Haidar dengan susah payah memutar kenop pintu sembari menggendong sang istri. Andin yang merasa terusik, akhirnya membuka mata. Ia langsung turun dari gendongan sang suami.
“Kenapa turun? Aku gendong lagi ya.” Haidar hendak menggendong Andin. Namun, tangannya ditepis oleh sang istri.
“Kenapa? Tanya Haidar sembari menautkan alisnya.
“Kamu mau ngebenturin kepalaku lagi,” tuduh Andin dengan sinis. Lalu ia masuk ke dalam sambil menutup pintu dengan keras. Sehingga kening sang suami terbentur daun pintu ketika ia melangkahkan kakinya.
“Astaga … dia lebih menyeramkan dari singa lapar kalau lagi marah,” tukas Haidar sembari mengusap-usap keningnya.
“Bee, buka dong pintunya,” kata Haidar sembari mengetuk pintu kamar sang istri. “Maafkan aku, Bee.” Haidar terus saja mengetuk pintu kamar sambil memanggil istrinya.
“Tuh orang drama banget sih. Pintu ‘kan nggak gue kunci,” kata Andi
Haidar menarik tangan sang istri. Sehingga istinya terjatuh ke dalam pelukannya.“Kamu apa-apaan sih!” sergah Andin pada sang suami. Ia masih merasa sakit hati pada suaminya. Jadi, apa pun yang suaminya lakukan, Andin tidak menyukainya.Andin berusaha melepas pelukan sang suami. Namun, Haidar malah mengeratkan pelukannya.“Lepasin!” pinta Andin dengan tegas. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya, tapi tenaga sang suami jauh lebih kuat dari pada dirinya.“Bee, aku minta maaf,” kata Haidar dengan tulus. “Aku nggak mau melepasmu sebelum kamu maafin aku.” Haidar menatap wajah cantik sang istri, tapi Andin membuang muka, ia tidak mau menatap sang suami.“Ya udah aku maafin,” kata Andin. “Sekarang, lepasin aku.” Andin berusaha melepas tangan sang suami yang melingkar di pinggangnya.
Andin menoleh pada sang suami yang sedang berjalan menghampirinya. “Kenapa dia berbicara seperti itu?” batin Andin. Tatapannya tidak lepas dari wajah sang suami. “Kalau Nenek beneran berharap bagaimana? Nambah masalah aja.” Andin terus saja menggerutu di dalam hatinya.Andai saja tidak ada sang nenek, Andin ingin sekali membungkam mulut suaminya dengan bogem mentah. “Awas lo ya, gue perkosa baru tahu rasa lo,” kata Andin. Ia berpikir Haidar hanya bercanda berbicara seperti itu.Haidar benar-benar ingin sang istri terus mendampinginya sampai akhir hayat nanti. Namun, Haidar belum berani mengungkapkannya karena ia juga masih ragu dengan perasaannya. Ia belum yakin dengan rasa yang tumbuh di hatinya, apa dia mencintai sang istri atau hanya sekedar rasa nyaman aja.“Andin akan melahirkan banyak anak dariku untuk Nenek. Jadi, Nenek harus makan ya, biar sehat terus sampai anak kami had
“Nenek!” sahut Andin. “Nenek, jangan banyak pikiran! Anak itu rezeki dari Allah. Kalau memang Tuhan belum ngasih kepercayaan, ya kita harus bersabar,” kata Andin pada sang nenek.“Tapi, kita juga harus berusaha, Sayang.” Haidar berkata sembari tersenyum pada istrinya.“Kenapa gue mual denger ucapannya. Ucapanmu bakal menyusahkanku, Brondong alot,” Andin terus menggerutu di dalam hatinya.“Itu harus!” sahut sang nenek dengan tegas. “Kalian harus terus berusaha!”“Aku akan berusaha membahagiakan Nenek,” kata Haidar sembari menyuapi sang nenek.“Andin, kamu nggak usah ke restoran dulu. Kamu jangan capek-capek, jangan stres, biar benih di rahim kamu cepat tumbuh,” kata sang nenek sembari menatap cucunya.“Restoran?” Haidar menautkan alisnya karena bingung,
“Kamu mau kemana, Sayang?” tanya Haidar sambil memeluk erat pinggang sang istri.“Aku mau ke kamar mandi sebentar,” jawab Andin sembari tersenyum. Ia mencari alasan yang masuk akal supaya Haidar mau melepaskannya. “Nanti aku balik lagi,” imbuhnya.Haidar melepaskan tangannya yang melingkar di pinggang sang istri. “Ya udah sana! Aku tunggu di sini ya,” kata Haidar. Lalu ia kembali menyuapi Nenek Marisa dengan telaten.Andin bergegas pergi keluar dari kamar Nenek Marisa. “Laki gue kenapa ya? Jadi ngeri sendiri lihat dia kayak gitu. Apa jangan-jangan dia bukan laki gue?” gumam Andin sambil mengedikkan bahunya.“Kamu kenapa, Dek?” tanya Bunda Anin saat berpapasan dengan Andin di tangga.“Ehmm … itu, Bun … ehm nggak apa-apa, aku cuma mau nanya, Abang ke mana? Tadi dia sama Sisil pulang duluan.
Haidar menghampiri sang istri yang sedang duduk santai di saung gajebo bersama bundanya. Mereka sedang menikmati udara sore hari. Rumah mertuanya sangatlah asri, banyak tanaman rindang di halaman belakang.“Sayang, aku tungguin kamu di kamar Nenek, tapi kamu nggak datang lagi,” kata Haidar sembari mengacak-acak rambut Andin.Andin menepis tangan suaminya. Kemudian ia beringsut ke tengah supaya ia lebih leluasa merebahkan tubuhnya. Andin mengganjal kepalanya dengan bantal kecil yang ada di saung gajebo.. “Tadi Bunda yang ngajak Andin ke sini,” sahut Bunda Anin. “Bunda masuk dulu ya.” Bunda Anin turun dari saung gajebo, lalu pergi meninggalkan anak dan menantunya.Ia sengaja meninggalkan pasangan suami istri itu, supaya mereka semakin dekat dan mau mengungkapkan isi hati masing-masing.Setelah mertuanya pergi, Haidar duduk di pinggiran saung gajebo, kakinya d
“Hey, Gunung es! Di mana Andin? Kamu bilang mereka ada di halaman belakang, tapi mana? Nggak ada orang satu pun di sini,” cerocos Sisil pada Aldin.Aldin dan Sisil berjalan beriringan menuju taman yang ada di halaman belakang rumahnya. Mereka berjalan sambil mengobrol. Walaupun sebenarnya Aldin enggan menjawab setiap pertanyaan Sisil, tapi ia tetap menanggapi setiap ucapan sahabat adiknya itu.Sisil bertanya pada Aldin untuk menyingkirkan rasa canggungnya. Entah kenapa ia selalu berdebar-debar ketika berada di dekat Aldin.“Tadi kata Bunda, mereka ada di saung gajebo,” sahut Aldin dengan malas menanggapi ocehan Sisil. Aldin orang yang pendiam, ia tidak suka gadis cerewet seperti Sisil, kecuali saudara kembarnya. Walaupun Andin sangat manja dan berisik, tapi Aldin begitu menyayangi adiknya itu.“Iya, tapi mereka nggak ada di sini,” kata Sisil sembari menunjuk ke ara
“Ada pasangan baru nih,” kata Bunda Anin sembari tersenyum bahagia melihat putranya menggandeng tangan Sisil. Selama ini Aldin belum pernah mengenalkan seorang gadis sebagai kekasihnya.Bunda Anin merasa senang kalau Aldin dekat dengan sahabat putrinya. Ia sudah mengenal Sisil sejak bersahabat dengan putrinya. Ia gadis yang cocok untuk Aldin, menurutnya.Aldin langsung melepaskan genggaman tangannya. “Apaan sih, Bun. Aku cuma narik tangannya aja supaya dia nggak ganggu Adek sama suaminya yang lagi tidur di saung gajebo,” kilah Aldin. Lalu pergi meninggalkan Bunda Anin dan Sisil setelah melakukan pembelaan.“Beneran juga nggak apa-apa, Bang. Bunda restuin kok,” teriak Bunda Anin sembari tertawa melihat anaknya jadi salah tingkah. “Calon mantu Bunda, temenin masak yuk!” Bunda Anin menarik tangan Sisil agar mengikutinya. Ia ingin mengobrol dengan Si
Aldin datang tiba-tiba saat Sisil dan Bunda Anin sedang membahas dirinya. Sebenarnya dari tadi Aldin mendengar ucapan Bunda dan sahabat adiknya itu, tapi Aldin pura-pura nggak tahu.“Suka sama siapa?” Aldin mengulang pertanyaan yang sama.“Bunda tanya Sisil, suka nggak sama kamu, kata dia cuma suka sebagai teman aja,” jelas wanita cantik itu pada putranya. “Padahal Bunda berharap, kalian saling suka,” imbuhnya dengan pelan.“Aku bukan temannya,” jawab Aldin dengan tegas sembari melirik Sisil. Lalu ia pergi meninggalkan Bunda Anin dan Sisil.“Maafin, Al, ya, Sil,” kata Bunda Anin sembari mengelus punggung tangan Sisil. Ia merasa tidak enak hati dengan Sisil, atas sikap putranya itu.“Nggak apa-apa, Bun,” jawab Sisil. “Aku udah terbiasa dengan sikapnya,” kata Sisil sembari tersenyum manis pada mertu
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha