu berhenti di depan rumah kekasihnya.Ia baru ingat kalau Anisa pernah menaruh kotak kayu di lemari dapur. Selama ini tidak ada yang memeriksa area itu.Laki-laki tampan itu langsung menuju dapur. Ia segera mengambil kotak yang ada di bawah tumpukan peralatan dapur."Ini dia," ucap Bara sembari mengelap kotak itu dengan kain lab yang ada di meja dapur.Bara membawa kotak itu ke dalam kamar Anisa, lalu membukanya. Ada beberapa lembar foto anak kecil dan orang dewasa."Apa ini keluarganya? Kenapa dia menyembunyikannya di dapur?" gumam Bara setelah melihat foto anak kecil yang digendong wanita dewasa dan dua orang dewasa laki-laki dan perempuan yang lebih tua lagi.Bara menaruh lembaran teratas itu di tempat tidur, tapi ketika ia melihat tulisan di belakang foto itu, ia kembali mengambilnya."Jadi, ini ibu, nenek, dan kakeknya." Bara membaca tulisan di belakang foto itu yang sudah te
Gilang terkejut mendengar suara yang ia kenali. Laki-laki itu langsung menoleh ke belakang. “Om Gilang, sejak kapan ada di sini?”Naya menahan senyum melihat wajah keponakannya yang tertangkap basah sedang mencibir suaminya. Ia belum sempat memberitahukan kalau Gilang sedang berada di toilet.“Aku ada sejak kamu belum lahir,” jawab Gilang setelah duduk di samping istrinya.“Nah ‘kan, berarti memang Om sudah tua,” sahut Bara sembari tertawa pelan.Gilang menatap Bara dengan tajam, hingga Bara mengira kalau laki-laki itu sedang marah besar padanya.“A-ada apa, Om?” tanya Bara dengan gugup sembari menelan ludahnya dengan susah payah.“Bagaimana kabar Anisa? Apa kamu sudah menemukan keberadaannya?”Bara mengembuskan napasnya perlahan. Ia merasa lega, ternyata omnya tidak marah. “Belum, Om,” jawabnya. “Sepertinya Anisa ada di kampung halamannya,
Bara dan Gilang pergi ke rumah Anisa. Laki-laki itu ingin menunjukkan foto keluarga kekasihnya kepada Gilang, berharap omnya bisa membantu dengan petunjuk itu.Dua mobil mewah itu berhenti di pekarangan rumah Anisa yang sudah lama ditinggal penghuninya.Dua laki-laki tampan yang mempunyai sejuta pesona itu keluar dari mobil yang berbeda secara bersamaan. Om dan keponakan yang mempunyai julukan pecinta wanita terlihat sangat memesona."Mari, Om!"Bara berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah itu. Gilang mengikutinya dari belakang sambil melihat ke sekeliling rumah itu."Rumahnya sederhana, tapi terlihat sangat nyaman.""Rumah ini dibeli Abang untuk Anisa karena dia adalah wanita yang dicintai Bang Gara.""Om sudah tahu tentang itu. Jangan diungkit lagi! Gara memang seorang kakak yang baik, kamu beruntung mempunyai saudara seperti dia.""Iya, Om. Bang Gara sangat baik, aku sangat menyesal telah mengkhianati saudara kembarku
Bara berjalan cepat menghampiri saudara kembarnya yang sedang bersama orang tuanya di ruang tamu.Laki-laki itu langsung memeluk Gara setelah menaruh kotak kayu di meja. "Maafkan aku, Bang. Aku sudah merebut Anisa darimu.""Sudahlah, aku sudah melupakannya." Gara menepuk-nepuk punggung adiknya.Bara melepas pelukannya, menatap Gara dengan berderai air mata. "Kamu yang terbaik, Bang.""Kenapa kamu jadi cengeng seperti ini? Untung saja aku sudah tidak bersama Anisa lagi. Kalau aku yang bersamanya mungkin aku menjadi laki-laki cengeng juga." Gara terkekeh sembari menyentil kening adiknya."Kebiasaanmu ini nggak pernah ilang," ucap Bara sembari mengusap keningnya. "Sakit tahu, Bang.""Ish ... kamu benar-benar cengeng," cibir Gara."Bang, kenapa Abang baru pulang. Katanya cuma dua minggu, tapi kenyataannya hampir dua bulan.""Kerjaanku tidak habis-habis," jawab Gara. "Harusnya kamu juga bantu aku di perusahaan.""Maaf, Bang.
Bara menunggu teman sang daddy dengan gelisah. 'Semoga saja Tuan Indra Gunawan bisa membantuku,' batinnya."Bara tenanglah! Aku yakin Anisa akan cepat ditemukan." Gara mengerti kegelisahan adiknya karena satu-satunya petunjuk hanyalah foto itu.Haidar berdiri saat tamunya datang diantar oleh pelayannya. Melihat sang daddy berdiri sambil tersenyum, Bara dan Gara menoleh ke belakang. Mereka berdiri, lalu tersenyum ramah kepada sang tamu."Selamat siang Tuan Indra." Haidar mengulurkan tangannya saat tamunya menghampiri."Selamat siang, Tuan dan Nyonya Haidar."Indra Gunawan juga menjabat tangan Bara dan Gara."Silakan duduk, Tuan!" ucap Andin dengan ramah. "Silakan berbincang-bincang! Saya permisi dulu."Andin pergi meninggalkan anak-anak dan suaminya supaya mereka bisa berbicara dengan leluasa."Tuan Haidar, apa benar yang anda katakan pada saat menelpon tadi?"Mendengar kabar tentang anak dan istrinya yang hilang, I