Ngambek kan Ed :)) Ga peka sih
“Akhirnya kalian sampai.” Esli menyambut dengan wajah prihatin—sekaligus gembira yang sangat pas. Ia tahu benar apa yang terjadi karena Ruby terus melaporkan—termasuk kedatangan Ed. Esli tidak akan memaafkan adanya kejutan Ed kalau sampai Ruby diam. “Apa kau baik-baik saja? Tidak ada yang gawat bukan?” Esli meraih tangan Ruby dan menggenggamnya, lalu mengelus pipinya. Berperan menjadi Ayah yang peduli dengan sangat menakjubkan. Kalau tidak ingat pria itu pernah menampar dan menjebaknya, Ruby mungkin akan terharu dan menangis atas bentuk perhatian itu. Kebetulan ia tidak pernah merasakan kasih sayang dari ayahnya. Sudah meninggal semenjak kecil kata ibunya.“Aku baik-baik saja, Padre.” Ruby tersenyum, berhasil menahan mual yang tidak ada hubungannya dengan mabuk darat. Ia muak pada Esli.Sisa perjalanan tadi Ruby tidak lagi muntah, dan langsung merasa lebih baik saat mobil berhenti dan bisa menghirup udara segar di sekitar taman rumah Esli yang tentu saja luas. Ini kali kedua Ruby m
“Karena itu saya ingin meminta pada Anda agar mengizinkan Liz menemui teman-temannya. Mereka tidak akan berhenti mengganggu saya kalau belum bertemu dengannya.” Esli memohon pada Ed. “Terserah saja.” Ed tidak keberatan. Ia tidak membatasi pergaulan Liz asalkan bukan bersama pria seperti Carlos. “Syukurlah Anda bisa mengerti. Sebelum ini Liz sangat aktif memang. Ah, itu mereka!” Esli menunjuk pintu dan dua orang gadis dengan dandanan mencolok muncul. “LIZ! Akhirnya kau datang juga!” Mereka berseru girang dan memeluk Ruby yang sudah berdiri dengan panik. Ia menyambut pelukan dua orang asing itu dengan penuh tanya. Tapi Ruby teringat kata-kata Esli yang menyuruhnya menurut saja dengan apa yang ada. Itu berarti ia harus berpura-pura mengenal mereka. “Apa kalian sehat? Aku rindu sekali!” Ruby menyapa sehangat mungkin, dan mereka berdua berebutan menjawab. “Sudah… sudah… kalian keluar saja. Jangan membuat keributan di sini. Anda tidak keberatan bukan? Liz biasanya akan menghabiskan wak
“Mamá…” Ruby memanggil perlahan dengan suara serak, ingin menghampiri dan bicara,tapi ibunya sekarang berteriak kencang tanpa henti, sambil melemparkan bantal dan selimutnya pada Ruby. Mengusir dengan ketakutan.“Pergi! Jangan ke sini! Jangan kejar lagi! Pergi!” Air mata Ruby tentu turun semankin deras, ia bahkan tidak sanggup menghindar saat semua benda yang dilempar itu menerpa.“Mamá,” bisik Ruby, sementara membiarkan bantal menghantam wajahnya, lalu selimut dan terakhir apa yang terlihat seperti vas bunga. Ruby melihatnya, tapi matanya tetap kosong dan beda itu menghantam keningnya. “Astaga!” Tepat setelah itu, perawat yang tadi mendampinginya masuk sambil menarik Ruby menjauh, lalu menekan tombol warna biru di dekat pintu.“Vieja!” (Nyonya tua)Perawat itu menghampiri ibu Ruby, dan beberapa yang baru masuk. Mencoba menenangkan, tapi tidak mampu. Mereka tidak bisa kasar, sementara histeria terus terjadi.Ruby tidak pergi jauh, hanya berjongkok di dekat pintu sambil menutup waja
“Apa itu ADDF?” tanya Ruby. “Alzheimer’s Drug Discovery Foundation. Yayasan yang khusus ada untuk menemukan obat Alzaimer. Merawat, mencegah maupun menyembuhkan,” jelas Lita. “Aku tidak pernah mendengarnya.” Ruby mengernyit. Kalau yayasan seperti itu ada, Ruby pasti sudah mendengar sebelum ini. Ia sudah melakukan banyak pencarian obat dan lain sebagainya yang berkenaan dengan Alzaimer. “Yayasan itu ada di Amerika. Di negara ini tidak ada. Tapi memang obat dan penemuan disana masih sangat eksperimental. Belum ada yang benar-benar seratus persen lolos uji khasiat. Tapi paling tidak, mungkin ada obat yang lebih baik untuk melambatkan laju penyakitnya.” Lita menyebut secercah harapan yang sudah lama tidak pernah di dapat Ruby. Harapan agar ibunya tidak lagi menunjuknya dengan wajah asing. “Dimana tepatnya ADDF?” tanya Ruby, dengan lebih hidup. Harapan sebesar butir pasir itu sudah cukup untuknya. “New York. Saya akan memberikan brosur dan lainnya kalau memang Anda tertarik untuk mem
