“Aku nggak akrab, ketemu juga baru dua kali,” elak Sisil. “Kamu kenapa nanya-nanya kayak gitu? Kamu mau kenal juga sama Mas Riko?” tanyanya.
Sisil tidak mengerti apa maksud dari ucapan Aldin. Ia pikir kalau Aldin cemburu karena ia lebih dekat dengan sahabat kakak iparnya.
“Udah kamu istirahat aja. Aku keluar sebentar.” Aldin tidak berbicara apa-apa lagi. Ia langsug keluar dari kamarnya.
“Aneh banget tuh beruang kutub,” gumam Sisil dalam hatinya. “Ya ampun, kenapa aku jadi ngantuk banget, masa jam segini mau tidur,” ucap Sisil sambil menutup mulutnya yang sdang menguap.
Sisil bangun dan terduduk, lalu bersandar pada sandaran tempat tidur. “Nggak ada temen yang bisa diajak ngobrol lagi, ngantuk banget ini.” Sisil berkali-kali menguap. “Gue keluar aja kali ya?” gumam Sisil. Lalu ia turun dati tempat tidur. Baru beberapa
“Kenapa kamu balik lagi, Bee?” tanya Haidar pada sang istri.“Kakak lagi mijat kepala Sisil, kayaknya si cempreng tidur,” jawab Andin. Lalu mengempaskan tubuhnya ke kasur.“Jangan tidur! Kamu utang penjelasan sama aku.” Haidar menghampiri sang istri lalu duduk di pingiran tempat tidur.“Aku kira kamu lupa,” sahut Andin sembari tertawa pelan. Lalu bangun dan duduk bersila di samping suaminya.“Ayo jelasin!” titah Haidar.“Apa yang harus aku jelasin? Kamu aja yang tanya, nanti aku jawab,” ujar Andin sembari melirik sang suami.Haidar memiringkan tubuhnya menghadap sang istri. Ia melipat kakinya sebelah di atas kasur. Kaki sebelah lagi dibiarkan menjuntai ke lantai.“Siapa Zidan?” tanya Haidar serius. Sorot matanya tajam seperti elang.
Andin tidak menjawab panggilan telepon di ponselnya karena itu panggilan dari Zidan. Ia hanya menatap layar ponselnya.“Kenapa nggak kamu angkat?” tanya Haidar pada sang istri yang hanya memandangi layar ponselnya.“Ehm … ini dari Zi-”“Baiklah aku keluar, biar kalian lebih puas ngobrolnya,” sela Haidar memotong pembicaraan Andin. Lalu ia keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamar dengan keras.“Astaga!” Andin mengelus dadanya karena terkejut dengan dentuman pintu yang begitu keras. “Brondong alot gue marah,” ucapnya. “Gara-gara lo sih.” Andin memarahi ponselnya yang masih saja berdering.Ia turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk menyusul suaminya.“Kemana dia?” Andin bertanya pada dirinya sendiri ketika menuruni tangga. “Bun, lihat suamiku nggak?
“Nggak usah dibahas,”jawab Haidar pelan, tapi tegas.Ketika Andin ingin mengatakan sesuatu pada sang suami, ada Nenek dan Kakek yang sudah berada di meja makan. Sehingga ia pun mengurungkan niatnya.Haidar menarik kursi untuk Andin, setelah Andin duduk, ia juga ikut duduk di samping istrinya.“Ar, Ayah mana?” tanya Bunda Anin yang baru datang. Lalu ia duduk di samping Andin.“Sebentar lagi katanya, Bun,” jawab Haidar dengan sopan.“Orang ganteng ada di sini,” sahut Ayah Rey dari belakang Bunda Anin.“Udah tua juga, masih aja kepedean,” sahut Bunda Anin sembari mencebikkan bibirnya.“Kenapa sih, Bun?” tanya ayah Rey sembari memegangi bahu sang istri lalu mencium pipi istrinya. “Kangen ya sama Ayah,” kata Ayah Rey setelah mencium Bunda Anin. Kemudian ia dudu
Haidar tidak menjawab ataupun menoleh pada sang istri yang berdiri di sampingnya.“Om!” panggil Andin yang geram dengan sikap cuek sang suami.“Udahlah nggak usah dibahas lagi. Terserah kamu mau ngapain. Pada akhirnya kita juga bakal pisah,” jawab Haidar dengan tegas.Andin terkejut dengan jawaban Haidar. Sudah lama ia tidak mengungkit masalah perjanjian itu, akan tetapi hari ini, kata-kata itu terucap lagi dari bibir laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya dua bulan lalu.Andin mendekati sang suami. Lalu duduk di samping suaminya. “Kok kamu ngomongnya gitu?”“Terus aku harus gimana? Kamu juga tidak mencintai suamimu ini. Kamu lebih bahagia dekat dengan orang lain dari pada denganku,” jawab Haidar tanpa menatap sang istri.“Boo, aku belum mencintaimu bukan tidak mencintaimu,” jelas Andin pada sang
“Halo, Zi, maaf tadi nggak keangkat,” sapa Andin saat sambungan teleponnya dengan Zidan terhubung.Haidar langsung terbangun dan meraih ponsel sang istri, lalu mematikan sambungan teleponnya.“Kenapa dimatiin? Aku mau bilang sama Zidan, kalau akau udah menikah,” kata Andin sambil terisak.“Dia nangis beneran apa bohongan ya?” tanya Haidar dalam hatinya. “Nggak usah telepon!” kata Haidar.“Kalau aku nggak telepon, kamu nggak bakal percaya kalau aku dan Zidan nggak ada apa-apa,” tukas Andin. Air matanya tak terasa menetes kembali.Haidar menarik Andin ke dalam pelukannya. “Kamu jangan nangis! Aku percaya sama kamu,” kata Haidar sembari mengusap-usap rambut sang istri dengan lembut.“Aku harus menjelaskan semuanya. Ini salahku karena aku nggak jujur tentang statusku. Aku takut yang dio
Andin melepas pelukannya. Ia menatap wajah tampan sang suami. “Tapi pertanyaan kamu kayak nuduh aku,” kata Andin.“Iya, aku minta maaf. Aku nggak bakal tanya apa-apa lagi tentang Zidan ataupun tentang statusmu di luar sana. Sepenuhnya aku percaya sama kamu. Tolong jaga kepercayaanku, Bee!” ujar Haidar panjang lebar.Andin terharu mendengar ucapan suaminya. “Aku akan menjaganya. Kamu juga harus menjaga kepercayaanku,” kata Andin. Kemudian ia memeluk suaminya dengan erat. “Aku nggak mau kehilangan kamu, Boo,” ucapnya.“Aku juga nggak mau kehilangan istriku yang cantik ini,” balasnya sembari meciumi puncak kepala sang istri.“Kamu jangan tebar pesona kalau di kantor!” tukas Andin.“Aku nggak laku di kantor. Kalau selalu tebar pesona, aku nggak akan jadi berondong alot,” sahut Haidar meyakinkan istrin
Tangan kiri Haidar memegangi tengkuk Andin, tangan satunya lagi memegangi pinggang. Haidar mulai mendekatkan bibirnya pada bibir sang istri.Andin memejamkan mata saat wajah sang suami mulai mendekati wajahnya. Hanya berjarak beberapa senti saja, embusan napas Haidar sudah terasa di wajahnya.“Kenapa kamu menutup mata?” tanya Haidar pada sang istri.“Boo … itu tandanya aku udah siap,” jawab Andin sambil merengek. “Kayak di adegan film ‘kan kayak gitu, biar lebih bisa menikmati. Kamu mah begitu, jadi ambyar ‘kan mood aku,” keluh Andin sembari mengerucutkan bibirnya.“Aku suka melihat manik mata kamu yang indah,” sahut Haidar sembari tersenyum. Sorot matanya tetap fokus pada manik mata sang istri.“Tatap pipi aku dulu aja, atau bibirku,” usul Andin pada suaminya.“Pipi kamu seperti bakpao, jadi pengin aku makan,” sahut Haidar sembari tertawa pelan meledek sang istri.
Haidar naik ke atas tempat tidur. Ia berniat menutupi tubuh sang istri, akan tetapi imannya tergoda. Jagoannya sudah senut-senut melihat paha mulus istrinya.Haidar mengelus paha istrinya yang tidak tertutup apa-apa. Baju terusan selutut berwarna ungu muda tersingkap, sehingga tubuh bagian bawahnya terlihat jelas. Hanya sumur keramat yang tertutupi oleh segi tiga berenda.Haidar menciumi paha sang istri dengan lembut, tangannya berkeliling menuju sumur keramat. Andin menggeliat karena ada sesuatu yang meraba daerah keramatnya.Andin malah membalikkan tubuhnya, ia membuka kakinya dengan lebar.“Bee,” panggil Haidar dengan mesra sambil menciumi daerah sensitif sang istri.Andin menggeliatkan tubuhnya sambil mendesah, matanya masih tertutup rapat. Ia ingin sekali membuka matanya, tapi ia sangat mengantuk.Haidar mengangkat kaki istrinya, Ia terus menciumi daerah keramat sang istri yang