Setelah beberapa hari sadar dan kondisinya semakin membaik, Dewa dipindahkan ke ruang rawat inap. Tubuhnya terlihat lebih segar namun tak dapat bergerak, apalagi kaki yang terlanjur patah.
Beberapa bagian tubuhnya kaku dan setiap hari mendapatkan terapi agar kembali normal berfungsi.
Laki-laki itu hanya bisa pasrah selama menjalani proses penyembuhan. Kadang di saat malam dia merintih kesakitan dan tak seorang pun yang tahu karena sudah tertidur lelap. Namun dia ikhlas menerima takdir. Ada banyak orang-orang terkasih yang menginginkan kesembuhannya. Itu yang membuat semangatnya tetap hidup.
Seperti pagi ini, ketika matanya terbuka, tampak sosok sang istri yang setia mendampingi.
"Mas, mau makan apa? Buah?" tanya Dara saat melihat suaminya terbangun.
Semenjak Dewa dipindahkan ke kamar perawatan, Dara memilih untuk menginap di rumah sakit dan mengurus suaminya bersama ibu mertua. Bergantian, dengan Arya sebagai supir yang mengantar
Dara terbangun dan mendapati pembalut yang dipakainya penuh berisi cairan. Perlahan tapi pasti rasa nyeri mulai menghantam perutnya. Hilang, datang. Begitu secara terus menerus."Ya Allah, kenapa ini?"Wanita itu berjalan ke kamar mandi dan melihat bahwa ada juga bercak darah."Ada apa, Ra?" tanya Arya saat dia sudah keluar dari kamar mandi."Kak. Tolong aku! Bawa ke depan," katanya dengan panik.Dewa menatap istrinya dengan bingung sementara Ciara terdiam melihat mamanya yang kesakitan."Ra?" tanya Dewa, namun Dara mengabaikannya. Rasa sakit semakin menghebat hingga dia tak tahan."Ayo, kakak antar." Kedua tangann Arya sudah memegang lengan Dara, ketika adik iparnya itu hendak terjatuh."Cia tunggu disini sama papa. Mama ke depan periksa," pesan Dara sebelum akhirnya mereka keluar.Tertatih dia berjalan. Arya memanggil seorang perawat yang kebetulan lewat dan meminta kursi roda.
Dua pasang mata itu saling bertatapan. Dara menggenggam erat jemari suaminya. Hampir tiga minggu Dewa dirawat dan kini kondisinya semakin membaik. Berbagai terapi diberikan untuk mempercepat kesembuhannya.Lelaki itu sudah bisa bicara. Namun, masih banyak kerusakan di beberapa bagian tubuh lain yang perlu pengobatan lebih lanjut. Dokter bilang, harus dilakukan operasi sekali lagi untuk membuka pen yang masih menempel sebagai penyambung tulang.Efek dari benturan itu juga berdampak kepada hilangnya beberapa memori. Ada kenangan tertentu yang hilang total. Untungnya, dia masih mengingat keluarga.Dia juga tidak bisa bekerja untuk sementara waktu. Kemampuannya sebagai seorang arsitek hilang. Sehingga modal yang dia tanam pada usaha bersama dilepas kepada rekan yang lain. Mobil, juga beberapa aset dijual karena setelah keluar dari rumah sakit, lelaki itu masih membutuhkan banyak biaya untuk terapi dan pengobatan."Kita pulang sekarang ya, Mas."
"Assalamualaikum."Arya mengetuk pintu rumah adiknya. Mulai hari ini dia yang akan mengantar jemput Ciara pergi sekolah, juga Dara saat bekerja.Sejak kepulangan Dewa dari rumah sakit, dia yang mengambil alih tugas. Dari mengurus Dara dan Ciara, hingga membantu biaya kebutuhan sehari-hari."Pak Dewa." Bibik membukakan pintu lalu mempersilakan masuk."Om!" Ciara bersorak kegirangan saat melihat pamannya datang."Udah siap?""Udah, dong!" jawab Ciara dengan mata berbinar."Mama mana?" tanya Arya sambil mencari sosok Dara."Di kamar.""Coba panggil. Nanti kita terlambat."Ciara masuk ke dalam dan berteriak memanggil Dara."Eh, Kakak udah datang. Sebentar."Dara terlihat sedang memasang peniti pada hijabnya. Setelah semua yang musibah yang terjadi, dia memutuskan untuk menutup rapat seluruh auratnya. Ini hari pertama masuk kerja, sehingga Dara ingin tampil baik."Kamu makin cantik
"Anak-anak demikian pelajaran kita hari ini. Jangan lupa tugas yang ibu berikan dikumpul minggu depan. Seperti biasa juga, bagi yang tidak mengerjakan maka akan membantu ibu mengoreksi tugas teman-temannya," ucap Dara tegas."Huuuu ...."Terdengar riuh suara sebagian murid yang merasa keberatan dengan 'hukuman' yang Dara terapkan. Dia memang tegas tapi selalu dirindukan."Yang komplain nanti tugasnya double," katanya."Huuuu ...."Dara melipat kedua tangannya di dada dan memandang satu persatu dengan galak."Kalau gue sih, mau aja dihukum kayak gitu. Asal bisa berduaan dengan Bu Dara," kata seorang siswa yang disambut dengan suara riuh oleh yang lain.Wanita itu menarik napas panjang. Sekarang kalian bereskan buku.alu pergi ke aula. Jam pelajaran terakhir ditiadakan karena ada sosialisasi dari dinas kesehatan.Kali ini suara sorak senang terdengar kencang. Sejak zaman Dara sekolah dulu, jika ada jam pelajaran yang ditiadaka
Kursi roda didorong pelan melewati lorong rumah sakit. Dua pasang kaki yang berjalan mengiringinya. Sejak dalam perjalanan hingga tiba disini, Dewa lebih banyak diam. Ada sedikit rasa takut saat menjalani terapi hari ini.Dara dan Arya juga berlaku sama. Tidak ada banyak percakapan kecuali hanya basa-basi. Apalagi wanita itu memang kesal dengan perlakuan kakak iparnya.Mereka berbelok ke kiri saat tiba di ujung lorong. Ada banyak ruangan disitu. Dara mencari tulisan fisioterapi pada papan nama di setiap ruangan."Mau daftar." Wanita itu menyerahkan sebuah kartu yang diambil dari dompet dan menyerahkan ke bagian pendaftaran."Silakan ditunggu. Nanti akan dipanggil menunggu giliran."Dara duduk di bagian ujung kursi tunggu, berdekatan dengan Dewa. Bibirnya menekuk saat Arya dengan begitu santai duduk di sebelahnya persis sehingga mereka tak berjarak."Nanti temani Mas di dalam ya, Ra.""Iya. Mas tenang aja. Aku temani, kok." Jemari merek
Dara menjadi serba salah saat Riri menatapnya dengan penuh tanda tanya. Hati jumat minggu lalu dia izin untuk mengantar Dewa terapi dan digantikan oleh guru lain. Ternyata sahabatnya itu menunggu untuk meminta penjelasan.Sekarang, mereka duduk berdua di kantin yang sudah sepi setelah selesai mengajar. Kali ini Riri yang mentraktirnya makan."Aku gak ada hubungan apa-apa dengan Radit. Beneran!" kata Dara berusaha meyakinkan."Tapi dari ucapannya membuktikan kalau kalian cukup dekat.""Dia sahabatku waktu SMA dulu. Kami memang ... pernah dekat," jawab Dara.Gadis itu menganggukkan kepala, apalagi melihat Dara yang sedikit gugup."Dia suka sama kamu, Ra. Dari tatapannya kelihatan.""Aku udah punya suami, Ri. Sekalipun Mas Dewa sedang tertimpa musibah, aku gak akan meninggalkannya.""Kamu udah jatuh cinta benaran sama Dewa, Ra.""Sepertinya iya. Aku gak bisa kehilangan dia. Bahkan aku sampai lupa mengurus diri send
Dara membuka mata saat alarm berbunyi. Hari masih gelap dan dia masih mengantuk. Tangannya memegang bantal di samping dan tak mendapati Dewa berada di sana."Mas?" Dia menyalakan lampu kamar dan menatap sekeliling.Astagfirullah. Dara mengucap istigfar berulang kali, lupa kalau suaminya sedang pergi berobat di luar negeri.Wanita itu mengambil wudhu dan menunaikan dua rakaat. Doanya masih sama, meminta kesembuhan untuk sang suami dan kelanggengan rumah tangga mereka.Setelah selesai, wanita itu keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Tidak ada Bibik mulai sekarang. Wanita paruh baya itu meminta pulang ke kampung untuk menemui anaknya.Berat hati tapi Dara mengikhlaskan. Kini mereka hanya tinggal berdua. Untunglah, sekolah putrinya sudah berpindah ke tempatnya, sehingga memudahkan antar jemput.Dara membuka lemari pendingin dan mengeluarkan beberapa box makanan beku untuk dihangatkan. Selama Dewa pergi, ibunya rutin me
Dara membuka kelopak mata saat mendengar bunyi benda terjatuh. Kepalanya terasa berat. Rasanya baru saja dia memejamkan mata, lalu terbangun di jam segini.Pelan dia membuka pintu dan menyalakan lampu. Bunyi berisik kembali terdengar. Sepertinya ada orang di dapur. Tapi siapa? Apa ada maling yang diam-diam menyusup Semua jendela dan pintu sudah dikunci. Lalu bagaimana dia bisa masuk?Wanita itu memasang baik-baik telinganya. Sepertinya maling ini nekat kerena berani membongkar isi dapur.Dara berjalan ke ruang tamu dan mengambil raket nyamuk, sebagai alat untuk membela diri jika terdesak. Jika sampai si maling ini berani mencelakai, maka dia akan menyetrumnya.Dalan kondisi gelap dia berjalan kenbaki ke dapur. Tampak sosok tinggi besar sedang membongkar isi kulkas.Dia mengendap dan melangkah pelan agar tak menimbulkan suara. Jarinya sudah dalam posisi menyentuh tombol on pada raket nyamuk. Lalu ....Suara teriakan kesakitan dise
Dara mengernyitkan dahi ketika mobil Dewa berbelok ke arah rumah. Tadinya, dia berpikir kalau mereka akan menjemput anak-anak setelah acara akad nikah Riri. "Kita gak jemput anak-anak, Mas?" tanya wanita itu heran. Dewa menjawab pertanyaan istrinya dengan gelengan dan bersiul sembari menyetir. Lelaki itu sudah mengatakan kepada mamanya bahwa mereka akan datang ke sana setelah Magrib. Jadi, masih ada beberapa jam untuk bisa berduaan. "Kasihan Sarah, Mas. Nanti dia cari aku," ucap Dara. Setiap ada undangan pernikahan, mereka memang jarang membawa anak-anak. Namun, Dara juga tak akan pergi lama. Setelah acara selesai dia akan menjemput mereka. "Mas kenapa, sih? Kok aneh?" tanya Dara saat mobil sudah terparkir di halaman rumah. Dewa menarik lengan istrinya saat mereka akan masuk. Suasana sepi siang ini karena tak banyak kendaraan yang berlalu lalang di sekitaran komplek. Apalagi cuaca agak mendung, sehingga membuat
Dara menuntun Riri memasuki ruangan itu. Sahabatnya itu adalah anak tunggal sehingga hanya dia sendiri yang mendampingi. Ada sepupu dan keponakan, tetapi justeru dia yang dipilih. Acara pertunangan ini mirip dengan yang biasa dilakukan oleh para artis di televisi. Hanya saja dibatasi dan dihadiri oleh keluarga. Namun, dekorasi yang mewah sudah menjawab bahwa Radit tak main-main dalam mempersiapkan masa depannya. Seserahan yang dibawa dari pihak laki-laki cukup banyak. Dara sampai tertegun saat melihat isinya. Apalagi ketika Riri memperlihatkan cincin berlian yang dibeli Radit untuknya. "Radit royal banget ya, Ra. Aku tegur dia biar gak terlalu berlebihan," curhat Riri sehari sebelum acara dilangsungkan. "Ya gak apa-apa. Kan buat istri sendiri. Lagian dia memang udah mapan. Udah punya rumah sendiri. Nanti habis nikahan bisa langsung kamu tempati. Kayak aku sama Mas Dewa dulu.
Satu minggu kemudian. Suasana di ballroom hotel itu begitu meriah. Setiap sudut ruangannya berhiaskan bunga-bunga, juga penggung tempat kedua mempelai bersanding. Berbagai lampu kristal menhiasi setiap sudut ruangan. Dekorasi yang begitu mewah menandakan bahwa yang mempunyai acara adalah keluarga terpandang. Apalagi saat melihat sajian dan souvenir untuk para tamu. Juga bagusnya pakaian yang dikenakan oleh para bridesmaid dan groomsmen. Keysa tampak anggun dengan gaun pengantin putih rancangan seorang designer terkenal. Sebuah mahkota bertahtakan berlian tersemat di kepalanya. William memesan itu sebagai tanda bahwa wanita itu adalah ratu di hati dan hidupnya. Keysa menyambut para tamu dengan antusias sekalipun perutnya begitu kentara terlihat. Wanita itu tampak santai, begitu pula dengan keluarganya. Bahkan William kerap mengusap perut istrinya selama acara berlangsung. William terlihat begitu gagah dengan jas hitam ya
Dara menatap wajah Dewa dengan gamang. Ucapan suaminya tadi cukup membuat hatinya galau setengah mati. Jika dia mengiyakan penawaran itu, maka mereka akan memulai hidup baru di kota lain. Bukannya Dara tak mau mengikuti Dewa bertugas dan mengabdi sebagai istri yang taat. Hanya saja beradaptasi dengan lingkungan baru itu cukup melelahkan. Apalagi Sarah masih kecil. Sekolah Ciara juga harus pindah jika sampai itu terjadi. "Ini kesempatan emas buat kita. Kalau menjadi kepala cabang, tentunya penghasilan aku bakalan lebih besar. Jadi kalian bisa lebih sejahtera," bujuk Dewa lembut. Dara masih menatap suaminya dengan perasaan tak menentu. Istri mana yang tidak tergiur jika dijanjikan kemewahan dunia. Namun, hatinya masih bimbang. Dewa yang melihat Dara tampak meragu, akhirnya memilih untuk mengalah dan tak mau memaksakan kehendak. "Tapi tentunya kalau kamu setuju. Kalau gak mau, aku ikhlas walau cuma jadi manager di sini,"
Sebuah panggilan membuat Dewa menoleh. Tampak sosok Keysa, dengan perut yang terlihat membulat, berjalan agak cepat untuk menghampirinya."Wa!""Ada apa?" tanya lelaki itu malas. Dia sudah menduga apa yang akan dilakukan oleh Keysa."Kamu udah lunch?"Dewa membuang pandangan karena kesal. Hampir setiap hari Keysa datang dan mengajaknya makan siang. Hal itu membuatnya malas karena tak enak hati kepada William. Lelaki itu pastilah menyimpan rasa cemburu karena calon istrinya berduaan dengan lelaki lain.Hanya saja Dewa belum tahu apa yang harus dilakukan untuk menolak keinginan Keysa. Jika dia bersikap kasar, dikhawatirkan akan berdampak pada pekerjaan."Udah," jawab Dewa berbohong. Padahal dia baru saja akan makan di ruangan, karena hari ini memesan secara online."Yah, aku telat, dong!"Raut wajah Keysa berubah kecewa. Sekalipun begitu, wanita itu tetap terlihat cantik. Kehamilan membuat tubu
Radit menggosok tangan karena gugup. Sementara itu kedua orang tuanya malah tersenyum geli. Hari ini mereka akan melamar Riri, berdasarkan musyawarah kedua belah pihak. Acaranya tidak formal, hanya pertemuan dua keluarga inti. Nanti jika mereka mencapai kesepakatan, baru akan diadakan acara pertunangan yang melibatkan keluarga besar."Ayo pencet belnya. Masa' gitu aja takut," ucap papanya.Radit menarik napas panjang untuk mengurangi rasa gelisah. Lelaki itu menatap mamanya berulang kali untuk meminta kekuatan."Anak mama ini. Ngobatin gigi yang parah aja berani, masa mau ke rumah calon mertua takut," ledek mamanya.Radit kembali hendak menekan bel ketika tiba-tiba saja pintu rumah terbuka. Hal itu membuatnya terkejut dan hampir berteriak. Sosok Riri yang berbalut gamis muncul menyambutnya."Eh, calon istri," ucapnya spontan.Semua orang tergelak mendengar ucapannya. Lalu, Radit langsung membuang pandangan dengan wajah mero
Riri tertegun saat membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Gadis itu mengusap dada karena tak percaya dengan apa yang baru saja dia baca.'Hari Minggu nanti Mama sama Papa aku aku mau datang ke sini. Apa boleh kami ke rumah kamu?'Radit mengirim pesan itu satu jam lalu dan Riri belum sempat membalas. Gadis itu masih mengajar hingga siang hingga tak sempat menyentuh ponsel. Ketika jam istirahat tiba, dia langsung membaca kotak masuk dan terkejut membacanya.'Oke.'Hanya itu yang Riri ketikkan saat membalas. Dia kelaparan karena tadi pagi hanya sarapan sedikit. Gadis itu bergegas ke kantin dan memesan semangkuk bakso sebagai pengganjal perut."Sendirian, Neng?"Sebuah suara mengejutkan Riri. Gadis itu menoleh dan mendapati Dara sedang menghampirinya."Loh, kamu kok ke sini?""Kangen sekolah. Kangen mie ayamnya."Riri menggeser posisi dan membiarkan Dara duduk di sebelahnya. Gadis itu melambaikan tangan ke
Riri menepikan motor di parkiran rumah sakit dan membuka jaketnya. Cuaca cukup dingin pagi ini. Dia tidak mengajar karena ini hari Sabtu. Wanita itu ingin bertemu dengan kekasihnya. Sudah lama mereka lost contact. Sejak keberangkatan Radit untuk mengikuti seminar, lelaki itu seperti hilang ditelan bumi.Padahal Radit berjanji akan melamarnya sepulang dari luar kota. Riri menunggu dengan sabar. Sayangnya, entah mengapa lelaki itu sulit dihubungi."Poli gigi di mana ya?" tanya Riri kepada salah satu petugas resepsionis yang berjaga di depan."Mbak sudah daftar?""Saya bukan pasien. Saya mau ketemu Dr. Radit," jawabnya dengan yakin.Resepsionis itu memandang Riri dengan lekat seolah-olah mencari tahu identitasnya. Radit adalah salah satu dokter favorit di rumah sakit ini. Selain berwajah tampan, lelaki itu juga ramah kepada karyawan lain dan pasien.Status Radit yang masih lajang juga menambah nilai plus, sehingga banyak
Kantor pagi itu terlihat lebih meriah dari biasanya. Seluruh ruangan tertata rapi dengan tambahan beberapa perabotan baru. Para karyawan berpenampilan terbaik hari ini karena pemilik perusahaan akan berkunjung. Ada banner ucapan selamat datang di depan pintu masuk. Nama William tertulis besar sebagai penghormatan. Sepasang kekasih itu turun dari mobil sembari bergandengan tangan. Mereka saling bertatapan mesra dan tersenyum senang. Keysa tampak semakin cantik karena tubuhnya terlihat lebih berisi. Perutnya memang membuncit karena ada janin yang sedang bersemayam di dalamnya. "Kenapa aku harus ikut ke kantor?" bisik Keysa ketika beberapa orang menghampiri mereka. "Karena aku ingin memperkenalkan kamu kepada semua karyawanku," jawab William dengan bahasa yang kaku. Sejak Keysa menyetujui perjodohan mereka, William mulai mempelajari banyak hal mengenai Indonesia. Dia mulai mencicipi berbagai menu khas daerah, juga belajar