TIga nih :))
“Saya sudah meletakkan semua di sini, Senora.” Tita menyerahkan keranjang anyaman tertutup kain kepada Ruby.“Ah, terima kasih.” Ruby menerima dan langsung membawanya ke pintu samping yang menembus pantai. Rambutnya yang terikat berkibar saat air mulai terlihat dan menatap bibir pantai.Tujuan Ruby tidak jauh. Ed duduk di dekat batu karang hitam, tempat yang teduh, sambil menatap ke arah laut. Kalau tidak di kamar Javier, Ed akan ada di sana memang. Ruby sudah menghapal tempatnya.“Ini ide siapa?” tanya Ed saat melihat Ruby datang dan duduk di sampingnya.“Ideku.” Ruby tersenyum sambil menunjukkan keranjang bawaannya yang berisi makanan.Biasanya Ruby akan sekadar memanggil Ed saat jam makan tiba, tapi kali ini ia yang membawa makan kepada Ed. Makan siang juga sudah lama lewat sebenarnya. Langit sudah berwarna kemerahan karenas senja. Ruby tadi memberi kesempata pada Ed untuk datang sesuai kesadaran, tapi ternyata belum. Ed masih belum normal.“Terlihat lezat,” kata Ed. Memandang isi
“Aku membuat rumah di sini karena Javier yang menginginkannya…” bisik Ed.Leher Ruby ikut tercekik saat mendengar suara serak Ed. Tapi Ruby tidak akan bicara. Ed hanya ingin bicara.“Aku berada di tempat sekarang aku berada karena ingin melindungi Javier. Aku harus membuatnya gembira… Lalu Aku… harus melakukan apa sekarang?”Air mata Ruby merebak. Ia sedikit lebih tahu. Ed bukan hanya dekat dengan adiknya—menyayanginya, tapi tanpa sadar telah membuat kehidupan berdasar atas dunia Javier. Ed tidak ingin bersedih dan merelakan, tapi tidak tahu harus melakukan apa karena dunia tempatnya bersandar telah hilang. Ia begitu kosong karena alasan utamanya untuk bergerak tidak lagi ada.“Ibuku… ia meninggal setelah menitipkan Javier padaku. Memintaku menjaganya. Aku sudah melakukannya—tapi apa sekarang?”Ruby menghapus air matanya secepat mungkin agar tidak menetes membasahi Ed, tapi cukup sulit. Kisah itu mengenaskan. Ruby hanya tahu kedua orang tua Ed meninggal, tapi tidak tahu kisah di balik
“Kemana?” Ruby panik setelah melihat kamar Javier kosong.Ruby tidak menemukan Ed Saat bangun dan tentu mengira ia ada di tempat yang biasa didatanginya. Tapi di pantai pun Ed tidak ada. Tadi malam ya terlihat jauh lebih baik, seharusnya sekarang ia tida menghilang.Ruby berbalik dan kembali masuk. Mencari di tempat lain pastinya.“Ruang kerja, teras…” Ruby bergumam, mengingat-ingat tempat di mana saja ia sudah mencari tadi.“Sibuk?”Ruby memekik dan refleksnya adalah menjauh. Sapaan itu berasal dari Pedro. Pria mesum itu duduk di dekat taman yang memisahkan rumah utama dan chapel.Ruby tidak menanggapi, dan ingin segera masuk, tapi Pedro dengan gesit bergeser menghalangi pintu yang menuju rumah.“Kau tidak membalas sapaan ku? Dingin sekali.” Pedro tampak kecewa.“Kau tidak takut Mia akan melihat?” Ruby mengingatkan satu hal yang seharusnya membuat Pedro mundur.“Oh, Mia masih tidur. Terlalu lelah setelah tadi malam—aku mungkin membuatnya terlalu puas.” Pedro tersenyum dengan menjijik
“Liz?” Ed menjentikkan tangan di depan mata Ruby karena tidak mendapat jawaban setelah dua kali memanggil. Ia masih ada di atas“Eh?” Ruby mengejapkan mata dan wajahnya memerah sempurna.“Apa yang kau pikirkan?” Ed menatap dengan curiga.“Tidak ada!” Ruby menjawab terlalu cepat, dan tentu Ed semakin curiga.“Kau bertanya apa?” tanya Ruby. Mengalihkan pembahasan yang lebih sehat.“Aku bertanya apa kau ingin berkuda juga.” Ed mengulang pertanyaan yang tadi tidak didengar Ruby.“Oh, aku tidak… sudah lama tidak berkuda. Entah masih bisa atau tidak.”Ruby memperbaiki jawabannya karena lebih cocok. Ia tidak tahu apakah Liz bisa berkuda, tapi Esli mampu untuk membeli kuda. Bisa jadi Liz bisa berkuda. Berkata ia tidak bisa berguna bisa jadi akan membuat masalah nantinya.“Kemari.” Ed mengulurkan tangan, dan melepaskan kakinya dari sanggurdi.“Apa…”“Menjejak ke sini.” Ed menunjukk sanggurdi itu.Ruby mengikuti petunjuk dan Ed menariknya naik, lalu menangkap pinggangnya. Ruby berpindah dengan
“Don Rosas, makanan…”“Nanti!”Ed memotong saat Tita menghadangnya di dekat pintu samping—ingin mengabarkan kalau sarapan telah terlewat, tapi Ed mengabaikan dan terus menarik Ruby ke arah kamar.Ruby sampai tidak berani memandang Tita karena malu. Ia menunduk mengikuti Ed dengan wajah tersipu.Tapi warna pink di wajahnya itu berubah menjadi kemerahan begitu sampai di kamarnya, karena Ed dengan tidak sabar menahan Ruby, mendorong sampai punggungnya membentur dan menutup pintu sekaligus.Tapi Ruby mengeluh dalam hati saat Ed menutup matanya dengan tangan, sebelum kembali menciumnya—tapi kenyataan itu tidak lagi penting setelahnya. Ruby tidak mungkin kecewa saat Ed memberi apa yang diinginkannya. Tergesa tapi bukan tidak menyenangkan. Justru sensasi baru itu sangat jauh dari buruk. Ed tidak membawa Ruby sampai ke atas ranjang, tapi memakai meja terdekat untuk menahan tubuhnya. Melucuti pakaiannya dengan tidak sabar. Tidak mungkin bisa bersabar saat Ruby mendesah tanpa malu, menunjukk
“Saya bantu.” Tita menyelipkan aksesoris rambut berhias mutiara pink ke rambut Ruby. Menyempurnakan dandanan yang sudah mempesona.“Sudah. Tidak terlalu tebal, tapi cantik dan memang Anda cocok memakai jenis make up semacam ini.” Tita setelah itu menilai wajah Ruby dan puas.Ruby merias wajahnya sendiri. Ia sudah terbiasa melakukannya, karena pekerjaan terakhirnya sebagai pelayan restoran mewajibkannya memakai make up. Ruby awalnya hanya sembarangan, tapi banyak temannya yang membantu, sampai Ruby menemukan gaya make up yang cocok dan nyaman untuk dirinya saat ini. Tita juga memuji bahkan.“Saya akan memakaikan ini.” Tita mengambil kalung dengan bandul berwarna merah darah dan mewah tentu. Ruby tidak ingin menilai berapa harganya karena tidak mungkin bisa memperkirakan.“Cantik sekali. Cocok untuk Anda.” Tita kembali mendesah puas melihat penampilan Ruby.“Terima kasih.” Ruby tersipu malu tentu. Sudah lama ia tidak mendengar pujian bertubi seperti itu.“Hmm… Don Rosas bukan orang yang
“Tapi terlihat redup karena bersanding dengan wajahmu.” Ed melanjutkan.Hati Ruby yang seakan sempat terhenti, perlahan memompakan darah kembali. Sadar kalau Ed bukan memannggil namanya.Tangan Ed terulur menyentuh kalung yang ada di lehernya, mengusap sekilas lalu mengelus wajah Ruby dengan wajah puas."Kau sempurna sekarang," katanya.Ruby masih diam, tapi ia mencoba tersenyum dan mengangguk, menelan kecemasannya.Batu berwarna merah itu ruby. Ruby tentu tahu kalau ruby adalah batu mulia berwarna merah, hanya tidak menyangka kalau suatu saat ia benar-benar akan memakai batu mulia sesuai dengan namanya.“Aku … bukan tidak menyukai apa yang kau pakai, tapi aku tidak ingin ada yang memandang apa pun milikku dengan mata ingin. Bukan karena kau tidak sempurna, tapi terlalu sempurna. Dan hanya boleh untukku.”Tubuh Ruby meremang, saat Ed menangkup wajahnya dan mendaratkan ciuman di bibirnya. Sedikit karena nafsu, tapi yang mendominasi adalah kepuasan. Ed memujinya, dan dengan jelas menari
Ruby sungguh berharap pelayan itu hanya tengah menyebut perhiasaannya, bukan namanya. Tapi yang ini menyebut namanya, memandang tepat ke matanya. Ruby ingat. Pelayan pria itu adalah salah satu temannya di restoran. Paolo, Ruby bahkan ingat namanya meski mereka tidak sering berada dalam shift yang sama. Tapi Paolo tidak seharusnya ada di sini, ia seharusnya ada di Veracruz!“Aku hampir tidak mengenalimu tadi. Kau terlihat sangat berbeda dengan dandanan seperti ini. Apa kau tamu di pesta ini? ” tanyanya, mendekat lagi dengan wajah penasaran.“K..Kau salah. Aku bukan Ruby.” Ruby menggeleng kuat-kuat dan tergagap. Kesalahan, karena menjadi tidak terlalu meyakinkan.“Ha? Kau Ruby. Aku tidak salah. Temanku selalu membicarakanmu, aku tahu.” Paolo bukan tipe yang mudah menerima alasan rupanya.“Tidak, kau salah. Permisi.” Ruby tentulah memutuskan kalau menjauh adalah yang paling aman, tapi Paolo menahan tangannya.“Hei! Tidak perlu seperti ini. Apa karena sudah berubah kau malu terlihat bica
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad