“Setan menjijikkan!” desis Ed. Ia tidak terlalu menghujat ‘selera’ Esli sebelum ini, tapi langkahnya itu pantas untuk dihina. Esli membuat Jade terikat perkawinan hanya untuk menutupi ketidaknormalannya itu. Sempurna memang, ia mendapat nama, terlihat baik-baik saja dan normal.“Lalu siapa ayah mereka berdua?” Ed bertanya dengan hati yang lebih lega. Ia tahu Ruby akan gembira menerima berita ini. Esli ayahnya adalah beban dari segala beban yang tidak ingin diingat Ruby.“Hans. Hans Dominguez. Dia bekerja untuk Senor Ramos sebelum saya.” Mendez masih menunduk.“Asisten Esli sebelum dirimu?” Ed menegaskan.“Benar.” “Lalu dimana…”“Mati.” Jawaban singkat yang sebenarnya sudah sangat mudah ditebak. Esli tidak mungkin membiarkan Hans hidup. Alasan asli menghabisi pria malang itu tentu bukan karena cemburu, kemungkinan besar hanya karena ingin menjaga nama baiknya.“Hina sekali. Ia membunuh pria yang bersama Jade sedangkan dia sendiri tidak pernah menyentuhnya.” Ed menggeram kesal. Ia k
Pria itu mengamati Liz, dan tentu Liz juga menatapnya, berusaha memetakan wajah agar bisa mengenali. Sayangnya, hampir sebagian besar tertutup topi. Liz hanya bisa melihat kalau rambutnya sangat pendek sampai kulit kepalanya nyaris terlihat dan badannya tegap berisi.“Aku akan memanggil…”Suara letupan membuat Liz berhenti melangkah, sementara Jade memekik. Suara pistol berperedam yang ditembakkan. Pria bertopi itu tidak datang tanpa bekal. Tangannya teracung lurus dan menembak tombol panggil perawat yang ada di samping ranjang Jade.Liz membelalak lebar, sementara Jade langsung gemetar hebat.Tapi Jade melakukan hal yang mengagumkan, begitu pria itu melangkah masuk melewati pintu geser. Jade melompat turun dari ranjang, dan menarik lengan Liz, menyembunyikannya di balik punggung.“Tidak boleh!” pekik Jade. Ia dengan sepenuh hati melawan, meski pria itu terus menodongkan senjatanya.“Mama…” Liz berusaha menyingkirkan Jade dari hadapannya, tapi ternyata meski gemetar, Jade dengan kokoh
“Mama… Tidak…” Liz menggeleng dengan pandangan yang tidak lagi tajam, tapi air mata itu tidak bisa menyembunyikan buruknya keadaan Jade. Napasnya tersengal dan warna di wajah berganti pucat dengan cepat.“Gemma… Gemma…” Jade mengangkat tangannya, dan Liz menyambar tangan itu.“Maafkan… aku…” bisik Jade.“Mama… tidak…” Liz menggeleng, mengusap pipi ibuya dengan tangan yang bersimbah darahnya sendiri.“Kau sudah bersama Ruby…” Jade perlahan tersenyum. Tangis itu mungkin berubah bahagia.“Ya, dan bersamamu, Mama. Kita bertiga. Kau harus ada. Aku baru menemukanmu.” Liz menempelkan pipinya pada pelipis Jade, memohon padanya untuk bertahan. Tapi ia tahu dua tembakan itu adalah fatal. Jumlah darah yang saat ini menggenang di sekitar tubuh Jade terlalu banyak.“Maaf… maaf… Gemma…” Hanya itu yang bisa diingat Jade. Rasa bersalah menghimpit dan penyesalan berkepanjangan yang menghiasi harinya selama kurang lebih tiga puluh tahun.“Tidak, Mama. Kau tidak bersalah. Aku tidak marah, jadi jangan p
“Kau yakin tidak melakukannya?” Ed mendesak, sedikit kurang percaya. “Astaga!” Val yang ada di seberang panggilan itu langsung mengeluh. “Tidak ada. Aku tidak menerima kontrak untuk membunuh dengan sasaran Jade Herrera! Aku sudah memeriksanya dua kali! Apa kau perlu bicara pada Asher untuk memastikan? Tapi dia tidak ramah, jadi jangan…” “Siapa Asher?” Ed yang sedang menunggu pintu lift, sejenak berhenti bergerak. Bingung. “Anak buah yang harus aku bangunkan untuk info yang kau minta ini—dan mencaci maki tadi. Pokoknya tidak ada, Oke?” Val mengeluh karena ia juga mendapat akibat buruk karena pertanyaan Ed itu. Ed memutuskan kembali bertanya pada Val. Jade Hererra tidak termasuk nama yang dikenal Val seharusnya. Permintaan pembunuhan bisa saja menjadi normal seperti pekerjaan lain, tapi harus kecewa karena tidak ada hasil. “Kau sibuk sekali sepertinya. Siapa lagi yang mati?” tanya Val. “Mertua,” kata Ed. “Oh, astaga. Tunggu! Aku harus ikut gembira atau berduka? Apa mertuamu terma
“Daddy!” AJ menyambut dan berlari turun dari teras saat Ed turun dari mobil.“Kau tidak pulang? Aku mencarimu.” AJ memprotes, seperti biasa.“Maaf, ada sesuatu yang harus aku selesaikan.” Ed menggendong AJ dan melangkah masuk.“Dimana Mommy?” tanya Ed, dengan suara serak. Lelah—ia tidak memejamkan mata sekejap pun semalaman, sekaligus cemas.“Di kamar. Kembali berbaring setelah berteriak menyuruhku bersiap sekolah.” AJ meringis bandel, karena tentu berdiam dalam gendongan Ed tidak termasuk bersiap sekolah.“Hari ini kau tidak perlu sekolah. Daddy nanti yang akan bicara pada guru nanti.” Ed membutuhkan setiap butir faktor yang sekiranya bisa membantu menghibur Ruby. Dan memang alasannya tepat. Nenek AJ meninggal adalah alasan valid untuk absen sekolah.“He? Aku libur? Bukan sabtu minggu?” AJ langsung melompat turun dari gendongan.“Tapi aku tidak sakit.” AJ tidak biasa absen tanpa sakit, sangat heran jadinya.“AJ.” Ed berjongkok di hadapan AJ dan mengusap pipinya. Ia baru menyadari sa
“Kau bicara apa?” Ruby menelengkan kepala. Otaknya serasa tertutup tameng dan semua kata-kata Ed memental keluar dari kepalanya.“Ruby… Pria itu… membunuhnya.” Ed tidak bisa menyederhanakan maupun membuatnya menjadi lebih tidak mengerikan. Tidak mungkin juga menyembunyikan penyebab kematiannya Ada Liz yang terluka. Kejadiannya terlalu besar–terlalu dekat untuk ditutupi.“Ruby… dengarkan aku.” Ed merangkum kedua pipi Ruby, memaksa agar Ruby fokus memandangnya. Berita itu mengerikan, tapi Ruby harus mendengar.“Ini balasan konyol, Ed. Apa kau kesal karena lelucon tadi? Kau membalas dengan ini?” Ruby menggeleng, dan tersenyum.“Jangan memakai Mama. Ayo, coba yang lain.” Ruby menunggu.“Aku tidak bercanda. Ruby…” Ed khawatir. Ia melihat Ruby tersenyum. Penyangkalan tapi dalam level tinggi.“Bagian mana yang tidak bercanda? Kau ingin aku percaya ada orang yang datang untuk membunuh Mama?” Ruby tertawa lagi.“Aku tidak bercanda,” ulang Ed, dan tawa itu padam. Ruby mengedip perlahan. Kata-ka
Wajahnya tidak jauh berbeda. Ruby tidak melihat hal janggal. Ibunya seperti sedang tidur, bahkan terlihat lebih sehat karena lipstik dan blush on memberi warna ekstra.Tangan Ruby terangkat, gemetar tapi tetap bisa menyentuh pipi dingin. Rasa yang memastikan kalau semua nyata. Ruby menyentuh kelopak mata yang memejam. Ingin melihat apakah mata itu benar-benar diam, atau mungkin Ed memang balasan lelucon Ed sangat panjang. Ini semua mungkin gurauan. Harapan yang sudah pasti mustahil. Mata itu tetap diam. Ruby tidak bisa membangunkan, meski menepuk bahunya dengan keras. Ibunya tidak akan terbangun meski Ruby memenuhi ruangan itu dengan aroma enchilada atau pear. Teh juga tidak.“Ruby.” Ed yang tidak pernah meninggalkan sisinya, menangkap tubuh Ruby yang tiba-tiba menunduk, tapi lega karena Ruby tidak pingsan rupanya. Hanya meringkuk karena sesak yang mengunci dadanya.Ed ikut menunduk lalu mengangkat tubuhnya, kembali ke kursi di deretan depan yang memang tempatnya. Tanpa beban sama se
“Abuela, ini untukmu.” AJ yang terlebih dulu bicara, sambil merogoh kantong celananya, dan menyerahkan sebatang coklat. “Maaf, kemarin aku lupa menghitung cokelat untukmu. Tapi aku tidak akan lupa lagi sekarang. Kau satu-satunya Abuela yang aku punya sekarang.” Mia tidak bisa berkata-kata. Ia menatap batang coklat itu dengan panik yang terlihat jelas. “Itu hanya coklat, tidak akan menyakitimu.” Ed bergumam perlahan. Menegur karena penolakan jelas akan membuat AJ kecewa. “Aku… oke.” Mia menerima coklat itu. Ia tidak ingin menolak sebenarnya, hanya terlalu terkejut karena AJ masih bisa ramah padanya setelah sekian kali ia kasar dan membentak setiap kalinya. Wajah AJ kembali menyala. “Apa kau menyukai rasanya? Aku tidak tahu kau suka yang mana jadi aku membeli semua rasa tadi. Kau boleh menukar rasanya kalau sampai di rumah nanti.” “Aku… aku suka.” Mia terbata. Canggung karena tidak tahu harus membalas apa atas sikap manis itu. AJ sudah bertekad mencurahkan kasih sayang porsi un
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad