Aldin mendekati Dokter Riko, setelah sang dokter selesai memeriksa Sisil. Ia ingin segera tahu apa sakit yang di derita Sisil. Aldin terlihat sangat khawatir dengan Sisil yang mendadak sakit.
“Dia hanya kelelahan. Apa tadi dia terlambat makan?” tanya sang dokter kepada Aldin.
“Iya, Dok. Tadi dia terlambat makan siang,” sahut Aldin dengan sopan.
“Saya resepkan vitamin untuknya,” ucap sang dokter sembari memberikan secarik kertas bertuliskan resep obat dan vitamin untuk Sisil kepada Aldin.
“Sisil udah minum obat pereda nyeri, Dok,” kata Bunda Anin pada sang dokter muda yang terlihat sangat tampan.
“Kalo gitu, obat pereda nyerinya jangan diminum lagi. Kalau masih terasa sakit, boleh diminum lagi setelah empat jam ya,” ucap sang Dokter dengan ramah. “Sil, cepet sembuh ya. Banyakin istirahat, jaga kesehatan kamu,”
“Aku nggak akrab, ketemu juga baru dua kali,” elak Sisil. “Kamu kenapa nanya-nanya kayak gitu? Kamu mau kenal juga sama Mas Riko?” tanyanya.Sisil tidak mengerti apa maksud dari ucapan Aldin. Ia pikir kalau Aldin cemburu karena ia lebih dekat dengan sahabat kakak iparnya.“Udah kamu istirahat aja. Aku keluar sebentar.” Aldin tidak berbicara apa-apa lagi. Ia langsug keluar dari kamarnya.“Aneh banget tuh beruang kutub,” gumam Sisil dalam hatinya. “Ya ampun, kenapa aku jadi ngantuk banget, masa jam segini mau tidur,” ucap Sisil sambil menutup mulutnya yang sdang menguap.Sisil bangun dan terduduk, lalu bersandar pada sandaran tempat tidur. “Nggak ada temen yang bisa diajak ngobrol lagi, ngantuk banget ini.” Sisil berkali-kali menguap. “Gue keluar aja kali ya?” gumam Sisil. Lalu ia turun dati tempat tidur. Baru beberapa
“Kenapa kamu balik lagi, Bee?” tanya Haidar pada sang istri.“Kakak lagi mijat kepala Sisil, kayaknya si cempreng tidur,” jawab Andin. Lalu mengempaskan tubuhnya ke kasur.“Jangan tidur! Kamu utang penjelasan sama aku.” Haidar menghampiri sang istri lalu duduk di pingiran tempat tidur.“Aku kira kamu lupa,” sahut Andin sembari tertawa pelan. Lalu bangun dan duduk bersila di samping suaminya.“Ayo jelasin!” titah Haidar.“Apa yang harus aku jelasin? Kamu aja yang tanya, nanti aku jawab,” ujar Andin sembari melirik sang suami.Haidar memiringkan tubuhnya menghadap sang istri. Ia melipat kakinya sebelah di atas kasur. Kaki sebelah lagi dibiarkan menjuntai ke lantai.“Siapa Zidan?” tanya Haidar serius. Sorot matanya tajam seperti elang.
Andin tidak menjawab panggilan telepon di ponselnya karena itu panggilan dari Zidan. Ia hanya menatap layar ponselnya.“Kenapa nggak kamu angkat?” tanya Haidar pada sang istri yang hanya memandangi layar ponselnya.“Ehm … ini dari Zi-”“Baiklah aku keluar, biar kalian lebih puas ngobrolnya,” sela Haidar memotong pembicaraan Andin. Lalu ia keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamar dengan keras.“Astaga!” Andin mengelus dadanya karena terkejut dengan dentuman pintu yang begitu keras. “Brondong alot gue marah,” ucapnya. “Gara-gara lo sih.” Andin memarahi ponselnya yang masih saja berdering.Ia turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk menyusul suaminya.“Kemana dia?” Andin bertanya pada dirinya sendiri ketika menuruni tangga. “Bun, lihat suamiku nggak?