“Menyembunyikan apa? Anda salah sangka.” Esli dengan gugup melepaskan tangan Ed sebelum tangannya sendiri putus.“Saya hanya ingin Liz memuaskan diri saar bertemu teman-temannya.” Esli berusaha membujuk, tapi Ed tetap melangkah ke dalam, ia tidak tahu dimana kamar Liz, tapi punya tebakan akan ada di lantai dua.“Tunggu, Don Rosas!” Esli mengikuti dengan panik dan bersumpah serapah dalam hati.“Hai! Kalian mau kemana?”Tepat saat Ed sampai di ujung tangga, Ruby menyapa dengan manis, tampak normal tapi bahunya bergerak pelan, menyembunyikan napas terengah. Sudah jelas ia berlari, tapi berusaha terlihat tidak berlari.“Kau dari mana?” tanya Ed. Ruby muncul dari lorong yang menuju ke pintu keluar belakang.“Oh, aku mengantar temanku. Mereka baru saja pulang.” Ruby memaksakan diri tersenyum.“Ada dengan keningmu?” Ed menghampiri Ruby, dan mengdongakkan wajahnya. Plester luka itu cukup besar.“Ini? Aku hanya terjatuh tadi saat bercanda. Luka kecil, tapi teman-temanku bersikeras aku harus m
“Apa kau gila?!” Ruby tidak bisa menahan lidahnya lagi. Ia ingin mengumpat pada Esli.“Kenapa? Ini tugas mudah seharusnya. Aku lihat ia sudah cukup tertarik padamu. Kau tinggal merayunya sedikit lagi. Gunakan tubuhmu, atau apa terserah. Pokoknya buat ia memujamu.”Tangan Ruby yang ada di samping tubuhnya mengepal, untuk mencegah dirinya sendiri mengambil vas dan melemparnya ke wajah Esli. Ia tidak mengerti bagaimana bisa ada orang yang begitu tidak berperasaan seperti itu.“Kau mungkin merasa aku kejam, tapi percayalah. Rosas pantas mendapatkan apa yang saat ini menimpanya. Kau tidak perlu kasihan atau sok suci seperti Ja… Pokoknya kau lakukan saja apa perintahku. Dengan begitu kau bisa cepat berkumpul dengan Jade lagi. Semakin cepat kau membuatnya jatuh cinta, aku juga akan cepat mengembalikan ibumu.” Esli tersenyum menyeringai.Sementara kepala Ruby kembali bergemuruh. Memutar otak, dan mencari arah melangkah.“Dua ratus juta peso. Aku menginginkan 200 juta sebagai imbalannya.” Ruby
Ed sudah akan melompat terjun ke kolam, tapi kemudian ia melihat Ruby menggerakkan tangan dan kaki. Tidak tampak tenggelam, karena ia berenang normal. Jatuh itu bukan tidak sengaja ataupun kecelakaan. Ruby memang ingin berenang. Pilihan yang tetap aneh tapi, mengingat saat ini hampir pukul tiga dini hari. Ed tentu berdiri menunggu, dian di tepi di kolam tidak bergerak maupun bersuara. Ruby tidak menyadari kehadirannya, karena memang tidak ada lampu sangat terang di sana. Ruby terus berenang bolak-balik, sampai akhirnya berhenti dan diam di tengah kolam. Menunduk dengan rambut basah menutupi wajahnya. Ed melihat tubuhnya bergetar, dan wajar karena dingin. Tapi kemudian sadar kalau bahu dan punggung yang menunduk itu sedang menangis. Tidak ada isakan, tapi Ruby kemudian menutup wajahnya dengan tangan. “Kau menangis karena apa?” Ed mendekat dan duduk menekuk kaki di tepi kolam. Ruby tentu saja tersedak. Ia sudah sangat yakin akan kesendiriannya. “Kau… masih di sini?” Ruby bertanya
“Aku tidak akan bertanya, tapi aku akan menyuruhmu tidur. Sudah cukup berenangnya,” kata Ed sambil menurunkan handuk dan berbalik. Akan keluar dan tidur di tempat lain—berganti baju dan mendinginkan diri, karena suhu tubuhnya sudah jauh lebih hangat dari pada yang seharusnya, akibat masih ingat betul bagaimana tubuh basah Ruby yang telanjang dan berkilau. “Dingin.” Ruby berbisik saat Ed sudah memegang handle. “Tidak heran.” Ed mendengus, lalu berbelok. Menghampiri pengatur suhu. Menaikkan suhu pendingin agar lebih hangat. “Lain kali jangan memiliki ide berenang dini hari lagi,” ujar Ed. Kembali menuju pintu. “Masih dingin.” Ruby berbisik semakin lirih. “Apa masih kurang?” Ed melirik ke monitor penunjuk suhu. Ia mulai merasa gerah. Kamarnya tidak pernah lebih dari dua puluh dua derajat. Ia sudah mengaturnya ke suhu hangat saat ini, dua puluh lima. Tapi saat akan kembali mengubah suhu, mendadak ada satu sel tersambung dalam otaknya. Bukan suhu yang menjadi masalah. “Kau ingin
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad