Seperti dugaanku pagi ini Erland sudah berangkat kerja ketika aku datang rumah baru kami. Pintu masih bisa kubuka dengan kunci sidik jari, tapi kini harus kutambahkan sederet pasword yang juga masih sama.
Aku langsung ke kamar utama di lantai dua untuk mengambil baju ganti tambahan untukku dan baby Ghaazi. Kuputuskan datang pada saat Erland tidak ada karena memang belum siap bertemu, bahkan baby Ghaazi tidak kubawa supaya bisa lebih cepat dan ringkas menuntaskan rencana pagi ini.Hari ketiga menginap di rumah Om Rudi, kupikirkan langkah yang harus kuambil setelah mendengarkan nasihat orangtua Rivana dan tentu saja orangtuaku."Kenapa tidak pulang ke rumah, Nak? Kamu khawatir bunda jadi terbebani memikirkan nasibmu dan cucu bunda ya?" Bunda mengelus pucuk kepalaku ketika tangis tanpa suara kulabuhkan dalam pelukannya.Kuanggukan kepalaku membenarkan kata-katanya, lama aku hanya mendekap tubuh beliau mengumpulkan kekuatan sebelum mulai bercerita. SSudah lewat tengah hari ketika tiba di kediaman om Rudi, Erland turun dari mobil mengikutiku tanpa diminta."Terima kasih, Mas?" Kuucapkan singkat menerima tas yang diangsurkannya. Langkahku segera berbalik masuk, sekali lagi tanpa mengajaknya."Aku mau bicara sebentar dengan om atau tante Fifi. Bisa tolong sampaikan ya Al?" Erland berinisiatif duduk di kursi teras yang berupa bangku kayu panjang etnik dengan beberapa bantalan segiempat bermotif.Tante Fifi yang segera menyongsong keluar begitu kusampaikan permintaan lelaki itu. Entah apa yang ingin disampaikan Erland, aku memilih tidak ingin tahu. Kutemui baby Ghaazi yang dijaga oleh suster.Ternyata putraku sedang tidur, suster mengatakan selama di tinggal beberapa jam tadi baby Ghaazi tidak rewel. Dia sedang asik-asiknya belajar jalan, jadi itu sudah menguras atensi dan tenaga hingga cepat tertidur.Sepertinya Erland juga meminta izin bertemu anak kami karena tante Fifi sempat menengok
Tak bisa lagi kutahan rindu pada baby Ghaazi, putraku. Pukul sebelas pagi kulajukan mobil ke arah kediaman om Rudi, setelah kemarin tak bisa kutemui karena putraku sedang tidur siang.Kupelankan mobil begitu melihat Alia turun menggendong anak kami disusul oleh susternya menjinjing tas perlengkapan bayi. Mereka memasuki rumah dan mobil pun meninggalkan halaman rumah.Sepertinya Alia datang entah dari mana menggunakan taksi online. Perlahan kuparkir mobil lalu turun dan memencet bel. Rumah yang tidak terlalu asing karena dulu sering mengunjungi atau menjemput Rivana saat kami melakukan pendekatan.Siapa sangka jodohku ternyata justru sepupunya, Alia. Seorang ART yang membuka pintu sudah mengenalku dengan baik, jadi langsung kukatakan tujuanku bertemu Alia dan putraku."Silakan masuk bila ingin bermain dengan putranya, Pak? Tidak apa-apa bila saya tinggal Egha sebentar?" Suster yang kemudian menemuiku dengan menggendong baby Ghaazi. Kusambut putraku dan mempersilakan wanira itu meningg
Pasir pantai yang berbutiran halus berwarna putih berulang dijilati ombak yang setia mendatangi. Nayla tertawa riang setiap kali air menyentuh kakinya, telapak tangannya pun sudah penuh dengan kerang yang dipunguti di antara bulir pasir."Kenapa dedeknya nggak main lagi di sini, pa?" Putriku menunjuk baby Ghaazi yang sudah dibawa Alia berteduh di lesehan tenda yang kami sewa. "Dedek tidak bisa berlama-lama di bawah matahari, Nay? Tempo hari barusan dirawat di rumah sakit. Kasihan kan, kalau sampai jatuh sakit lagi?" jawabku menjelaskan. Putriku mengangguk paham lalu mulai bermain air lagi. Mengajak Alia dan putranya semata untuk menghadiahkan piknik yang cukup berkesan buat Nayla. Rasanya kurang rame kalau cuma kami berdua, sementara mantan istriku sudah sejak awal menyatakan tidak ikut serta.Ternyata Alia bersedia bergabung untuk sejenak menghirup udara di alam terbuka, sekalian mengenalkan pantai pada baby Ghaazi. Tante Fifi yang juga mendoro
Sama sekali tak kusangka, Rivana yang tampil menahan gempuran tidak setuju ayah-bunda dan om Rudi-tante Fifi. Keputusanku bekerja di Surabaya dengan membawa baby Ghaazi serta merta membuat bunda menangis tertahan, sementara ayah terdiam. "Tidak perlu sejauh itu menghindari Erland, Om akan membatasinya menemui kamu atau baby Ghaazi." tolak om Rudi sekaligus mengajukan solusi. Sementara di samping beliau nampak raut wajah tante Fifi penuh kekhawatiran."Pa, menurut Riva pilihan Alia patut dipertimbangkan? Dia bukan semata mau kabur dari Erlan, tapi mengambil kesempatan mengaktualisasi diri dalam profesi?" sanggahan Rivana mengejutkanku. Semua mata kini tertuju pada sepupuku itu."Alia membawa serta putranya, bagaimana kalau kewalahan di sana? Merawat anak kecil sambil bekerja itu tidak gampang, Va?" Tante Fifi kali ini yang bicara."Kan ada suster, ma? Di sana juga ada oma baby Ghaazi. Riva yakin sekali, tante Netty tidak akan mengabaikan cucunya w
Tiba di kota Surabaya siang ini, maka hanya tersisa tiga hari aku mulai masuk kerja. Baby Ghaazi dihandel penuh oleh mama Netty dan suster, sementara kuistirahatkan rasa penat yang mendera disebabkan persiapan yang mendesak tiga hari yang lalu.Rasanya mataku cepat sekali terpejam saat berbaring di kamar. Di tengah tidurku tangisan baby Ghaazi terdengar nyaring, mungkin rewel karena kecapekan juga. Kucoba abaikan dan meneruskan istirahat demi rencana besok keliling mencari rumah kontrakan.Hanya berselang beberapa saat putraku kembali menangis kencang, memaksaku bangkit dan membuka pintu kamar."Erlan! Jangan membuat papa dan mama kehilangan kepercayaan dari Alia, kamu memaksa menyusul ke sini padahal jelas-jelas dia ingin tenang menyikapi persoalan kalian!" terdengar suara papa Kaffa membuatku tak jadi menuju anak tangga.Erland nekat menyusul kami? Kugigit bibir menahan rasa kesal. Berarti tangis putraku tadi tersulut sikap papanya memaksa hingg
Kemana sih, Erland? Dua hari ini tidak bisa kuhubungi. Pesan pada sekretarisnya pun hanya minta pending semua agenda selama tiga hari.Apakah dua hari ini, Alia yang menahannya sampai tidak ngantor segala? Atau mereka pergi berlibur, mungkin Erland mau membayar kesalahannya yang tidak bisa segera pulang sewaktu baby Ghaazi sakit? "Alia sekarang tinggal di rumah om Rudi, padahal sudah kukatakan biar aku saja yang mengalah pindah ke citraland, bila sementara ini dia belum bersedia kami tinggal satu atap lagi?" Erland mengungkapkan hal itu terakhir kami bertemu. Aku yang enggan terlibat percakapan mengenai Alia dan putranya, hanya mendengarkan saja tanpa berkomentar. Bagiku topik tentang kemarahan Alia tak ada manfaatnya diperpanjang, aku lebih suka menikmati waktu kami dengan hal nenyenangkan lainnya."Bagaimana kalau kita dinner malam ini?" kutawarkan demikian Erland hanya mengangguk dan lantas bangkit kembali menekuni dokumen di meja kerja. "Oke, kutunggu pukul delapan." Kukecup rin
Apa yang membawa langkahku sepagi ini ke rumah Tyas adalah kebiasaan yang sudah menahun. Sejak SMA hingga kuliah di Surabaya, bertiga Feysa kami kompak sebagai teman sekolah-teman kuliah meski beda prodi, teman jalan-teman curhat.Lulus S1 Komunikasi aku mengikuti Tyas yang mengelola bisnis orangtuanya tinggal di ibukota, sedangkan Feysa melanjutkan studi ke Singapura. Otomatis aku dan Tyas semakin sering menghabiskan waktu bersama, tanpa Feysa.Pagi ini aku singgah berniat mengajaknya jogging di ruang terbuka hijau, manakala mataku mengenali mobil yang terparkir di halaman adalah milik Erland. Sepagi ini dan di hari weekend pula, apa gerangan Erland di sini? "Kamu, Mer?" Tyas membukakan pintu dengan muka bantal. Astaga, apa dia baru bangun tidur waktu ku bel tadi. Aku menerobos langsung masuk ke dalam rumah yang tak asing."Jogging, yuk?" Tawarku menelisik sebentar tampilannya yang masih dibalut piyama. Mobil milik Erland yang terparkir di luar
Kesunyian sekian menit melingkupi kami dibuyarkan oleh sapaan Fakih yang berjalan menuruni tangga. Sosoknya tampil dalam outfit seni formal dan cuma membalas senyumku dengan sedikit tarikan bibir saja. Huufffh. Masih marah rupanya."Hai bro, sudah ketemu dengan Arumi?" sapaannya ditujukan pada Erland, sedangkan aku cuma dilirik sekilas."Belum, dia masih dengan assistennya di belakang." sahutan Erland terdengar lega, mungkin dia merasa bebas dari sindiran atau interogasiku selanjutnya "Temuilah dulu, habis itu kita keluar. ada yang asik nih?" Fakih menunjukkan sesuatu di layar ponselnya, sepertinya suatu hal yang hanya menarik bagi kaum adam saja."Bukannya Merlin sudah menunggumu?" sergah Erland sambil melirikku sekilas. "Kami tidak ada acara, tujuannya datang buat bertemu mami dan Arumi saja?" Kali ini kutangkap jelas nada sindiran untuk kebiasaanku mengambil hati keluarga Fakih, lalu kujadikan tamengku bila kami berseteru."