"Taruhan apa? Siapa yang taruhan?” tanya Bunda Anin sembari melirik Andin lalu melirik Sisil.
“Aku sama Sisil,” jawab Andin. “Siapa yang lebih dulu menaklukkan beruang kutub dialah pemenangnya.” Andin berkata dengan semangat sembari memukul lengan Sisil.
“Sakit, bego!” umpat Sisil pada Andin. Ia sudah tidak sungkan lagi pada bunda dari sahabatnya.
“Beruang kutub, siapa?” tanya Bunda Anin yang merasa bingung dengan apa yang diucapkan putrinya. Ia tidak menghiraukan kelakuan dua perempuan muda itu karena mereka sudah biasa bertingkah seperti itu.
“Haidar sama Abang,” jawab Andin. “Siapa yang bisa menaklukkan beruang kutub lebih dulu, dialah pemenangnya,” imbuhnya.
“Tapi, kayaknya aku yang menang, Bun. Suamiku udah mulai meleleh,” kata Andin sembari tertawa pelan. “Yang kalah harus menuru
“Heh, oncom, lo mau ngomong apaan?” Sisil menarik tangan Andin. “Awas lo ngomong macam-macam sama Bunda lo!”Andin dan Sisil sangat berisik di dapur. Ada saja yang ia ributkan, yang membuat orang seisi rumah geleng-geleng kepla.“Kalian lagi ngeributin apaan sih?” tanya Bunda Anin pada Andin dan Sisil tanpa melihat ke arah mereka. Ia tetap fokus dengan masakannya.Andin dan Sisil langsung terdiam. “Lo sih!” tukas Sisil sembari melotot pada Andin.“Ini Bun, aku mau ajak Sisil ke belakang, tapi katanya dia nggak enak sama Bunda. Dia mau belajar jadi calon menantu yang baik katanya, Bun,” kata Andin sembari tertawa pelan.Bunda Anin tertawa mendengar ucapan putrinya. Lalu ia mematikan kompor dan berbalik menghadap kedua sahabat itu. “Kamu udah termasuk calon menantu idaman Bunda kok, Sil,” kata Bunda Anin sembar
Andin dan Sisil langsung menghentikan langkah kakinya. Kemudian mereka berbalik badan ke belakang.“Alhamdulillah.” Andin mengelus dadanya. “Aku kira siapa?” ucap Andin pelan. Ia takut kalau Haidar lah yang mendengar pembicaraannya dengan Sisil.“Kamu jangan macam-macam, Dek!” kata Aldin dengan tegas.“Macam-macam gimana? Adek, nggak ngapa-apain,” sahut Andin.“Siapa Zidan?” tanya Aldin pada adiknya. “Kamu udah menikah, Dek, kalau nyari teman tuh jangan sembarangan. Ada hati yang harus kamu jaga.” Aldin menasehati Andin. Ia tidak mau sang adik mendapat masalah nantinya.“Dia teman kuliah aku,” jawab Andin. “Kami nggak ada apa-apa, kok,” imbuhnya.“Mulai sekarang, jauhin Zidan! Jangan sampai dia merusak rumah tangga kamu,” tegas Aldin pada sang adik.
“Kita duduk di situ aja!” kata Aldin sembari menunjuk kursi panjang di bawah pohon mangga. “Aku mau nanya sesuatu.”Aldin berjalan duluan diikuti oleh Sisil yang terpaksa mengikutinya. Sebenarnya Sisil sedang berdebar-debar, penasaran dengan apa yang akan Aldin tanyakan. Ia takut Aldin tahu tentang perasaannya.“Dia mau nanya apa ya?” Sisil bertanya-tanya di dalam hatinya. “Sore-sore olah raga jantung,” gumamya dalam hati.“Ayo duduk, kenapa kamu malah bengong.” Aldin menarik tangan Sisil untuk segera duduk di sampingnya.“Yaelah nih orang bikin gue jantungan aja,” batin Sisil.Sisil mencoba bersikap tenang. Ia tidak mau kalau sampai Aldin tahu jantungnya sedang berolah raga.“Kamu kenapa keringetan kayak gitu?” tanya Aldin pada Sisil yang sedang gugup. Keringat di dahinya men
“Cie … tadi main genggaman tangan, sekarang main gendong-gendongan.” Bunda Anin meledek anaknya yang sedang menggendong Sisil.Sisil membenamkan wajahnya di dada Aldin. Ia merasa malu kalo harus melihat wajah dari bunda laki-laki yang ia cintai.“Bunda, jangan bercanda dulu. Ini Sisil lagi sakit kepalanya,” sahut Aldin. Ia terus melangkah menuju kamarnya tanpa menghiraukan sang bunda.“Astaga,” ucap Bunda Anin. “Bunda ambil kotak obat dulu ya.” Bunda Anin bergegas mengambil kotak obat.Setalah mengambil kotak obat, Bunda Anin bergegas menuju ruang tamu.“Loh, mereka ke mana? Apa Sisil diantar ke rumah sakit? Tapi, aku nggak denger suara mobil Abang,” gumam Bunda Anin.Bunda Anin segera melangkahkan kakinya menuju kamar sang anak. Dengan perlahan membuka kenop pintu kamar putranya. Ia melihat S
"Bun, Sisil kenapa? Kata Bibi, dia sakit.” Andin masuk kamar abangnya dengan tergesa. Ia merasa khawatir mendengar sahabatnya sakit. Padahal, barusan masih sehat-sehat aja.“Aku panggil dokter aja ya,” kata Haidar. Lalu ia pergi ke luar kamar untuk menelpon dokter tanpa persetujuan yang lainnya.“Lo kenapa, Sil?” tanya Andin setelah ia duduk di pinggiran tempat tidur, di samping Sisil. Andin memegangi tangan Sisil. “Tanganmu dingin banget, Sil.”“Nggak apa-apa, gue cuma pusing aja,” jawab Sisil pelan. Ia merasa lemas dan mengantuk. “Kenapa gue jadi pusing beneran,” ucap Sisil dalam hatinya.“Lo istirahat aja!” Andin menyelimuti sahabatnya. “Gue bilang ibu, lo nginep di sini ya,” kata Andin sembari mengeluarkan ponselnya.“Bunda udah nelpon ibunya,” sahut sang bunda ketika Andin hendak menelpon Bu Lastri.“Owh udah ya,” sahut Andin sembari menggaruk kepalanya. “Aku
Aldin mendekati Dokter Riko, setelah sang dokter selesai memeriksa Sisil. Ia ingin segera tahu apa sakit yang di derita Sisil. Aldin terlihat sangat khawatir dengan Sisil yang mendadak sakit.“Dia hanya kelelahan. Apa tadi dia terlambat makan?” tanya sang dokter kepada Aldin.“Iya, Dok. Tadi dia terlambat makan siang,” sahut Aldin dengan sopan.“Saya resepkan vitamin untuknya,” ucap sang dokter sembari memberikan secarik kertas bertuliskan resep obat dan vitamin untuk Sisil kepada Aldin.“Sisil udah minum obat pereda nyeri, Dok,” kata Bunda Anin pada sang dokter muda yang terlihat sangat tampan.“Kalo gitu, obat pereda nyerinya jangan diminum lagi. Kalau masih terasa sakit, boleh diminum lagi setelah empat jam ya,” ucap sang Dokter dengan ramah. “Sil, cepet sembuh ya. Banyakin istirahat, jaga kesehatan kamu,”
“Aku nggak akrab, ketemu juga baru dua kali,” elak Sisil. “Kamu kenapa nanya-nanya kayak gitu? Kamu mau kenal juga sama Mas Riko?” tanyanya.Sisil tidak mengerti apa maksud dari ucapan Aldin. Ia pikir kalau Aldin cemburu karena ia lebih dekat dengan sahabat kakak iparnya.“Udah kamu istirahat aja. Aku keluar sebentar.” Aldin tidak berbicara apa-apa lagi. Ia langsug keluar dari kamarnya.“Aneh banget tuh beruang kutub,” gumam Sisil dalam hatinya. “Ya ampun, kenapa aku jadi ngantuk banget, masa jam segini mau tidur,” ucap Sisil sambil menutup mulutnya yang sdang menguap.Sisil bangun dan terduduk, lalu bersandar pada sandaran tempat tidur. “Nggak ada temen yang bisa diajak ngobrol lagi, ngantuk banget ini.” Sisil berkali-kali menguap. “Gue keluar aja kali ya?” gumam Sisil. Lalu ia turun dati tempat tidur. Baru beberapa
“Kenapa kamu balik lagi, Bee?” tanya Haidar pada sang istri.“Kakak lagi mijat kepala Sisil, kayaknya si cempreng tidur,” jawab Andin. Lalu mengempaskan tubuhnya ke kasur.“Jangan tidur! Kamu utang penjelasan sama aku.” Haidar menghampiri sang istri lalu duduk di pingiran tempat tidur.“Aku kira kamu lupa,” sahut Andin sembari tertawa pelan. Lalu bangun dan duduk bersila di samping suaminya.“Ayo jelasin!” titah Haidar.“Apa yang harus aku jelasin? Kamu aja yang tanya, nanti aku jawab,” ujar Andin sembari melirik sang suami.Haidar memiringkan tubuhnya menghadap sang istri. Ia melipat kakinya sebelah di atas kasur. Kaki sebelah lagi dibiarkan menjuntai ke lantai.“Siapa Zidan?” tanya Haidar serius. Sorot matanya tajam seperti elang.
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha