"Maaf, aku nggak sengaja.” Haidar mengusap-usap kening Andin yang terkena benturan siku tangannya. “Lagian kamu mau ngapain sih?” tanya Haidar pada sang istri yang berada di atas tubuhnya.
“Tadinya aku mau nyosor kamu, tapi keningku udah disosor duluan sama tangan kamu,” keluh Andin sambil mengusap-usap keningnya.
“Lagian nggak sabaran banget sih, jadi cewek mahal sedikit kenapa? Jangan main sosor aja,” kata Haidar sembari menyentil kening sang istri dengan jarinya. Ia merasa gemas dengan sikap sang istri yang terkesan mesum.
“Ya ampun, Om! Keningku sakit malah ditambahin lagi,” protes Andin pada suaminya sembari bangun dan terduduk.
Haidar juga bangun dan duduk bersandar di sandaran tempat tidur. “Kalau masih manggil Om, aku nggak mau nyium kamu,” protes Haidar sambil melipat tangannya di bawah dada.
Haidar sadar kalau ini hanya sebuah kebohongan, tapi ia menikmati kepura-puraan ini. Walaupun Andin
“Kenapa? Kamu terpesona ya dengan ketampanan suamimu ini?” tanya Haidar pada sang istri. Kemudian ia menghampiri istrinya yang masih duduk bersandar di sandaran tempat tidur. Jarinya sibuk menyentuh layar ponselnya.“Pede banget. Aku lagi lihat berita viral minggu ini, pelakor meraja rela. Kalau ada pelakor di antara kita, aku akan unyeng-unyeng rambutnya sampai botak, setelah itu aku tinggalin kamu. Bagiku kesalahan apapun aku akan berusaha memaafkan, tapi kalau udah main dengan wanita lain. Sori dori stroberi ya, pergi aja lo ke laut,” ujar Andin dengan penuh emosi.“Kenapa kamu jadi marah sama aku?” tanya Haidar. “Yang selingkuh siapa yang dimarahin siapa? Lagian kamu nggak ada kerjaan, kayak gitu di tonton. Mending kamu baca novelnya Nyi Ratu, biar awet muda, ketawa terus.”“Nanti aku dikira orang gila, ketawa terus,” sahut Andin. “Om udah baca n
Sebulan sudah pernikahan mereka berjalan, tapi Papi Mannaf belum juga mewariskan semua hartanya kepada sang anak. Haidar pun tidak pernah menanyakan perihal itu, ia menikmati pernikahannya dengan sang istri meski sering terjadi perselisihan di antara mereka.“Boo, Kita udah sebulan menikah, tapi kamu belum sekali pun menyentuh aku. Apa aku sehina itu sehingga kamu nggak mau menyentuh istrimu sendiri,” ucap Andin lirih sembari menundukkan kepalanya.“Kita belum saling mencintai. Aku hanya ingin menyentuh wanita yang aku cintai. Aku nggak mau menyentuh kamu hanya karena nafsu sesaat. Aku akan menyentuhmu kalau aku sudah mencintaimu begitu pun sebaliknya,” jawab Haidar panjang lebar.“Aku udah halal untukmu, Boo,” sahut Andin. “A-apa aku bukan kriteria wa-wanita idamanmu?” tanya Andin terbata. Air matanya mulai menetes di pipinya, isakan tangis terdengar oleh sang suami.
“Om!” teriak Andin.Haidar terjatuh dari tempat tidur karena terus menghindari istrinya. Ia kira sang istri akan memperkosanya, padahal Andin hanya ingin memeriksa suhu tubuhnya.Andin segera turun dari tempat tidur untuk membantu suaminya bangun. “Om, ehm … Boo, kamu nggak apa-apa ‘kan?” Andin terlihat sangat khawatir karena kening sang suami terbentur meja nakas.Haidar diam saja tanpa menyahuti ucapan istrinya sembari memegangi keningnya. Kepalanya terasa sangat pusing, pandangannya kabur. Andin membantunya untuk bangun dan berbaring di atas tempat tidur.“Kening kamu berdarah, Boo,” kata Andin ketika Haidar melepas tangan dari keningnya, ia segera mengambil tisu yang ada di atas nakas. “Aku ambil kotak obat dulu ya.” Andin segera mengambil kotak obat yang ada di kamarnya.“Ada pepatah ‘siapa takut ia celaka’ itu benar dan terjadi padaku,” kata Haidar seraya tersenyum kecil membayangk
TOK TOK TOKKetika nafsu mereka sudah memuncak terdengar suara ketukan di pintu kamar. Untung saja kamarnya kedap suara, jadi tidak perlu khawatir suara desahan mereka terdengar sampai keluar. Haidar dan Andin gagal mengeong karena ketukan pintu.“Andin!” panggil Mami Inggit sembari terus mengetuk pintu kamar. Kalian ada di dalam ‘kan?” teriak Mami Inggit.“Boo, ada Mami.” Andin segera turun dari tempat tidur, lalu memakai kembali baju tidurnya yang semalam. Kemudian ia segera membuka pintu kamar untuk mertuanya. Sementara Haidar masuk ke dalam kamar mandi.“Sayang, kamu sakit, Nak?” tanya Mami Inggit yang melihat keringat mengucur di pelipis Andin. Kemudian ia meraba kening menantunya. “Kamu demam, Sayang,” kata Mami Inggit.Hawa panas di tubuh Andin bukan dikarenakan demam, tapi karena habis olah raga siang bersama Hai
“Sayang, Mami pulang dulu ya,” pamit Mami Inggit pada menantunya. Setelah mencium kening sang menantu, Mami Inggit keluar dari kamar anak dan menantunya.Setelah sang mertua keluar dari kamar. Andin bangun dan terduduk. Ketika ia hendak turun dari tempat tidur, Bi Susi melarangnya.“Jangan bangun dulu, Non! Nona muda istirahat aja, supaya lekas sembuh,” kata Bi Susi pada Andin.“Bi, aku tuh nggak sakit, aku nggak demam,” jawab Andin. “Kalau Bibi nggak percaya, coba periksa kening aku.” Andin meraih tangan Bi Susi, lalu menempelkan pada keningnya. “Nggak panas ‘kan?”“Iya, Non, suhu tubuh Nona normal,” sahut Bi Susi. “Nyonya terlalu sayang sama Nona, jadi dia terlihat sangat khawatir,” imbuhnya sembari tersenyum.“Ya udah, ayo kita keluar. Aku mau masak untuk suamiku,” kata
"Anggap aku anakmu," kata Andin pada Bi Susi sembari menyunggingkan sudut bibirnya.Bi Susi terharu dengan ucapan majikannya. "Nona memang wanita berhati malaikat, semoga Nona selalu diberikan kebahagiaan yang berlimpah, aamiin." Bi Susi mengucap doa dalam hatinya."Sekarang Bibi bawa semua makanan ini ke rumah belakang, aku mau masak dulu," kata Andin setelah melepas rangkulan tangannya di lengan Bi Susi.Andin langsung ke dapur, ia ingin memasak untuk suaminya. Senyum kebahagiaan di wajahnya terus merekah."Kenapa gue bahagia banget kayak gini, kayaknya gue udah jatuh cinta sama berondong alot. Wajahnya selalu ada di ingatan gue, bahkan gue lupa sama Roy. Tapi, apa dia juga merasakan hal yang sama," ucap Andin dalam hatinya.Andin tersadar dari hayalannya. "Bodo amat ah, itu bisa diatur nanti, gue mau masak dulu untuk berondong alot," gumam Andin sembari tertawa pelan.Bi Susi sej
"Sejak kapan Om ehmm maksudku Boo berdiri di situ?" tanya Andin ketika memutar tubuhnya ia melihat Haidar sedang berdiri sambil menyandarkan tubuhnya pada tembok sambil melipat tangan di depan dada.Haidar memerhatikan istrinya yang sedang narsis di depan cermin sembari menyunggingkan sudut bibirnya."Sejak kamu berbicara pada cermin," kata Haidar sembari tertawa pelan."Aku jadi malu," kata Andin, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan."Sejak kapan kamu punya malu," cibir Haidar pada istrinya."Astaga, Boo, kamu jahat banget sama aku." Andin mengerucutkan bibirnya."Aku bicara fakta," sahut Haidar sembari menahan senyum."Aku sadar itu ... tapi jangan diperjelas juga," protes Andin terhadap ucapan suaminya."Aku udah lapar, kamu masak sana!" titah Haidar pada istrinya. Ia sengaja mengalihkan pembicaraan supaya Andin tidak memperpa
"Boleh satu kali lagi?" pinta Haidar sambil menunjuk pipi sebelahnya yang belum dikecup.Andin terkejut mendengar ucapan sang suami. "Aku kira kamu marah," kata Andin sembari tersenyum bahagia. Lebih bahagia lagi dari sebelumnya karena untuk pertama kali sang suami yang meminta cium lebih dulu."Apa mungkin dia juga merasakan apa yang gue rasa? Satu hal yang pasti, sekarang dia nggak pernah kumat lagi." Andin berbicara pada dirinya sendiri di dalam hati.Andin menangkup wajah sang suami. Lalu menghadiahi kecupan di mata, hidung, dan pipi sang suami sampai berkali-kali."Sekarang cepetan makan! Aku masak makanan enak ini khusus untukmu," titah Andin pada suaminya setelah memberi kecupan di wajah sang suami. Andin pun kembali duduk di kursinya.Haidar menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. "Bisa-bisanya aku berbicara seperti tadi. Bibir dan hatiku udah nggak bisa aku kontrol lagi kalau dekat denga
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha