Haidar menarik tangan sang istri. Sehingga istinya terjatuh ke dalam pelukannya.
“Kamu apa-apaan sih!” sergah Andin pada sang suami. Ia masih merasa sakit hati pada suaminya. Jadi, apa pun yang suaminya lakukan, Andin tidak menyukainya.
Andin berusaha melepas pelukan sang suami. Namun, Haidar malah mengeratkan pelukannya.
“Lepasin!” pinta Andin dengan tegas. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya, tapi tenaga sang suami jauh lebih kuat dari pada dirinya.
“Bee, aku minta maaf,” kata Haidar dengan tulus. “Aku nggak mau melepasmu sebelum kamu maafin aku.” Haidar menatap wajah cantik sang istri, tapi Andin membuang muka, ia tidak mau menatap sang suami.
“Ya udah aku maafin,” kata Andin. “Sekarang, lepasin aku.” Andin berusaha melepas tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya.
Andin menoleh pada sang suami yang sedang berjalan menghampirinya. “Kenapa dia berbicara seperti itu?” batin Andin. Tatapannya tidak lepas dari wajah sang suami. “Kalau Nenek beneran berharap bagaimana? Nambah masalah aja.” Andin terus saja menggerutu di dalam hatinya.Andai saja tidak ada sang nenek, Andin ingin sekali membungkam mulut suaminya dengan bogem mentah. “Awas lo ya, gue perkosa baru tahu rasa lo,” kata Andin. Ia berpikir Haidar hanya bercanda berbicara seperti itu.Haidar benar-benar ingin sang istri terus mendampinginya sampai akhir hayat nanti. Namun, Haidar belum berani mengungkapkannya karena ia juga masih ragu dengan perasaannya. Ia belum yakin dengan rasa yang tumbuh di hatinya, apa dia mencintai sang istri atau hanya sekedar rasa nyaman aja.“Andin akan melahirkan banyak anak dariku untuk Nenek. Jadi, Nenek harus makan ya, biar sehat terus sampai anak kami had
“Nenek!” sahut Andin. “Nenek, jangan banyak pikiran! Anak itu rezeki dari Allah. Kalau memang Tuhan belum ngasih kepercayaan, ya kita harus bersabar,” kata Andin pada sang nenek.“Tapi, kita juga harus berusaha, Sayang.” Haidar berkata sembari tersenyum pada istrinya.“Kenapa gue mual denger ucapannya. Ucapanmu bakal menyusahkanku, Brondong alot,” Andin terus menggerutu di dalam hatinya.“Itu harus!” sahut sang nenek dengan tegas. “Kalian harus terus berusaha!”“Aku akan berusaha membahagiakan Nenek,” kata Haidar sembari menyuapi sang nenek.“Andin, kamu nggak usah ke restoran dulu. Kamu jangan capek-capek, jangan stres, biar benih di rahim kamu cepat tumbuh,” kata sang nenek sembari menatap cucunya.“Restoran?” Haidar menautkan alisnya karena bingung,
“Kamu mau kemana, Sayang?” tanya Haidar sambil memeluk erat pinggang sang istri.“Aku mau ke kamar mandi sebentar,” jawab Andin sembari tersenyum. Ia mencari alasan yang masuk akal supaya Haidar mau melepaskannya. “Nanti aku balik lagi,” imbuhnya.Haidar melepaskan tangannya yang melingkar di pinggang sang istri. “Ya udah sana! Aku tunggu di sini ya,” kata Haidar. Lalu ia kembali menyuapi Nenek Marisa dengan telaten.Andin bergegas pergi keluar dari kamar Nenek Marisa. “Laki gue kenapa ya? Jadi ngeri sendiri lihat dia kayak gitu. Apa jangan-jangan dia bukan laki gue?” gumam Andin sambil mengedikkan bahunya.“Kamu kenapa, Dek?” tanya Bunda Anin saat berpapasan dengan Andin di tangga.“Ehmm … itu, Bun … ehm nggak apa-apa, aku cuma mau nanya, Abang ke mana? Tadi dia sama Sisil pulang duluan.
Haidar menghampiri sang istri yang sedang duduk santai di saung gajebo bersama bundanya. Mereka sedang menikmati udara sore hari. Rumah mertuanya sangatlah asri, banyak tanaman rindang di halaman belakang.“Sayang, aku tungguin kamu di kamar Nenek, tapi kamu nggak datang lagi,” kata Haidar sembari mengacak-acak rambut Andin.Andin menepis tangan suaminya. Kemudian ia beringsut ke tengah supaya ia lebih leluasa merebahkan tubuhnya. Andin mengganjal kepalanya dengan bantal kecil yang ada di saung gajebo.. “Tadi Bunda yang ngajak Andin ke sini,” sahut Bunda Anin. “Bunda masuk dulu ya.” Bunda Anin turun dari saung gajebo, lalu pergi meninggalkan anak dan menantunya.Ia sengaja meninggalkan pasangan suami istri itu, supaya mereka semakin dekat dan mau mengungkapkan isi hati masing-masing.Setelah mertuanya pergi, Haidar duduk di pinggiran saung gajebo, kakinya d
“Hey, Gunung es! Di mana Andin? Kamu bilang mereka ada di halaman belakang, tapi mana? Nggak ada orang satu pun di sini,” cerocos Sisil pada Aldin.Aldin dan Sisil berjalan beriringan menuju taman yang ada di halaman belakang rumahnya. Mereka berjalan sambil mengobrol. Walaupun sebenarnya Aldin enggan menjawab setiap pertanyaan Sisil, tapi ia tetap menanggapi setiap ucapan sahabat adiknya itu.Sisil bertanya pada Aldin untuk menyingkirkan rasa canggungnya. Entah kenapa ia selalu berdebar-debar ketika berada di dekat Aldin.“Tadi kata Bunda, mereka ada di saung gajebo,” sahut Aldin dengan malas menanggapi ocehan Sisil. Aldin orang yang pendiam, ia tidak suka gadis cerewet seperti Sisil, kecuali saudara kembarnya. Walaupun Andin sangat manja dan berisik, tapi Aldin begitu menyayangi adiknya itu.“Iya, tapi mereka nggak ada di sini,” kata Sisil sembari menunjuk ke ara
“Ada pasangan baru nih,” kata Bunda Anin sembari tersenyum bahagia melihat putranya menggandeng tangan Sisil. Selama ini Aldin belum pernah mengenalkan seorang gadis sebagai kekasihnya.Bunda Anin merasa senang kalau Aldin dekat dengan sahabat putrinya. Ia sudah mengenal Sisil sejak bersahabat dengan putrinya. Ia gadis yang cocok untuk Aldin, menurutnya.Aldin langsung melepaskan genggaman tangannya. “Apaan sih, Bun. Aku cuma narik tangannya aja supaya dia nggak ganggu Adek sama suaminya yang lagi tidur di saung gajebo,” kilah Aldin. Lalu pergi meninggalkan Bunda Anin dan Sisil setelah melakukan pembelaan.“Beneran juga nggak apa-apa, Bang. Bunda restuin kok,” teriak Bunda Anin sembari tertawa melihat anaknya jadi salah tingkah. “Calon mantu Bunda, temenin masak yuk!” Bunda Anin menarik tangan Sisil agar mengikutinya. Ia ingin mengobrol dengan Si
Aldin datang tiba-tiba saat Sisil dan Bunda Anin sedang membahas dirinya. Sebenarnya dari tadi Aldin mendengar ucapan Bunda dan sahabat adiknya itu, tapi Aldin pura-pura nggak tahu.“Suka sama siapa?” Aldin mengulang pertanyaan yang sama.“Bunda tanya Sisil, suka nggak sama kamu, kata dia cuma suka sebagai teman aja,” jelas wanita cantik itu pada putranya. “Padahal Bunda berharap, kalian saling suka,” imbuhnya dengan pelan.“Aku bukan temannya,” jawab Aldin dengan tegas sembari melirik Sisil. Lalu ia pergi meninggalkan Bunda Anin dan Sisil.“Maafin, Al, ya, Sil,” kata Bunda Anin sembari mengelus punggung tangan Sisil. Ia merasa tidak enak hati dengan Sisil, atas sikap putranya itu.“Nggak apa-apa, Bun,” jawab Sisil. “Aku udah terbiasa dengan sikapnya,” kata Sisil sembari tersenyum manis pada mertu
"Taruhan apa? Siapa yang taruhan?” tanya Bunda Anin sembari melirik Andin lalu melirik Sisil.“Aku sama Sisil,” jawab Andin. “Siapa yang lebih dulu menaklukkan beruang kutub dialah pemenangnya.” Andin berkata dengan semangat sembari memukul lengan Sisil.“Sakit, bego!” umpat Sisil pada Andin. Ia sudah tidak sungkan lagi pada bunda dari sahabatnya.“Beruang kutub, siapa?” tanya Bunda Anin yang merasa bingung dengan apa yang diucapkan putrinya. Ia tidak menghiraukan kelakuan dua perempuan muda itu karena mereka sudah biasa bertingkah seperti itu.“Haidar sama Abang,” jawab Andin. “Siapa yang bisa menaklukkan beruang kutub lebih dulu, dialah pemenangnya,” imbuhnya.“Tapi, kayaknya aku yang menang, Bun. Suamiku udah mulai meleleh,” kata Andin sembari tertawa pelan. “Yang kalah harus menuru