Ruby terbangun dengan tubuh berkeringat, dan lengket, juga tidak ingat kapan dan bagaimana ia kembali tertidur. Ruby ingat ia minum, dan duduk di sofa, tapi setelah itu tidak tahu. “Jangan sakit.” Ruby bergumam jengkel.Ruby biasanya sangat jarang sakit sebelum ini, tapi memang sebelumnya juga ia tidak pernah berenang saat dini hari.Ruby memandang sekitar dan nyaris saja menjerit terkejut karena ada Ed berbaring di sampingnya. Tertidur nyenyak, masih memakai baju lengkap. Ruby langsung merasa bersalah. Dirinya yang membuat Ed menjalani hari tidak masuk akal. Ia telah tanpa sengaja menyeret Ed dalam kerandoman karena stress berlebih. Pertemuan dengan ibunya, Esli, rencana baru adalah hal yang terlalu berat untuk dipikirkan bersamaan.Ruby mencatat dalam hati kalau ia tidak boleh lagi kehilangan kendali seperti kemarin. Apa yang dilakukannya menjadi tidak masuk akal.Ruby turun dari ranjang, dan yang pertama dilakukan adalah menurunkan suhu penyejuk udara. Ruby tahu suhu kamar itu h
Ruby membalik kulit tortila yang sudah kecokletan dua kali, memastikan semua sisi telah hangat baru memindahkannya ke atas piring. Isiannya telah siap, jadi Ruby tinggal menata dan menggulungnya. “Kau bisa memasak?” Ed masuk ke dapur dengan rambut basah dan handuk. Tertarik karena ia mencium aroma makanan begitu keluar dari kamar mandi. “Hanya menghangatkan. Ini masakan Tita bukan?” Ruby menunjuk pasta kacang yang akan menjadi kelengkapan burrito. Ruby mengenali rasanya begitu mencicipi kelayakannya tadi. Kulkas yang ada di rumah itu berisi makanan yang cukup lengkap, hanya tinggal dihangatkan dan semua berasal dari Tita. “Ya. Dua atau tiga hari sekali Tita akan mengirim makanan ke sini.” Ed mengangguk. Tapi biasanya makanan itu lebih banyak terbuang. Ed jarang memanfaatkan seperti Ruby saat ini. “Kau pernah memasak.” Ed berkomentar saat melihat Ruby cukup cakap saat menggulung kulit tortila beserta isinya—daging dan aneka jenis sayuran. “Pernah kalau hanya menghangatkan. Tidak me
“Deretan ini akan cocok untukmu.” Ed menunjukkan deretan buku yang memang memiliki ketebalan di atas rata-rata.Tapi mata Ruby hanya tertuju pada satu buku, dan langsung menurunkannya.“Kau punya! Kau sudah membacanya.” Ruby menunjukkan buku yang tadi baru saja dibahasnya.“Kenapa kau tidak mengatakan apa pun?” Ruby langsung merasa tenaganya untuk menjelaskan terbuang percuma.“Aku tidak ingin merusak kebahagianmu.”Ruby sudah menghela napas—ingin meneruskan amarahnya, tapi langsung mengempis saat mendengar alasan itu. Tidak mungkin bisa marah lagi saat alasannya seperti itu. Ed hanya tidak ingin memutus aliran antusiasme itu.“Dan aku mungkin perlu mendengar review langsung karena membutuhkan alasan agar bisa menyelesaikannya.” Ed menunjukkan pembatas buku yang berada di sepertiga bagian buku itu. “Buku ini bukan jenis favoritku, tapi aku akan menyelesaikannya nanti. Sepertinya banyak bagian menarik yang akan datang.” Ed tidak menyebut buku itu jelek, tapi jenis yang bukan favoritny
Ruby bahkan memejamkan mata sebelum Ed menutup matanya dengan tangan, dan langsung menerima saat bibir Ed melumat dengan serakah. Tidak lembut merayu, karena tahu Ruby juga menginginkannya. Ed tidak melihat ada yang salah kali ini. Ruby tidak memaksakan dan normal. Nafsu itu ada karena memang Ruby menginginkannya. Ruby tidak sedang putus asa atau nekat. Ia hanya sedang menikmati apa yang bisa dimilikinya saat ini. Entah esok atau mungkin nanti, Ruby tidak tahu sampai kapan ia akan bisa terus merasakan kehangatan tangan yang saat ini meremas dengan lembut, mengusap halus, dan dengan sengaja membuatnya mendesah. Ruby tidak tahu sampai kapan, tapi ia akan menerima dan membiarkan bibir itu mencumbunya. Membiarkan saat bibir itu membuatnya menggelinjang. Karena menyenangkan, karena memabukkan. “Apa kau selalu akan menjadi tidak sabar seperti ini?” Ed tertawa pelan, saat merengkuh dan mengangkat tubuh Ruby yang seakan meminta. Geliat tubuh yang terlihat sederhana, tidak berlebihan, tap
“Kau turun saja dulu.” Ruby menyuruh Ed untuk bergegas turun, dan tidak menunggunya. Ruby akan berjalan sangat lambat, karena merasa seperti terkena gempa.Ruby tadi meminta Ed untuk menyetir tanpa peduli dengan kecepatan maupun keadaannya agar bisa sampai lebih cepat ke Puerto Valarta. Ruby berhasil menahan muntah tapi tidak dengan pusing.Dan Ed sangat berterima kasih untuk pengertian itu. Termasuk bagaimana Ruby tidak mengeluh maupun ketakutan saat beberapa kali mereka nyaris menabrak tadi.Ed berlari memasuki UGD dan menemukan Mia di ruang tunggu bersama dengan Pedro.“Tia! Kau tidak menjawab semua panggilanku!” Ed berseru marah pada Mia.Selama perjalanan tadi, ia berusaha untuk menghubungi Mia lagi, tapi tidak ada jawaban.“Oh…” Mia meraba gaunnya. Tidak menemukan ponsel tapi.“Lupa… aku meninggalkannya di rumah mungkin. Entah.” Mia menggeleng. Ia tidak sempat memikirkan tentang ponsel dan hanya mengikuti ambulans tadi.“Tidak apa, Mi Amor. Kau hanya panik tadi.” Pedro mengelus
“Kau, tinggal di sini!” Ed mendorong Javier agar kembali berbaring, tapi Javier menahan tangannya.“Tidak. Aku ingin pulang. Kau lihat aku baik-baik saja.” Javier mencoba berdiri lagi dan kali ini berhasil.“Memaksakan diri bukan berarti kau sehat! Dokter belum mengizinkanmu pulang, maka aku juga tidak!” Ed menegaskan.Javier mendecak, dan kembali melepaskan diri dari Ed.“Dengarkan aku. Kalau aku tinggal di sini, maka dokter akan menyuruhku untuk meminum obat sampai aku kembali sehat. Saat di rumah aku juga akan meminum obat sampai aku sehat, tapi dengan suasana yang lebih menyenangkan. Sudah jelas aku akan memilih tetap di rumah. Hasilnya akan sama saja.” Javier berpaling pada dokter tadi.“Dokter, aku boleh pulang asal meminum obatnya bukan? Aku sudah berjanji tadi.” Javier tersenyum manis, tapi dokter itu masih berwajah kaku. Sama sekali tidak membalas senyum itu, dan hanya mengangguk samar.“Kau lihat? Aku akan baik-baik saja meski di rumah. Ayo!” Javier menarik tangan Ed agar be
“Apa sudah pagi?” tanya Ed, dengan suara mengantuk. Terbangun karena Ruby bergerak di sampingnya.“Ya. Aku akan membantu Tita dan menghiburnya. Ia merasa sangat bersalah atas sakitnya Javier.” Ruby tadi malam mendapati Tita menangis. Sakitnya Javier cukup memukul Tita, merasa kalau makanannya yang salah.“Eh?” Ruby sudah duduk, tapi tiba-tiba tangan Ed menyambar. Menghempaskan Ruby kembali ke atas bantal.Ruby menggeliat geli, saat Ed mendesakkan wajah dilehernya. Hanya seperti itu dan Ruby sudah mengeluh karena geli itu hanya sebentar, berikutnya menyenangkan. “Nanti saja,” gumam Ed. Dan memang tidak mungkin Ruby akan lari. Tangan Ed benar-benar menahannya tetap berbaring.Lalu Ruby mengutuk lagi saat hatinya kecewa karena Ed tidak melakukan apa pun selain memeluk. Ruby merasa ingin mencuci otaknya. Sepertinya terlalu rusuh oleh nafsu. Ed hanya ingin memeluk dan tidak salah, otaknya saja yang keterlaluan.“Javier aneh.” Ed bergumam lagi.“Aneh kenapa?” tanya Ruby.“Tidak biasanya ia
“Kami baik-baik saja.” Ed tetap menjawab tapi, dan seharusnya benar. Mereka tidak melakukan banyak hal—karena sebagian besar Liz hanya tidur, tapi semua obrolan santai itu tidak buruk. “Ia tidak lagi takut padaku.” Diantara semuanya. Ed paling bersyukur atas hal itu. Demikian juga Javier. “Ah… Lega!” Javier menghembuskan napas sambil berbaring di atas pasir. “Aku sudah khawatir ia akan menjauh darimu, tapi rupanya berhasil.” Javier menepuk lengan kakaknya sambil tertawa lagi. “Aku mulai melihat kalau idemu ini tidak buruk.” Ed berdiri sambil menepis pasir, lalu mengulurkan tangan pada Javier. Akan membantunya berdiri, tapi Javier menolak. “Aku masih ingin disini. Kau kembali saja dulu.” Javier mengibaskan tangan. “Tita akan menangis kalau kau tidak makan.” Ed akan memintanya untuk makan di rumah. “Kalau begitu panggil saja nanti kalau memang sudah siap.” Javier mengangkat jempol. Menuruti permintaan yang kedua. “Oke, tapi masuklah kalau matahari terlalu cerah. Kulitmu tidak cuk
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad