Rayyan terperanjat saat mendengar ucapan Arka. Instingnya mengatakan jika Arka bukan sedang bercanda atau menggerjai dirinya. Meskipun Arka dikenal sebagai orang yang suka usil dan iseng, akan tetapi Rayyan yakin bahwa saat ini Arka tidak dalam keadaan bercanda dalam hal seperti ini.Rayyan memegang erat ponselnya di telinga, menahan debaran jantungnya."Kamu bilang apa?" tanya Rayyan, nadanya gemetaran karena khawatir.Arka juga berbicara dengan nada panik dan gugup,” aku juga tidak mengerti, tapi aku menemukan mobil adikmu di persimpangan jalan, menabrak tiang listrik! Sopirnya terluka parah! Dan mobilnya meledak! Cepatlah kesini! Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan!"Nada bicara Arka yang terdengar seperti itu membuat hati Rayyan seperti ditimpa batu yang cukup besar. Ia merasa panik dan sangat khawatir.Ponsel di tangannya hampir saja terjatuh, apalagi ketika Rayyan mengingat jika Amara memang baru saja pulang beberapa menit yang lalu. Wajah Rayyan menjadi pucat, napasnya se
Arka masuk dengan ragu-ragu ke dalam ruangan di mana Amara telah dipindahkan ke ruangan rawat. Dia melihat gadis kecil itu baru selesai dipasang infus oleh dokter yang masih ada di dalam ruangan.Dokter itu berkata, “Tuan, nona ini katanya ingin bicara dengan Anda. Silahkan.”Sebelum melangkah mendekat Arka bertanya dahulu, “Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?”“Nona ini hanya mengalami luka ringan di kepalanya. Selain itu, tidak ada luka yang serius. Tadi dia mungkin hanya terkejut sehingga menyebabkan dia jatuh pingsan.”Arka merasa sedikit lega, tapi dia masih khawatir kemudian dengan perlahan dia mendekati Amara.Wajah gadis kecil itu sangat pucat dan bibirnya terlihat sedikit kering. Melihat semua itu matanya yang jernih menitikkan air mata, Arka merasa kasihan.“Nona Amara. Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit?”Amara menatapnya, dia menggeleng perlahan. “Kakak mengenal namaku?”Arka mengangguk, “Namaku Arka, aku teman kakakmu. Tentu saja aku mengenalmu.”Selama ini
Setelah Arka pergi, Rayyan kembali menemui Amara. Hatinya sedih melihat adiknya kembali terbaring di atas ranjang rumah sakit, semua ini seakan-akan saja mengingatkannya pada masa lalu ketika Amara pernah terbaring seperti itu selama beberapa bulan.Melihat Rayyan masuk, Amara bermaksud ingin bangun, tetapi buru-buru bahunya ditekan lembut oleh Rayyan. "Jangan banyak bergerak, kamu masih terluka," pesan Rayyan.Amara meraba keningnya, "Ini hanya luka kecil, Kak. Lihatlah ini sudah tidak sakit lagi." Amara membantah."Memang ini luka kecil, tapi mungkin tadi itu luka ini sudah mengeluarkan banyak darah. Kakak yakin saat ini kamu pasti kekurangan darah." Rayyan lalu menarik kursi dan duduk di samping ranjang Amara.Dia menatap Amara dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang, namun ada rasa kecewa dalam hatinya."Lain kali, jangan pernah ulangi lagi, pergi tanpa izin orang tua atau kakak. Coba pikirkan kalau tadi itu sempat terjadi sesuatu, siapa yang bisa disalahkan? Apa kamu tidak k
Rayyan yang merasa penasaran, dengan apa yang sedang dipikirkan oleh adiknya itu kemudian bersuara sambil menggerakkan tangannya persis di depan wajah Amara.“Hei, apa yang sedang kamu pikirkan? Kakak lihat ekspresi wajah kamu terlihat begitu bahagia, padahal kamu itu baru saja mengalami kecelakaan yang hampir saja merenggut nyawa, tetapi kenapa malah tersenyum?" Tanya Rayyan seperti mencurigai sesuatu.Seketika saja Amara menjadi salah tingkah dan terlihat gugup tanpa alasan yang jelas."Tidak, aku.. aku hanya merasa sangat bersyukur sekali karena aku bisa selamat. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan jika hal buruk terjadi dan terpaksa harus meninggalkan mama dan juga nenek. Mereka pasti akan sangat sedih kalau sampai terjadi apa-apa padaku."Rayyan kemudian menepuk lembut kepalanya, "Sebab itu, lain kali kamu harus hati-hati. Untuk kedepannya kamu tidak boleh pergi tanpa izin dariku ataupun dari mamamu."Amara tersenyum kecut, sebenarnya selama ini dia benar-benar sudah bosan di
Sementara itu, Arka meninggalkan hotel dengan membawa perasaan hampa. Entah kenapa ia merasa malam pesta yang dihadiri nya hanya beberapa menit itu, sama sekali tidak memberi kesan di hatinya.Padahal, pesta tahunan ini adalah salah satu acara yang sangat ditunggu olehnya selama ini, rencana awalnya di saat pesta ini digelar ia akan memamerkan hasil kinerjanya. Akan tetapi di saat waktunya sudah tiba seperti ini, dia merasa jika malam ini sama dengan malam-malam biasanya tidak ada yang istimewa sama sekali.Dia masuk ke dalam mobil sportnya dan langsung bergegas pergi, untuk pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, pikirannya terpatri pada wajah mungil Amara.Selama ini dia hanya mendengar nama Amara serta cerita kehidupan gadis itu hanya dari Rayyan saja, walau beberapa kali ia sempat melihatnya, itu pun dari jauh.Dia belum pernah melihat wajah Gadis itu dari dekat, dan malam ini dia benar-benar melihat adik sahabatnya itu dengan jelas, bahkan juga ia sempat menggendong tubuhnya."Ter
Bagi Rayyan Kakeknya ini sangat luar biasa bahkan setiap gerak-geriknya pun dia bisa tahu. Ibaratnya kakek ini sudah seperti malaikat yang mempunyai 1000 mata bagi Rayyan.Pada akhirnya, di depan kakeknya Rayyan tidak bisa menyembunyikan sesuatu lagi.Setelah dia memastikan tidak ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka, dia pun mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Amara.Ega bukan hanya menebak, tetapi orangnya telah mendapatkan berita ini sejak semalam, bahkan dia sudah tahu kabar ini sebelum mereka turun dari mobil tadi.“Kakek tenang saja. Aku akan segera mengutus orang untuk menyelidiki.”“Tidak perlu.” Ega memotong pembicaraan Rayyan, “Kakek sudah menyuruh orang kepercayaannya kakek untuk melakukannya. Kamu, tetaplah fokus pada tanggung jawabmu saja.”Rayyan mengangguk, meskipun kakeknya ini sudah tua, tetapi ia sangat-sangat bisa diandalkan. Dia tidak akan mungkin ragu dengan orang-orang spesial milik kakeknya yang keberadaannya sangat misterius.Tidak ada yang m
Rayyan tahu jika gadis yang sangat dicintainya ini tidak gampang untuk dibohongi. Sejenak ia mulai berpikir untuk mencari alasan yang cukup masuk akal supaya bisa diterima oleh Evelyn. Dia menarik nafas, “Semalam itu aku panik, karena takut kakakmu nantinya tidak bisa menahan diri dan membuat keributan. Jika Ia sampai melakukan kesalahan-kesalahan mau tidak mau pastinya akan menyeret nama baikku dan perusahaan juga. Jadi aku buru-buru datang untuk menyelamatkannya dari kekacauan. Kamu seperti tidak tahu saja bagaimana sifat kakakmu itu.” Evelyn menunduk, dia benar-benar malu jika teringat tingkah laku kakaknya yang memang benar-benar sangat menyebalkan. Akhirnya dia percaya dengan ucapan Rayyan kemudian dia mengangguk. “Ayo, kalau begitu kita masuk. Kak Rayyan pasti mau mandi kan, sebelum berangkat ke kantor?” “Tentu saja, aku pulang memang untuk mandi.” “Eh,” Sebelum melangkah, Evelyn teringat sesuatu. Dia kembali berbalik dan bertanya pada Rayyan. “Semalam kak Rayyan menginap di
Evelyn kembali tersenyum kala melihat nomor baru dengan foto profil gadis kecil yang sebenarnya memiliki wajah sama imutnya dengan dirinya itu. “Halo, Amara?” sapa lembut Evelyn saat panggilan terhubung. Suara manis Evelyn menggelitik hati Amara, membuat dia tersenyum senang dengan suara ramah itu. Entah mengapa Amara merasa saat ini dirinya seperti sedang berhubungan dengan teman lama, yang sudah sangat lama tidak bertemu sapa. “Kakak ipar, aku tidak mengganggu waktumu, kan?” Amara bertanya. “Tentu saja tidak, aku malah senang kamu mau menelponku,” jawab Evelyn. Akhir-akhir ini saat Evelyn berada di villa bunga mawar ia juga merasa sedikit kesepian, terlebih lagi di saat Rayyan sedang pergi untuk bekerja. Saat ini Dia tidak lagi pergi ke kampus, bahkan Mia juga sedang berada di luar negeri. Beberapa hari terakhir ini ia hanya menghabiskan waktunya di dalam studio untuk melukis. Jadi, saat Amara mau menelponnya, dia merasa sangat senang. Begitu juga sebaliknya yang diras
Tangan Azam sudah terangkat dan hampir saja menampar wajah Rayyan.Tetapi Arka berdiri dengan cepat dan mencegah, sekarang dia berlutut di antara mereka menghadap Azam."Tuan! Tuan Rayyan benar-benar tidak bersalah. Apa yang dilakukannya pada Nona Amara itu tidaklah sengaja. Dia marah padaku. Dan itu adalah hal yang wajar. Aku sudah lancang mencintai Nona Amara. Jika tidak, semua ini tidak akan terjadi. Jadi jika anda ingin memukul, pukul saja aku. Aku yang telah menghianati Rayyan. Aku tidak menjaga adiknya dengan baik tetapi malah membuat keadaan rumit seperti ini.”Bukannya Azam yang tercengang dengan ucapan Arka tetapi justru Rayyan yang membeku.Azam tidak mengatakan apapun lagi, dia mengurut pelipisnya. Jika dipikir-pikir, Rayyan memang tidak sepenuhnya bersalah, apa yang dilakukannya karena dia khawatir dengan keadaan adiknya. Biar bagaimanapun juga, selama ini Rayyan lah yang telah berusaha sekuat tenaga untuk membuat Amara bisa bertahan hidup sampai sekarang ini. Tetapi untu
Arka menghela nafas, menarik wajah Amara dan mengusapnya."Semua orang tua, pasti akan melakukan apapun demi kebahagiaan putrinya. Tapi, sebagai anak, kamu juga tidak boleh membuat orang tuamu sampai bersedih. Jangan membebani mereka dengan keinginan kita." ucap Arka dengan sangat hati-hati."Aku tidak membebani mereka, Kak Arka. Aku hanya bertanya apa papa akan membantu kita? Papa jawab, tentu saja. Itu artinya papaku merestui hubungan kita!" sahut Amara, matanya membulat."Ah iya. Baiklah. Jangan marah lagi." Arka meraih kedua tangannya. Menatap wajah Amara yang mulai berseri kembali."Kita akan menikah kan, kak Arka?"Arka mengangguk lagi. "Iya. Kita akan menikah."Amara tersenyum senang. Menarik tengkuk Arka untuk mencium keningnya dan kembali memeluknya."Aku bahagia. Akhirnya kita akan menikah.""Amara!"Keduanya sama-sama tersentak saat mendengar suara seseorang memanggil nama Amara dan menoleh cepat ke arah yang sama.“Kak Rayyan?"“Rayyan?”Rayyan sudah berjalan ke arah merek
Hampir setengah harian ini Amara mengurung diri di kamar. Dia kecewa kepada Arka karena tidak memberi jawaban pasti padanya. Padahal kedua orang tuanya sudah menyetujui permintaannya, pamannya Azam pun begitu.Azura dan Arka sudah beberapa kali mengetuk pintu untuk mencoba membujuknya. Tetapi Amara tetap tidak mau membuka pintu kamarnya."Sebenarnya ini ada apa lagi?" Amar bertanya pada Azura.“Aku tidak tahu. Sepertinya Amara …. “ Azura menggantung kalimatnya, kemudian dia menoleh pada Arka yang ada di samping sana.Arka hanya bisa menunduk, dengan perasaan yang tidak nyaman. Dia sama sekali tidak pernah bermimpi jika harus terlibat dengan keluarga Brahmana seperti ini.Amar kemudian menatapnya dan bertanya,"Arka, apa kamu tidak ingin mengatakan sesuatu pada kami? Saya yakin jika kamu pasti tahu, penyebab kenapa Amara mengurung diri di kamar seperti ini?”Arka menghela nafas cukup panjang, kini dia melangkah dan duduk di hadapan Amar yang sudah duduk di ruangan tengah."Nona Amara …
Linda yang juga melihat siaran langsung pesta pernikahan itu tidak dapat menahan diri, seketika dia menyambar remote tv dan mematikan televisi itu kemudian melempar remote secara sembarangan.Dadanya bergemuruh ia benar-benar kesal lalu melangkah dengan cepat untuk menuju ke dalam kamar.Wajahnya terlihat menggerutu kesal, kini mereka sekeluarga hanya bisa merenungi nasib keluarga mereka yang sedang berada di ambang kehancuran.Dulu dirinya begitu sombong dan angkuh menganggap jika keluarga Limanto tidak satu derajat dengan status mereka, dan alasan ini lah yang menjadi dasar dia tidak merestui hubungan Evelyn dan putranya.Namun kini takdir mengubah segalanya. Perusahaannya bangkrut, kehidupan dan masa depan putra-putrinya tidak jelas arah tujuan, dengan keadaan yang seperti ini tentunya status mereka sudah sangat tertinggal jauh di bawah keluarga Limanto.Keadaan yang sama juga terjadi pada Tomi Lewis, saat ini ia juga sedang meratapi nasib di kantornya. Dia tidak peduli adanya siar
Tetapi untuk menyuruh Amara pulang, rasanya Rayyan tidak tega. Bukankah sejak dulu gadis itu sangat menginginkan pergi ke negara itu bahkan, Rayyan juga sudah jauh-jauh hari menyusun rencana dan menghabiskan waktu serta pikiran untuk mengurus semuanya demi bisa mewujudkan mimpi dari adiknya itu. Tapi baru saja berapa hari dia di sana, sudah akan disuruh pulang.Namun Rayyan kembali berpikir jika apa yang dikatakan oleh ayahnya semua benar, jika Amara di sana sendirian di sana pasti akan sangat mengkhawatirkan. Jadi pada akhirnya Rayyan memutuskan untuk menyuruh Amara pulang dan kembali ke sini.Mengenai Arka, tentu saja dia harus ikut pulang. Karena yang pertama tugas Arka sudah selesai dan yang kedua tidak ada yang perlu diawasi lagi oleh Arka. Kemudian mereka semua memang harus berkumpul di hari bahagia mereka.Rayyan pada akhirnya mengatakan iya ada ayahnya, kemudian dia segera menghubungi sekretaris Robi dan meminta Robi untuk segera mengatur kepulangan Amara dan Arka.Kabar renca
Sofyan bergegas untuk pulang ke rumah, rasanya ia betul-betul tidak sabaran, untuk memberitahu kabar gembira yang tadi baru saja dia dapat kepada istrinya.Tapi begitu dia sampai di rumah bukannya dia yang memberi kejutan untuk kabar kabar baik yang ada, justru dia sendiri yang disambut oleh senyuman lebar dari istrinya, belum sempat dia berkata atau bertanya Laras sudah menariknya menuju ruangan tengah.“Lihat, apa itu?” Laras menunjuk tumpukan hadiah. Mata Sofyan terbelalak melihatnya. Ia terkejut saat melihat begitu banyak barang-barang mewah yang tersusun di ruangan rumahnya.“Laras, itu semua kamu dapatkan dari mana?” tanya Sofyan, dia terheran-heran. Selama ini dia mengenal istrinya ini adalah sosok seorang wanita yang super pengiritan dan tidak boros, tetapi kenapa tiba-tiba banyak barang mewah di rumahnya?“Semua ini dari keluarga Brahmana. Tadi Nyonya Brahmana datang kemari dan membawa hadiah yang katanya semua ini adalah hadiah lamaran yang tertunda.”Sofyan tertegun, betap
Saat dia tengah termenung, perwakilan dari grup Brahmana itu sudah berada di depan pintu ruangan kerjanya, mengetuk pintu dan memberi salam dengan sopan."Pak Sofyan, apa saya boleh masuk? Saya adalah utusan dari, Tuan Rayyan.” tutur utusan itu sopan.Sofyan mendongak dan menatap ke arah wajah pria itu, dia merasa tidak asing lagi dengannya. Beberapa kali dia pernah melihat pria tersebut datang ke rumahnya. "Tuan Robi, bukan?"Pria itu tersenyum lembut dan mengangguk, "Iya, Pak Sofyan. Saya Robi, sekretaris utama perusahaan grup Brahmana. Saya datang kemari atas perintah Tuan Rayyan untuk membahas suatu hal dengan Anda.""Oh, mari silahkan masuk dan duduk," ujar Sofyan sambil mengajak Robi untuk duduk.“Sebelumnya kalau saya boleh tahu, kira-kira apa yang ingin dibahas oleh Tuan Rayyan dengan saya? Apakah ini masalah putri saya?” tanya Sofyan.Robi mengerutkan alisnya. "Oh, tentu saja bukan. Tidak mungkin jika masalah keluarga akan dibahas di kantor, bukan? Dan tentu saja tidak mungk
Tubuhnya sampai gemetaran handphone di tangannya pun hampir terjatuh, namun cepat-cepat diambil oleh Anesa dan memberikannya lagi pada Linda.“Kenapa bisa begitu? Kenapa kamu bisa kalah? Tidak mungkin kamu kalah, kamu hanya bercanda kan? Kamu ingin memberi surprise kepada ibumu kan? Ya ampun Revan, jangan seperti itu. Ibu nanti bisa jantungan loh.” Linda seperti masih kurang percaya, dia masih berharap jika Revan ini sedang hanya bercanda padanya dan ingin memberinya kejutan saja.Terdengar suara lesu dari Revan kembali, “Tidak Bu, Revan tidak sedang bercanda. Ini benar. Revan kalah, Bu, tidak bisa memenangkan proyek itu bahkan paman tidak bisa membantuku.”Emosi Linda kian tersulut nada suaranya kian tinggi, “Revan! Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bodoh sekali,” belum selesai Linda memarahi putranya panggilan sudah dimatikan oleh sepihak.Linda terlihat benar-benar seperti orang linglung, dia menoleh pada Anesa yang menatapnya dengan cukup khawatir.“Ibu, ada apa? Apa yang dikata
Saat ini terlihat Laras masih membeku dan cenderung seperti orang linglung, Arumi menoleh ke arahnya, lalu bertanya pada Laras, "Besan kalau boleh aku tau, wanita itu siapa? Apa dia kerabat kalian?"“Dia itu … Eh bagaimana menjelaskannya ...." Laras tampak bingung untuk memulai menjelaskan, lalu dia berkata ragu-ragu, "Sebenarnya dia itu, Nyonya Lewis."Tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut oleh Laras, Arumi langsung paham karena sebelumnya putranya memang sudah menjelaskan, dan Evelyn, sang menantu, juga sudah pernah sedikit bercerita tentang bagaimana mereka bertemu dan siapa bagian dari masa lalunya."Kalau begitu, mengapa tidak kamu perkenalkan saja besan kamu ini, pada mantan calon besan yang sombong itu!" Arumi berkata dengan nada sindiran."Eh, iya ...." Awalnya Laras terlihat takut namun setelah mendengar ucapan Arumi, wajah langsung ceria kemudian ia langsung menoleh pada Linda. "Nyonya Lewis, kamu tadikan sangat penasaran dengan suami Evelyn? Nah kebetulan sekali ini dia ibu