“Kau bicara apa?” Ruby menelengkan kepala. Otaknya serasa tertutup tameng dan semua kata-kata Ed memental keluar dari kepalanya.“Ruby… Pria itu… membunuhnya.” Ed tidak bisa menyederhanakan maupun membuatnya menjadi lebih tidak mengerikan. Tidak mungkin juga menyembunyikan penyebab kematiannya Ada Liz yang terluka. Kejadiannya terlalu besar–terlalu dekat untuk ditutupi.“Ruby… dengarkan aku.” Ed merangkum kedua pipi Ruby, memaksa agar Ruby fokus memandangnya. Berita itu mengerikan, tapi Ruby harus mendengar.“Ini balasan konyol, Ed. Apa kau kesal karena lelucon tadi? Kau membalas dengan ini?” Ruby menggeleng, dan tersenyum.“Jangan memakai Mama. Ayo, coba yang lain.” Ruby menunggu.“Aku tidak bercanda. Ruby…” Ed khawatir. Ia melihat Ruby tersenyum. Penyangkalan tapi dalam level tinggi.“Bagian mana yang tidak bercanda? Kau ingin aku percaya ada orang yang datang untuk membunuh Mama?” Ruby tertawa lagi.“Aku tidak bercanda,” ulang Ed, dan tawa itu padam. Ruby mengedip perlahan. Kata-ka
Wajahnya tidak jauh berbeda. Ruby tidak melihat hal janggal. Ibunya seperti sedang tidur, bahkan terlihat lebih sehat karena lipstik dan blush on memberi warna ekstra.Tangan Ruby terangkat, gemetar tapi tetap bisa menyentuh pipi dingin. Rasa yang memastikan kalau semua nyata. Ruby menyentuh kelopak mata yang memejam. Ingin melihat apakah mata itu benar-benar diam, atau mungkin Ed memang balasan lelucon Ed sangat panjang. Ini semua mungkin gurauan. Harapan yang sudah pasti mustahil. Mata itu tetap diam. Ruby tidak bisa membangunkan, meski menepuk bahunya dengan keras. Ibunya tidak akan terbangun meski Ruby memenuhi ruangan itu dengan aroma enchilada atau pear. Teh juga tidak.“Ruby.” Ed yang tidak pernah meninggalkan sisinya, menangkap tubuh Ruby yang tiba-tiba menunduk, tapi lega karena Ruby tidak pingsan rupanya. Hanya meringkuk karena sesak yang mengunci dadanya.Ed ikut menunduk lalu mengangkat tubuhnya, kembali ke kursi di deretan depan yang memang tempatnya. Tanpa beban sama se
“Abuela, ini untukmu.” AJ yang terlebih dulu bicara, sambil merogoh kantong celananya, dan menyerahkan sebatang coklat. “Maaf, kemarin aku lupa menghitung cokelat untukmu. Tapi aku tidak akan lupa lagi sekarang. Kau satu-satunya Abuela yang aku punya sekarang.” Mia tidak bisa berkata-kata. Ia menatap batang coklat itu dengan panik yang terlihat jelas. “Itu hanya coklat, tidak akan menyakitimu.” Ed bergumam perlahan. Menegur karena penolakan jelas akan membuat AJ kecewa. “Aku… oke.” Mia menerima coklat itu. Ia tidak ingin menolak sebenarnya, hanya terlalu terkejut karena AJ masih bisa ramah padanya setelah sekian kali ia kasar dan membentak setiap kalinya. Wajah AJ kembali menyala. “Apa kau menyukai rasanya? Aku tidak tahu kau suka yang mana jadi aku membeli semua rasa tadi. Kau boleh menukar rasanya kalau sampai di rumah nanti.” “Aku… aku suka.” Mia terbata. Canggung karena tidak tahu harus membalas apa atas sikap manis itu. AJ sudah bertekad mencurahkan kasih sayang porsi un
“Halo, kita bertemu lagi. Oh, aku turut berduka cita.” Val mengulurkan tangan pada Ruby.“Terima kasih.” Ruby menerima dengan pandangan bingung. Kehadirannya mengejutkan. Selain ketampanan tidak masuk akal, ia tidak tahu Val dekat dengan Ed. Kedekatan yang membuatnya sampai merasa harus datang untuk menghadiri pemakaman keluarga.“Ini kejutan. Apa kau sedang menganggur?” Ed menyapa dengan tidak biasa tentu.“Jangan begitu. Aku tentu ingin mengucapkan duka cita.” Val mendecak sambil membuka kacamata hitam yang dipakainya.“Wow! Matamu seperti kaca. Seperti bukan mata.” AJ ada di dekat mobil, mendekat karena kehadiran orang baru, yang rupanya bisa juga menarik perhatiannya. Kini berkomentar karena mata Val yang sangat biru itu.“Ha, kau pintar, Bocah. Ini memang warna asli.” Val terkekeh sambil menepuk pelan kepala AJ.“Kau sepertinya akan cocok bertemu Claud.” Val menebak umur mereka tidak jauh.“Siapa?” Ed mengernyit.“Oh, ada juga yang tidak kau tahu. Itu anakku.” Val tampak puas kar
Liz mendengus, lalu memutar kursi rodanya ke arah samping. Ia hapal seluk beluk rumah itu, dan Ruby tidak ingin bertanya ia kemana. Terlalu lelah.“Maaf, tapi saudaramu itu…” Lori menahan lidahnya untuk tidak mengumpat, tapi mengangkat jari tengahnya. Menegaskan kalau batas kesabarannya untuk Liz akan selalu tipis. Ruby tidak akan memaksa mereka akur. Dirinya saja sulit untuk akur dengan Liz.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Lori. Ia melihat Ruby kosong seharian ini. Sekarang sudah lebih baik, tapi masih layu.“Akan baik, asalkan kau membahas hal random.” Ruby separuh berbaring di sofa. Ia memerlukan sesuatu untuk mengalihkan pikiran.“Aku punya. Mayte tadi menghubungiku. Ia ingin datang, tapi gagal mendapatkan tiket. Ia menyampaikan duka cita dan maaf,” kata Lori.“Mayte dimana? Aku pikir masih di tempatmu.” Ruby tidak tahu Mayte ada di tempat yang jauh.“Ia tinggal di tempatku hanya beberapa minggu. Menyesuaikan diri setelah melawan ayahnya.” Lori mengangkat jempol.“Aku bangga dia akhi
Ruby menatap Ed seperti sedang menikmati opera yang buruk. Mengharapkan sesuatu yang menghibur dan merdu, tapi apa yang didengar bernada sumbang karena terlalu tidak terduga.“Dia benar-benar bukan ayahku?!” Liz mengusap wajahnya. Meyakinkan sekali lagi karena meski sudah beberapa hari informasi itu ada dalam otaknya, ia masih tidak bisa mencerna.Tapi tidak ada yang menanggapi pertanyaan Liz. Ed sedang fokus pada Ruby, yang diam saja. Bingung harus menanggapi apa. Banyak hal melintas dalam benaknya, termasuk ingatan dan pengertian.“Jadi… Itu… Mama tidak pernah membahas… Malu. Ya, aku paham,” gumam Ruby.Ia kemarin bingung kenapa ibunya tidak mau membahas siapa Hans. Menghindar saat Ruby meminta kejelasan. Malu, karena sebejat apa pun Esli, Jade tetap merasa berpaling pada pria yang bukan suaminya adalah salah. Mungkin selain merasa bersalah pada Liz, ibunya juga memendam malu dan penyesalan. Tidak pernah membicarakan Liz/Gemma dan lainnya karena malu kalau sampai menceritakan ketid
“Apa perlu saya tambah cookies atau makanan lain?” tanya Tita, sambil menyerahkan nampan berisi teh.“Mmm… bisakah kau membuat churros? Dengan coklat panas. Liz menyukainya.” Ruby ingat Esli menyebut makanan itu kesukaan Liz.“Tentu. Akan saya antarkan nanti.” Tita menyanggupi.Ruby mengangguk berterima kasih dan membawa nampan itu ke halaman samping. Ia tahu Liz ada di teras samping karena tadi sempat mencari ke kamar dan tidak ada. Ia duduk dan menatap pantai di kejauhan. Tidak lagi memakai kursi roda tapi masih pincang.“Teh.” Ruby meletakkan nampan itu di meja dan menuang secangkir untuk Liz. Ia menambahkan chamomile, berharap aromanya akan menenangkan Liz.Tapi Liz bahkan tidak terlihat mendengar. Wajahnya masih lurus ke arah pantai. Ruby tidak memaksa. Menuang teh sendiri untuk dirinya, lalu duduk diam di seberang Liz. Ikut memandang pantai. Diam juga ketenangan. Ruby bisa tahan.“Aku tidak pernah duduk di sini. Pemandangannya lumayan juga,” kata Liz. Akhirnya meraih teh buatan
“Senor Obrador, selamat. Saya mendengar masa jabatan Anda akan diperpanjang.” Obrador terpaksa berbalik dan tersenyum. Ia tidak mengenali pria yang memanggil dan kini mendekatinya dari arah lift. Sepertinya pegawai dari bagian resepsionis saat melihat seragamnya.Tidak penting, tapi Obrador harus tersenyum. Ia tidak boleh merusak image baik yang selama ini dipertahankannya.“Terima kasih. Aku akan mencoba menjalankan kepercayaan ini dengan sepenuh hati.” Obrador menjabat tangan pria muda itu. Wajahnya sedikit asing. Tidak seperti pria latin. Mungkin campuran, karena wajahnya seperti pria Eropa berambut hitam.“Apa kau baru?” tanya Obrador.“Saya sudah dua tahun di sini.” Senyum pria itu sedikit luntur. Kecewa karena tidak dikenali.“Oh, ya! Aku lupa. Ayala.” Obrador sekilas membaca nama yang terbordir di seragamnya. Hanya sekilas. Obrador berharap ia tidak melihat.“Sopir dan ajudan Anda sudah menyiapkan mobil. Saya melihat mereka di sana tadi.” Ayala membuka pintu gedung untuk Obrad
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad