Selamat membaca. Aku kembali dengan alasan lelah, sebab aku tak mau kalau nanti baginda melakukan sesuatu di tempat terbuka—oh ayolah, memikirkannya saja sudah membuatku merasa pusing. Di kamar, aku membuka kotak herbal. Tapi botol dengan surat didalamnya menghilang. "Aku tidak menyentuhnya? Bagaimana bisa tidak ada? Apa, aku menjatuhkan saat berlari tadi?" bingungku. Mencari ke arah bawah meja, dan sekitaran tempat tidur. Namun tak ada apa-apa disana, semuanya bersih. Bekas kekacauan tadi juga telah selesai. "Tidak ada!" kataku, melirik ke arah luar jendela—aku bisa dikurung kalau keluar tengah malam begini! Tapi. Aku menatap kembali ke arah kotak herbal. "Aku rindu kakak!"Dan ya. Berbekal kenekatan, aku kembali ke taman secara diam-diam. Gelap, dan menakutkan. Dan pikiranku mulai membayangkan kepala yang melayang. "Astaga Emabell, tenang saja. Tidak ada hantu disini!"Tap! Tap! Tap! Mengendap-endap, aku melangkahkan kaki telanjangku keluar. Sebab sepatu hanya akan membuat s
Selamat membaca. Istana. Menghadap mereka, Baginda menatapku dengan tatapan sangarnya lagi. Itu membuat aku sontak menunduk. "Kamu?"Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. "Bukan, itu bukan berasal dariku. Ku pi-pikir itu baginda jadi…"Damor tersenyum sinis. "Bagaimana bisa seorang pemimpin dari utara, memiliki aura yang begitu baik. Emabell! Apa lagi yang kau sembunyikan?" tuduh Damor padaku. Dengan cepat, aku menggelengkan kepalaku lagi. "Ti-tidak. Aku su-sudah jujur!" Lalu menatap ke arah baginda dengan ragu. Menelan saliva ku dengan kasar, meminta ia untuk percaya. "Aku tidak melakukannya!""Dan jika kau berbohong?"Aku tahu ia akan membunuhku jika aku berbohong padanya. Sendu, aku menatap ke arah Baginda. "Apa yang baginda inginkan?" Bukankah semuanya telah ia dapatkan, telah ia lakukan padaku. "Jadilah ratuku!"Bukankah dia selalu berkata begitu. Sampai, ia melanjutkan kalimatnya. "Di hadapan dunia Elydra!""Baginda…" Almosa menggelengkan kepalanya padaku, memintaku untu
Selamat membaca. "BAGINDA!" Teriakku mencoba untuk keluar dari dalam air. Tapi sesuatu seakan menarik kakiku kembali ke dalam air. Tak sempat menggapai tangan Baginda! Sesak! Seseorang seakan menciumku….Namun saat itu juga, air dalam kolam mandi terangkat ke atas. Yang diubahnya menjadi uap. Hosh….aku kembali bernafas. Dan Baginda langsung memelukku dengan eratnya, sedang aku tak peduli lagi pada tubuh telanjangku. Sebab yang kupikirkan adalah bayangan tadi. "Ada apa hmmm?"Aku ingin menangis. Tapi aku tak boleh menangis di hadapannya. "Emabell!" panggilnya dengan suara yang melembut, sontak aku menoleh ke arahnya dengan mata yang berkaca-kaca.Matanya tertuju pada bibirku. "Katakan?" tuntutnya. Mencoba untuk tenang. Aku… A-aku akhirnya… huaaaa! Menangis, seperti makhluk lemah saja. Lalu menjawab, "dia…aku takut!" kataku—tak bisa memberitahukan siapa dalang yang menciumku di dalam air barusan. Sebab itu, akan membuat utara mengangkat pedang. Yang memicu peperangan. "EMABELL! K
Selamat membaca. Tok! Tok! Tok! Suara pintu dibuka, sontak aku menoleh ke arah pintu yang menampakan Almosa dengan sepiring sup di tangannya. Meletakan pecahan kaca pada tempat sampah, aku tersenyum menyambutnya. "Almosa?" kataku, bingung. Menatap ke arah belakangnya, tanpa hadirnya baginda. "Emmm, baginda mana?"Tetapi Almosa hanya menatapku dengan tatapan seolah aku sakit. "Kau mencari baginda?" tanyanya dingin. Dan ku anggukan kepalaku sebagai jawaban. Sunyi. "Me-mengapa kau menatapku begitu?" tanyaku, mencoba mengambil nampan yang sedang dibawa oleh Almosa. Akan tetapi, belum sempat tanganku meraih nampan itu. Almosa…. PRANGGG! Ia melempar napan itu ke sembarang arah, yang hanya membuat aku menghembuskan nafasku kasar. 'Hah' lalu menatap Almosa yang terlihat berkaca-kaca. "Almosa…" Aku meraih wajah tampannya itu, lantas tersenyum padanya. "Ini pilihanku!""Ini salahku!" sambungnya dengan suara serak, lengkap dengan tatapan tak rela. "INI SALAHKU! KARENA HARUSNYA, KAMU SU
Selamat membaca. "Emabell?!""Kak Tara!" Aku berlari memeluk pria itu dengan eratnya, tersenyum senang. Meski air mataku mengalir dengan sangat deras saat ini. "Aku merindukanmu!" kataku. "Sebesar apa?""Sangat besar!" sampai tidak ada lagi yang bisa ku percaya dari tanah ini. Almosa—sambungku dalam hati. Tersenyum miris, meratapi diriku sendiri. Kau bilang kau tidak suka kebohongan, lantas permainan apa yang berikan padaku dengan memanfaatkan kebohongan. Baginda?! Aku pernah tertipu sekali, jadi aku tidak akan tertipu lagi untuk kedua kalinya. ***Kecewa. Nekat pergi dari istana ini, dengan bantuan sosok roh yang selalu mengikuti setiap saat. "Selamat tinggal, Baginda!" ucapku, sebelum masuk ke dalam tembok kamarku yang entah akan tembus ke mana. Aku hanya penasaran, dan mungkin. Rasa penasaranku itu. Dapat membunuhku nantinya, aku mengenalnya. Tapi aku—Emabell, juga sudah mengenal rasa sakit dari hidup yang aku inginkan. ***Hutan. Bagian perbatasan. "Luar biasa!" seperti tel
Selamat membaca. Kepalsuan yang pada akhirnya ku nyatakan dalam tangisan, menjadikannya kepercayaan yang tak akan pernah ingin hatiku terima. Dia—Artarus, sedang mencangkul ladang yang kami buat sendiri. Agar, kami tak perlu bersusah payah ke pasar yang akan membuat kami ketahuan. Aku yang memutuskan untuk percaya padanya, dan ia menunjukan ketulusan hatinya dengan menjagaku. Yang aku tahu konsekuensinya adalah kematian. Hidup sebagai pengkhianat. Itu pasti tidak mudah baginya. "Kau akan memandangku seperti itu, tak membantuku Emabell!"Aku tersenyum padanya. Tidak tahu sejak kapan, aku bisa tersenyum dan menjadi diriku sendiri. Meski ini, bukan Clossiana Frigga. "Iya, iya!" seruku. Lalu membantunya untuk menyiram tanaman yang mulai tumbuh. 1 bulan, dua hari. Aku tidak pernah menyangka, kalau hidup sendirian seperti ini. Dengan orang baik, dan paksaan, tanpa intimidasi, bebas. Bisa sedamai ini. "Kalau semuanya berbuah, ladang ini akan penuh dengan pohon kan, ya?""Tentu saja. K
selamat membaca. Tetapi malam itu.Uhuk! Uhuk! Uhuk!Aku sakit, sebab aku masih bergantung pada darah baginda—aku pikir akan berakhir, tapi nyatanya. Langit, tidak mencintaiku.Untungnya. Artarus tak mengetahui apapun, aku pun bingung. Mengapa dia, bisa tak tahu apa-apa. Sedang ia, adalah orang yang penting bagi raja. "EMABELL JAWAB! DIMANA AKU HARUS MENEMUKAN OBATMU?" Ia berteriak karena marah. Sedang aku terbaring lemah, dengan bibir dan keringat dingin yang membasahi tubuhku. Aku hanya bisa tersenyum padanya. "Aku akan mendapatkan kedamaian itu Ar…""Tapi kalau kau mati!""Itu berarti, aku hanya sedang tidak beruntung saja.""EMABELL!""Ar…""Kau tahu obatnya. AKU TAHU KAU BISA MERACIK! JADI KATAKAN, DIMANA OBATMU ITU. MANUSIA LEMAH!" Kasar. Tapi aku tak begitu peduli, sebab Ar. Hanya sedang emosi saja. "Hah, aku hanya kelelahan. Hanya terlalu banyak menikmati malam di atap, jadi jangan cemas. Ar!" kataku. Namun tiba-tiba saja, Ar memegang tanganku. Lantas kepalanya tertunduk
Selamat membaca. Killian, ternyata adalah seorang pria yang berada di pihak putih. Ia tidak memihak siapapun, ia hanya memikirkan harta. Itu sebabnya Dia—Killian, malah nyatakan sebagai penjahat yang cinta damai. Sebab tak ada yang mau berurusan dengan pria yang memiliki kemampuan, yang sama dengan Almosa milik Darka! Aku tidak tahu, dan tidak mau tahu. Sebab yang aku inginkan hanyalah Killian, tetap ada disisiku. Tap! Tap! Tap! Suara seseorang mendekat, langkah kaki berat itu. Aku tahu siapa itu?"Baginda!"Takut bertemu dengannya, malam ini. Aku memutuskan untuk bersembunyi di bawah kasur. Berharap ia tak menemukanku, meski aku tahu semua yang aku lakukan adalah sia-sia. Namun tiba-tiba saja, ia masuk. Tetapi hanya duduk di pinggiran tempat tidur. Hingga aku, bahkan bisa melihat jubah panjang yang menutupi kakinya saat ini. "Emabell, keluarlah!"Tapi aku sedang tak ingin bertemu dengannya. "Kau menjanjikan hal ingin aku dengar pada orang lain, pada pria lain. Dengan nama ya