“Nggak usah dibahas,”jawab Haidar pelan, tapi tegas.Ketika Andin ingin mengatakan sesuatu pada sang suami, ada Nenek dan Kakek yang sudah berada di meja makan. Sehingga ia pun mengurungkan niatnya.Haidar menarik kursi untuk Andin, setelah Andin duduk, ia juga ikut duduk di samping istrinya.“Ar, Ayah mana?” tanya Bunda Anin yang baru datang. Lalu ia duduk di samping Andin.“Sebentar lagi katanya, Bun,” jawab Haidar dengan sopan.“Orang ganteng ada di sini,” sahut Ayah Rey dari belakang Bunda Anin.“Udah tua juga, masih aja kepedean,” sahut Bunda Anin sembari mencebikkan bibirnya.“Kenapa sih, Bun?” tanya ayah Rey sembari memegangi bahu sang istri lalu mencium pipi istrinya. “Kangen ya sama Ayah,” kata Ayah Rey setelah mencium Bunda Anin. Kemudian ia dudu
Haidar tidak menjawab ataupun menoleh pada sang istri yang berdiri di sampingnya.“Om!” panggil Andin yang geram dengan sikap cuek sang suami.“Udahlah nggak usah dibahas lagi. Terserah kamu mau ngapain. Pada akhirnya kita juga bakal pisah,” jawab Haidar dengan tegas.Andin terkejut dengan jawaban Haidar. Sudah lama ia tidak mengungkit masalah perjanjian itu, akan tetapi hari ini, kata-kata itu terucap lagi dari bibir laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya dua bulan lalu.Andin mendekati sang suami. Lalu duduk di samping suaminya. “Kok kamu ngomongnya gitu?”“Terus aku harus gimana? Kamu juga tidak mencintai suamimu ini. Kamu lebih bahagia dekat dengan orang lain dari pada denganku,” jawab Haidar tanpa menatap sang istri.“Boo, aku belum mencintaimu bukan tidak mencintaimu,” jelas Andin pada sang
“Halo, Zi, maaf tadi nggak keangkat,” sapa Andin saat sambungan teleponnya dengan Zidan terhubung.Haidar langsung terbangun dan meraih ponsel sang istri, lalu mematikan sambungan teleponnya.“Kenapa dimatiin? Aku mau bilang sama Zidan, kalau akau udah menikah,” kata Andin sambil terisak.“Dia nangis beneran apa bohongan ya?” tanya Haidar dalam hatinya. “Nggak usah telepon!” kata Haidar.“Kalau aku nggak telepon, kamu nggak bakal percaya kalau aku dan Zidan nggak ada apa-apa,” tukas Andin. Air matanya tak terasa menetes kembali.Haidar menarik Andin ke dalam pelukannya. “Kamu jangan nangis! Aku percaya sama kamu,” kata Haidar sembari mengusap-usap rambut sang istri dengan lembut.“Aku harus menjelaskan semuanya. Ini salahku karena aku nggak jujur tentang statusku. Aku takut yang dio
Andin melepas pelukannya. Ia menatap wajah tampan sang suami. “Tapi pertanyaan kamu kayak nuduh aku,” kata Andin.“Iya, aku minta maaf. Aku nggak bakal tanya apa-apa lagi tentang Zidan ataupun tentang statusmu di luar sana. Sepenuhnya aku percaya sama kamu. Tolong jaga kepercayaanku, Bee!” ujar Haidar panjang lebar.Andin terharu mendengar ucapan suaminya. “Aku akan menjaganya. Kamu juga harus menjaga kepercayaanku,” kata Andin. Kemudian ia memeluk suaminya dengan erat. “Aku nggak mau kehilangan kamu, Boo,” ucapnya.“Aku juga nggak mau kehilangan istriku yang cantik ini,” balasnya sembari meciumi puncak kepala sang istri.“Kamu jangan tebar pesona kalau di kantor!” tukas Andin.“Aku nggak laku di kantor. Kalau selalu tebar pesona, aku nggak akan jadi berondong alot,” sahut Haidar meyakinkan istrin
Tangan kiri Haidar memegangi tengkuk Andin, tangan satunya lagi memegangi pinggang. Haidar mulai mendekatkan bibirnya pada bibir sang istri.Andin memejamkan mata saat wajah sang suami mulai mendekati wajahnya. Hanya berjarak beberapa senti saja, embusan napas Haidar sudah terasa di wajahnya.“Kenapa kamu menutup mata?” tanya Haidar pada sang istri.“Boo … itu tandanya aku udah siap,” jawab Andin sambil merengek. “Kayak di adegan film ‘kan kayak gitu, biar lebih bisa menikmati. Kamu mah begitu, jadi ambyar ‘kan mood aku,” keluh Andin sembari mengerucutkan bibirnya.“Aku suka melihat manik mata kamu yang indah,” sahut Haidar sembari tersenyum. Sorot matanya tetap fokus pada manik mata sang istri.“Tatap pipi aku dulu aja, atau bibirku,” usul Andin pada suaminya.“Pipi kamu seperti bakpao, jadi pengin aku makan,” sahut Haidar sembari tertawa pelan meledek sang istri.
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha