Mulai besok hanya sore aja ya Ruby Ed nya :))
“Kau puas?” ujar Ed, dengan suara serak, saat melihat Javier membuka mata dan mencari.Mata Javier menyipit. Bukan marah tapi tersenyum. Selang oksigen hanya menempel di bawah hidungnya saat ini, senyum itu sangat jelas.“Kau masih bisa tersenyum? Kau merasa kalau semua ini baik-baik saja?!” bentak Ed.Ia sungguh tidak ingin marah padanya, tapi Ed tidak mengerti bagaimana Javier masih bisa tersenyum. Tidak ada satu hal pun yang pantas ditertawakan saat ini.Javier mengangkat tangan perlahan, ingin meraih pipi Ed, tapi tidak sampai, dan tangannya tidak mampu bergerak sejauh itu.Ed akhirnya menunduk sampai ujung jari Javier bisa menyentuhnya. “Kau… tidak boleh marah. Kau sudah tua. Marah membuatmu terlihat semakin tua.” Javier mencoba tertawa, tapi terbatuk setelahnya.“Cukup.” Ed mendesis sudah separuh berdiri untuk memanggil dokter kalau batuk itu tidak berhenti, tapi Javier menggenggam tangan Ed, dan memintanya duduk kembali.“Kau tidak boleh bercanda. Aku tidak ingin mendengarmu t
“Kalau ada yang meminta lagi, bunuh saja. Aku tidak peduli siapa.” Ed bergumam malas. Ed merasa ia hanya memberi perintah sederhana, tidak ada yang boleh ikut masuk ke area pemakanan kecuali yang memang sudah diizinkan. Tapi masih saja ada orang tolol yang mencoba untuk meminta untuk ikut. Ed tidak mengerti kenapa banyak sekali orang ingin membuatnya marah, disaat dirinya sedang mencoba menjadi waras. Ed bahkan tidak ingat bagaimana bisa ia melewati hari. Otaknya seperti tidak menyimpan memori dengan benar. “Aku sudah memberi kesempatan saat di chapel tadi dan cukup. Kalau mereka ingin mengucapkan selamat tinggal, berdoa atau apa pun, maka sudah cukup.” Ed tidak akan berubah pikiran meski pun ada yang bersujud meminta. Satu-satunya orang yang boleh mengikuti sampai area makam selain keluarganya adalah Lori. Satu saja dan itu sudah cukup banyak. “Saya mengerti, Don Rosas.” Otiz mengangguk lalu berbalik dan berlari keluar. Ed menyandarkan kepala, memejamkan mata dan menekan pelipisn
Ruby hanya menatap, berniat tidak ingin menatap sebenarnya dan fokus pada Lori yang masih duduk dan menutup wajahnya dengan handuk dingin—meringankan sakit kepala dan sembab akibat terlalu banyak menangis. Tapi mata Ruby selalu kembali ke arah sudut ruangan itu. Ed duduk dengan minuman di tangannya, dengan Mayte ada di sampingnya.Mereka bicara. Tidak tahu mengenai apa, tapi bicara. Cukup lama. Terlalu lama malah menurut Ruby. Seharusnya mengucapkan duka cita tidak perlu selama itu. Ruby menghela napas saat melihat Mayte mengulurkan tangan dan menggenggam lengan Ed. “Tidak ada yang istimewa.” Ruby membatin, sementara matanya menyipit. Ed mengangguk dan menepuk tangan Mayte.“Hanya menghibur.” Ruby bergumam. Meyakinkan diri kalau tidak akan ada yang terjadi diantara mereka berdua. Wajar kalau Mayte turut berduka cita. Ia mengenal Javier pasti.“Siapa yang menghibur?” Lori menyahut. Membuka handuk dari wajahnya dan mengikuti pandangan Ruby.“Eh?” Ruby tersentak. Baru menyadari kalau
Tapi kamar mandi itu kosong. Ruby sedikit lega, tapi kecemasannya belum surut. Tadi dengan jelas Ed mengatakan akan tidur saat Ruby berpamitan mengantar Lori.Ruby merogoh ponselnya di dalam tas, mencoba menghubungi Ed untuk bertanya—dan menengur kalau memang Ed malah bekerja, tapi ponsel Ed ternyata ada di kamar. Ruby memandang benda yang kini bergetar di antara selimut. Ed memang datang ke kamar itu, hanya sekarang entah ada di mana.Ruby dengan bergegas keluar mencari, tapi makhluk bergerak yang dilihatnya di sekitar rumah hanyalah pelayan yang tengah membersihkan sisa-sisa tamu. Merapikan keadaan seperti semula.“Maaf, tapi apa kau melihat di mana Ed?” tanya Ruby, kepada salah satu pelayan.“Oh, Don Rosas… tadi saya melihatnya keluar.” Pelayan itu menunjuk pintu samping yang terhubung dengan pantai.Ruby seketika berlari keluar. Ia sudah sangat menyesal karena meninggalkan Ed dan mengantar Lori.Mungkin seharusnya ia tidak meninggalkan Ed sendiri. Keadaan memang terlihat jauh lebi
Ruby mengusap matanya yang basah. Separuh bersyukur, dan separuh lagi karena tahu kalau Ed juga merasakan duka yang sama seperti Lori. Ia terlihat baik-baik saja, tapi tidak baik-baik saja. “Javier akan bangga aku rasa. Ia akan tersenyum sambil memuji.” Ruby bisa membayangkannya dengan nyata. Javier selalu memuji kebaikan sekecil apapun. “Sepertinya begitu.” Ed memandang sekitar, memperhatikan detail ruangan untuk menemukan bayangan Javier. Ruangan itu masih sama, hanya terasa kosong. Tidak lagi penuh tawa dan ejekan. “Aku akan merelakan, tapi kau harus memberiku waktu.” Ed berbisik. Duka itu dan rasa kehilangan itu akan ada, dan entah berapa lama akan ada. Ed tahu Javier tidak akan menyukainya, karena itu meminta waktu untuk memenuhi keinginan Javier untuk berbahagia. Ed akan mengabulkannya–seperti permintaan Javier yang lain. Ed akan memenuhi keinginan itu. Ia akan hidup dan mencoba untuk bahagia, tapi akan ada waktunya. “Aku rasa Javier akan mengerti, dan mungkin akan marah ka
“Saya sudah meletakkan semua di sini, Senora.” Tita menyerahkan keranjang anyaman tertutup kain kepada Ruby.“Ah, terima kasih.” Ruby menerima dan langsung membawanya ke pintu samping yang menembus pantai. Rambutnya yang terikat berkibar saat air mulai terlihat dan menatap bibir pantai.Tujuan Ruby tidak jauh. Ed duduk di dekat batu karang hitam, tempat yang teduh, sambil menatap ke arah laut. Kalau tidak di kamar Javier, Ed akan ada di sana memang. Ruby sudah menghapal tempatnya.“Ini ide siapa?” tanya Ed saat melihat Ruby datang dan duduk di sampingnya.“Ideku.” Ruby tersenyum sambil menunjukkan keranjang bawaannya yang berisi makanan.Biasanya Ruby akan sekadar memanggil Ed saat jam makan tiba, tapi kali ini ia yang membawa makan kepada Ed. Makan siang juga sudah lama lewat sebenarnya. Langit sudah berwarna kemerahan karenas senja. Ruby tadi memberi kesempata pada Ed untuk datang sesuai kesadaran, tapi ternyata belum. Ed masih belum normal.“Terlihat lezat,” kata Ed. Memandang isi
“Aku membuat rumah di sini karena Javier yang menginginkannya…” bisik Ed.Leher Ruby ikut tercekik saat mendengar suara serak Ed. Tapi Ruby tidak akan bicara. Ed hanya ingin bicara.“Aku berada di tempat sekarang aku berada karena ingin melindungi Javier. Aku harus membuatnya gembira… Lalu Aku… harus melakukan apa sekarang?”Air mata Ruby merebak. Ia sedikit lebih tahu. Ed bukan hanya dekat dengan adiknya—menyayanginya, tapi tanpa sadar telah membuat kehidupan berdasar atas dunia Javier. Ed tidak ingin bersedih dan merelakan, tapi tidak tahu harus melakukan apa karena dunia tempatnya bersandar telah hilang. Ia begitu kosong karena alasan utamanya untuk bergerak tidak lagi ada.“Ibuku… ia meninggal setelah menitipkan Javier padaku. Memintaku menjaganya. Aku sudah melakukannya—tapi apa sekarang?”Ruby menghapus air matanya secepat mungkin agar tidak menetes membasahi Ed, tapi cukup sulit. Kisah itu mengenaskan. Ruby hanya tahu kedua orang tua Ed meninggal, tapi tidak tahu kisah di balik
“Kemana?” Ruby panik setelah melihat kamar Javier kosong.Ruby tidak menemukan Ed Saat bangun dan tentu mengira ia ada di tempat yang biasa didatanginya. Tapi di pantai pun Ed tidak ada. Tadi malam ya terlihat jauh lebih baik, seharusnya sekarang ia tida menghilang.Ruby berbalik dan kembali masuk. Mencari di tempat lain pastinya.“Ruang kerja, teras…” Ruby bergumam, mengingat-ingat tempat di mana saja ia sudah mencari tadi.“Sibuk?”Ruby memekik dan refleksnya adalah menjauh. Sapaan itu berasal dari Pedro. Pria mesum itu duduk di dekat taman yang memisahkan rumah utama dan chapel.Ruby tidak menanggapi, dan ingin segera masuk, tapi Pedro dengan gesit bergeser menghalangi pintu yang menuju rumah.“Kau tidak membalas sapaan ku? Dingin sekali.” Pedro tampak kecewa.“Kau tidak takut Mia akan melihat?” Ruby mengingatkan satu hal yang seharusnya membuat Pedro mundur.“Oh, Mia masih tidur. Terlalu lelah setelah tadi malam—aku mungkin membuatnya terlalu puas.” Pedro tersenyum dengan menjijik
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad