Selamat membaca. Selesai menaruh semua barang-barangku ke dalam kamar, mataku beralih pada pintu kamar mandi yang dilapisi emas. 'Hah' menghembuskan nafasku kasar, sebelum berjalan ke arah lemari berwarna hitam keemasan. Mengambil jubah mandi ku yang begitu mudah untuk dilepas. Bisakah aku memaki?! Setelahnya aku berjalan masuk. Membuka pintu perlahan-lahan, yang sambut oleh aroma semerbak dari wewangian yang tak pernah ku dapatkan saat tinggal di Clossiana Frigga. Sebab biasanya, aku hanya berendam dengan air mawar. Tapi aku melihat Baginda. "Apa aku mandi seorang diri?" aku bertanya dengan raut bingung, tapi mengapa hatiku seakan begitu senang. Seolah ada yang bersorak-sorak dalam diriku—Aku. "Terserahlah!"Menanggalkan pakaianku, ini pertama kalinya aku akan masuk ke dalam bak yang seperti kolam pemandian air panas pribadi. Karena biasanya, aku hanya mandi di pinggirnya saja dengan cara yang gila karena Baginda. Tap! BYURRR! Deg! Sesak… mataku membelalak saat kakiku tak meng
Selamat membaca. Sampai pagi pun, aku hanya menunggu sampai ia pergi dari sisiku—benar, dia memang menyuruhku untuk tidur. Tapi coba bayangkan, apakah kamu bisa tidur dalam seperti itu. Aku hanya menutup mataku. Hingga matahari menyambar netra mataku yang berair— diatas tempat tidur, aku mencoba untuk bangkit. Krakkk! Seperti tubuhku ada yang patah! Dia benar-benar menghabisiku. "Kau tidak tidur?"DEG! Mataku sontak membulat saat melihat ke arah sofa yang menghadap langsung ke dalam kamar, dengan Baginda yang sedang duduk disana! "Ba-baginda…""Tidurlah!""Tapi aku…" ingin bangun—sambungku dalam hati. Tak berani melanjutkan kata-kataku, saat melihat tatapan tajam penuh peringatan yang ia layangkan padaku. Kembali berbaring, aku mencoba untuk menutup mataku sampai mataku berkerut. Memaksa otakku untuk segera tertidur….***"Emabell, Emabell!" Panggilan seseorang membuat aku tersadar dari tidurku. "Ba…" Bukan. Tapi, "Kafkan?!" "Sampai kapan kau akan tidur? Apakah kau begitu kel
Selamat membaca. "Akhhh!" Aku meringis saat pria yang tak ku kenal mencekik leherku dengan sangat kuatnya. Mataku hampir tertutup dibuatnya, keringatku juga bercucuran menahan sakit. Pria di hadapanku ini siapa? "Ternyata kau memang sangat cantik!" sinisnya. Setidaknya lepaskan aku dulu baru bicara! "Tapi orang-orang dari utara, tidak mungkin hanya mengagumi kecantikanmu, 'kan?" ucapnya menatapku dari atas sampai bawah. Me-mereka dimana? A-aku mati kalau terus-terusan tergantung seperti ini. Bugh! Tiba-tiba saja Damor dan Kafkan datang, dan langsung menahan pria gila itu. Uhuk! Uhuk! Uhuk! "LARI!" seru Damor, itu membuatku mengerutkan kening ku bingung. Tak mengerti. "EMABELL!" Mungkinkah pria itu adalah musuh? Tak peduli, aku berlari keluar dari dalam kamar karena pria asing itu terlihat ingin sekali menghabisiku. Hosh! Hosh! Hosh! Aku berlari tanpa arah, tentu saja dengan darah yang menemaniku setiap langkahku. Leherku sakit, tapi ini bukan racun—pria itu jelas ingin me
Selamat membaca. Aku kembali dengan alasan lelah, sebab aku tak mau kalau nanti baginda melakukan sesuatu di tempat terbuka—oh ayolah, memikirkannya saja sudah membuatku merasa pusing. Di kamar, aku membuka kotak herbal. Tapi botol dengan surat didalamnya menghilang. "Aku tidak menyentuhnya? Bagaimana bisa tidak ada? Apa, aku menjatuhkan saat berlari tadi?" bingungku. Mencari ke arah bawah meja, dan sekitaran tempat tidur. Namun tak ada apa-apa disana, semuanya bersih. Bekas kekacauan tadi juga telah selesai. "Tidak ada!" kataku, melirik ke arah luar jendela—aku bisa dikurung kalau keluar tengah malam begini! Tapi. Aku menatap kembali ke arah kotak herbal. "Aku rindu kakak!"Dan ya. Berbekal kenekatan, aku kembali ke taman secara diam-diam. Gelap, dan menakutkan. Dan pikiranku mulai membayangkan kepala yang melayang. "Astaga Emabell, tenang saja. Tidak ada hantu disini!"Tap! Tap! Tap! Mengendap-endap, aku melangkahkan kaki telanjangku keluar. Sebab sepatu hanya akan membuat s
Selamat membaca. Istana. Menghadap mereka, Baginda menatapku dengan tatapan sangarnya lagi. Itu membuat aku sontak menunduk. "Kamu?"Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Bukan, itu bukan berasal dariku. Ku pi-pikir itu baginda jadi…"Damor tersenyum sinis. "Bagaimana bisa seorang pemimpin dari utara, memiliki aura yang begitu baik. Emabell! Apa lagi yang kau sembunyikan?" tuduh Damor padaku. Dengan cepat, aku menggelengkan kepalaku lagi. "Ti-tidak. Aku su-sudah jujur!" Lalu menatap ke arah baginda dengan ragu. Menelan saliva ku dengan kasar, meminta ia untuk percaya. "Aku tidak melakukannya!""Dan jika kau berbohong?"Aku tahu ia akan membunuhku jika aku berbohong padanya. Sendu, aku menatap ke arah Baginda. "Apa yang baginda inginkan?" Bukankah semuanya telah ia dapatkan, telah ia lakukan padaku. "Jadilah ratuku!"Bukankah dia selalu berkata begitu. Sampai, ia melanjutkan kalimatnya. "Di hadapan dunia Elydra!""Baginda…" Almosa menggelengkan kepalanya padaku, memintaku untu
Selamat membaca. "BAGINDA!" Teriakku mencoba untuk keluar dari dalam air. Tapi sesuatu seakan menarik kakiku kembali ke dalam air. Tak sempat menggapai tangan Baginda! Sesak! Seseorang seakan menciumku….Namun saat itu juga, air dalam kolam mandi terangkat ke atas. Yang diubahnya menjadi uap. Hosh….aku kembali bernafas. Dan Baginda langsung memelukku dengan eratnya, sedang aku tak peduli lagi pada tubuh telanjangku. Sebab yang kupikirkan adalah bayangan tadi. "Ada apa hmmm?"Aku ingin menangis. Tapi aku tak boleh menangis di hadapannya. "Emabell!" panggilnya dengan suara yang melembut, sontak aku menoleh ke arahnya dengan mata yang berkaca-kaca.Matanya tertuju pada bibirku. "Katakan?" tuntutnya. Mencoba untuk tenang. Aku… A-aku akhirnya… huaaaa! Menangis, seperti makhluk lemah saja. Lalu menjawab, "dia…aku takut!" kataku—tak bisa memberitahukan siapa dalang yang menciumku di dalam air barusan. Sebab itu, akan membuat utara mengangkat pedang. Yang memicu peperangan. "EMABELL! K
Selamat membaca. Tok! Tok! Tok! Suara pintu dibuka, sontak aku menoleh ke arah pintu yang menampakan Almosa dengan sepiring sup di tangannya. Meletakan pecahan kaca pada tempat sampah, aku tersenyum menyambutnya. "Almosa?" kataku, bingung. Menatap ke arah belakangnya, tanpa hadirnya baginda. "Emmm, baginda mana?"Tetapi Almosa hanya menatapku dengan tatapan seolah aku sakit. "Kau mencari baginda?" tanyanya dingin. Dan ku anggukan kepalaku sebagai jawaban. Sunyi. "Me-mengapa kau menatapku begitu?" tanyaku, mencoba mengambil nampan yang sedang dibawa oleh Almosa. Akan tetapi, belum sempat tanganku meraih nampan itu. Almosa…. PRANGGG! Ia melempar napan itu ke sembarang arah, yang hanya membuat aku menghembuskan nafasku kasar. 'Hah' lalu menatap Almosa yang terlihat berkaca-kaca. "Almosa…" Aku meraih wajah tampannya itu, lantas tersenyum padanya. "Ini pilihanku!""Ini salahku!" sambungnya dengan suara serak, lengkap dengan tatapan tak rela. "INI SALAHKU! KARENA HARUSNYA, KAMU SU
Selamat membaca. "Emabell?!""Kak Tara!" Aku berlari memeluk pria itu dengan eratnya, tersenyum senang. Meski air mataku mengalir dengan sangat deras saat ini. "Aku merindukanmu!" kataku. "Sebesar apa?""Sangat besar!" sampai tidak ada lagi yang bisa ku percaya dari tanah ini. Almosa—sambungku dalam hati. Tersenyum miris, meratapi diriku sendiri. Kau bilang kau tidak suka kebohongan, lantas permainan apa yang berikan padaku dengan memanfaatkan kebohongan. Baginda?! Aku pernah tertipu sekali, jadi aku tidak akan tertipu lagi untuk kedua kalinya. ***Kecewa. Nekat pergi dari istana ini, dengan bantuan sosok roh yang selalu mengikuti setiap saat. "Selamat tinggal, Baginda!" ucapku, sebelum masuk ke dalam tembok kamarku yang entah akan tembus ke mana. Aku hanya penasaran, dan mungkin. Rasa penasaranku itu. Dapat membunuhku nantinya, aku mengenalnya. Tapi aku—Emabell, juga sudah mengenal rasa sakit dari hidup yang aku inginkan. ***Hutan. Bagian perbatasan. "Luar biasa!" seperti tel