“Apa sudah pagi?” tanya Ed, dengan suara mengantuk. Terbangun karena Ruby bergerak di sampingnya.“Ya. Aku akan membantu Tita dan menghiburnya. Ia merasa sangat bersalah atas sakitnya Javier.” Ruby tadi malam mendapati Tita menangis. Sakitnya Javier cukup memukul Tita, merasa kalau makanannya yang salah.“Eh?” Ruby sudah duduk, tapi tiba-tiba tangan Ed menyambar. Menghempaskan Ruby kembali ke atas bantal.Ruby menggeliat geli, saat Ed mendesakkan wajah dilehernya. Hanya seperti itu dan Ruby sudah mengeluh karena geli itu hanya sebentar, berikutnya menyenangkan. “Nanti saja,” gumam Ed. Dan memang tidak mungkin Ruby akan lari. Tangan Ed benar-benar menahannya tetap berbaring.Lalu Ruby mengutuk lagi saat hatinya kecewa karena Ed tidak melakukan apa pun selain memeluk. Ruby merasa ingin mencuci otaknya. Sepertinya terlalu rusuh oleh nafsu. Ed hanya ingin memeluk dan tidak salah, otaknya saja yang keterlaluan.“Javier aneh.” Ed bergumam lagi.“Aneh kenapa?” tanya Ruby.“Tidak biasanya ia
“Kami baik-baik saja.” Ed tetap menjawab tapi, dan seharusnya benar. Mereka tidak melakukan banyak hal—karena sebagian besar Liz hanya tidur, tapi semua obrolan santai itu tidak buruk. “Ia tidak lagi takut padaku.” Diantara semuanya. Ed paling bersyukur atas hal itu. Demikian juga Javier. “Ah… Lega!” Javier menghembuskan napas sambil berbaring di atas pasir. “Aku sudah khawatir ia akan menjauh darimu, tapi rupanya berhasil.” Javier menepuk lengan kakaknya sambil tertawa lagi. “Aku mulai melihat kalau idemu ini tidak buruk.” Ed berdiri sambil menepis pasir, lalu mengulurkan tangan pada Javier. Akan membantunya berdiri, tapi Javier menolak. “Aku masih ingin disini. Kau kembali saja dulu.” Javier mengibaskan tangan. “Tita akan menangis kalau kau tidak makan.” Ed akan memintanya untuk makan di rumah. “Kalau begitu panggil saja nanti kalau memang sudah siap.” Javier mengangkat jempol. Menuruti permintaan yang kedua. “Oke, tapi masuklah kalau matahari terlalu cerah. Kulitmu tidak cuk
“Kau sudah cukup menakutinya, Tia.” Ed duduk dan langsung menegur saat Mia masuk ke ruang makan bersama Pedro.Ed tidak perlu penjelasan kenapa Liz memilih untuk memanggil Javier yang ada di pantai. Sudah pasti ia segan pada Mia, dan wajar. Mengigat sikap Mia belum berubah sama sekali ternyata. Tadi malam saat di rumah sakit adalah buktinya.Ed mengira Mia akan sedikit lebih lunak setelah pulang dari liburan itu, tapi menjauhkan Mia dari Liz tidak ada gunanya.“Apa kau bicara tentang gadis jalang itu?” Mia menyipitkan mata.“Liz. Namanya Lizeth.” Ed meminta dengan sabar. Ia tahu seperti apa sifat adik ibunya yang keras itu.“Bagiku ia tetap jalang. Aku tidak akan pernah memaafkan ayahnya! Ingat saja itu! Ramos tidak pantas menjadi bagian Rosas! Akan berbeda cerita kalau kau mempertimbangkan Marco Reyes!” Mia bersikeras.“Tia, bukan Liz yang membuat wajahku seperti ini. Esli yang…”“Kau boleh menjadi lunak setelah jalang itu membuka kakinya untukmu, tapi aku tidak akan!” Mia memotong.
“ED!” Suara Ruby akhrinya terdengar dan Ed melepaskan cekikan itu. Angelo jatuh terpuruk sambil terbatuk keras. “Maafkan… saya.” Angelo menghela napas dan mencoba berdiri. Dan Ruby kembali bingung. Kalau ada yang harus meminta maaf, maka itu seharusnya Ed, bukan sebaliknya. “Nyalimu besar sekali sampai berani berbohong dengan terang-terangan padaku.” Suara Ed semakin rendah. “Maaf, tapi Javier yang meminta ini. Saya… tidak setuju. Tapi Javier yang memaksa.” Angelo tampak menelan ludah beberapa kali agar lebih lancar bicara. “Kau masih berani membela diri?!” desis Ed. “Kita dengar dulu penjelasannya. Jangan marah dulu.” Ruby kembali merasa harus ikut campur. Mereka tidak akan mendapat jawaban kalau Ed terus emosi. “Akan saya jelaskan… tidak ada gunanya lagi menyembunyikannya.” Angelo mengangguk dengan wajah pasrah. Ed mengusap wajahnya yang mendadak berdenyut nyeri. Hal yang sudah lama tidak dirasakannya kini muncul seiring kekacauan pikirannya. “Kalian keluar.” Ed tidak spesi
“Kau puas?” ujar Ed, dengan suara serak, saat melihat Javier membuka mata dan mencari.Mata Javier menyipit. Bukan marah tapi tersenyum. Selang oksigen hanya menempel di bawah hidungnya saat ini, senyum itu sangat jelas.“Kau masih bisa tersenyum? Kau merasa kalau semua ini baik-baik saja?!” bentak Ed.Ia sungguh tidak ingin marah padanya, tapi Ed tidak mengerti bagaimana Javier masih bisa tersenyum. Tidak ada satu hal pun yang pantas ditertawakan saat ini.Javier mengangkat tangan perlahan, ingin meraih pipi Ed, tapi tidak sampai, dan tangannya tidak mampu bergerak sejauh itu.Ed akhirnya menunduk sampai ujung jari Javier bisa menyentuhnya. “Kau… tidak boleh marah. Kau sudah tua. Marah membuatmu terlihat semakin tua.” Javier mencoba tertawa, tapi terbatuk setelahnya.“Cukup.” Ed mendesis sudah separuh berdiri untuk memanggil dokter kalau batuk itu tidak berhenti, tapi Javier menggenggam tangan Ed, dan memintanya duduk kembali.“Kau tidak boleh bercanda. Aku tidak ingin mendengarmu t
“Kalau ada yang meminta lagi, bunuh saja. Aku tidak peduli siapa.” Ed bergumam malas. Ed merasa ia hanya memberi perintah sederhana, tidak ada yang boleh ikut masuk ke area pemakanan kecuali yang memang sudah diizinkan. Tapi masih saja ada orang tolol yang mencoba untuk meminta untuk ikut. Ed tidak mengerti kenapa banyak sekali orang ingin membuatnya marah, disaat dirinya sedang mencoba menjadi waras. Ed bahkan tidak ingat bagaimana bisa ia melewati hari. Otaknya seperti tidak menyimpan memori dengan benar. “Aku sudah memberi kesempatan saat di chapel tadi dan cukup. Kalau mereka ingin mengucapkan selamat tinggal, berdoa atau apa pun, maka sudah cukup.” Ed tidak akan berubah pikiran meski pun ada yang bersujud meminta. Satu-satunya orang yang boleh mengikuti sampai area makam selain keluarganya adalah Lori. Satu saja dan itu sudah cukup banyak. “Saya mengerti, Don Rosas.” Otiz mengangguk lalu berbalik dan berlari keluar. Ed menyandarkan kepala, memejamkan mata dan menekan pelipisn
Ruby hanya menatap, berniat tidak ingin menatap sebenarnya dan fokus pada Lori yang masih duduk dan menutup wajahnya dengan handuk dingin—meringankan sakit kepala dan sembab akibat terlalu banyak menangis. Tapi mata Ruby selalu kembali ke arah sudut ruangan itu. Ed duduk dengan minuman di tangannya, dengan Mayte ada di sampingnya.Mereka bicara. Tidak tahu mengenai apa, tapi bicara. Cukup lama. Terlalu lama malah menurut Ruby. Seharusnya mengucapkan duka cita tidak perlu selama itu. Ruby menghela napas saat melihat Mayte mengulurkan tangan dan menggenggam lengan Ed. “Tidak ada yang istimewa.” Ruby membatin, sementara matanya menyipit. Ed mengangguk dan menepuk tangan Mayte.“Hanya menghibur.” Ruby bergumam. Meyakinkan diri kalau tidak akan ada yang terjadi diantara mereka berdua. Wajar kalau Mayte turut berduka cita. Ia mengenal Javier pasti.“Siapa yang menghibur?” Lori menyahut. Membuka handuk dari wajahnya dan mengikuti pandangan Ruby.“Eh?” Ruby tersentak. Baru menyadari kalau
Tapi kamar mandi itu kosong. Ruby sedikit lega, tapi kecemasannya belum surut. Tadi dengan jelas Ed mengatakan akan tidur saat Ruby berpamitan mengantar Lori.Ruby merogoh ponselnya di dalam tas, mencoba menghubungi Ed untuk bertanya—dan menengur kalau memang Ed malah bekerja, tapi ponsel Ed ternyata ada di kamar. Ruby memandang benda yang kini bergetar di antara selimut. Ed memang datang ke kamar itu, hanya sekarang entah ada di mana.Ruby dengan bergegas keluar mencari, tapi makhluk bergerak yang dilihatnya di sekitar rumah hanyalah pelayan yang tengah membersihkan sisa-sisa tamu. Merapikan keadaan seperti semula.“Maaf, tapi apa kau melihat di mana Ed?” tanya Ruby, kepada salah satu pelayan.“Oh, Don Rosas… tadi saya melihatnya keluar.” Pelayan itu menunjuk pintu samping yang terhubung dengan pantai.Ruby seketika berlari keluar. Ia sudah sangat menyesal karena meninggalkan Ed dan mengantar Lori.Mungkin seharusnya ia tidak meninggalkan Ed sendiri. Keadaan memang terlihat jauh lebi
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad