Kuman kali ah pake disteril :))
Ed mengernyit karena Liz dengan ringan menggandeng tangannya saat mereka menaiki tangga teras rumah Esli.“Aku saja atau kau tiba-tiba mudah sekali menyentuhku?” tanya Ed.Ini bukan pertama kali mereka menghadiri pesta atau acara bersama, tapi baru kali ini Liz menggandengnya dengan mesra.“Ada apa denganmu? Kenapa kau sensitif sekali?” Liz kembali bertanya balik.“Kau berbeda sekali setelah kembali. Apa ada sesuatu terjadi?” Liz mungkin terlihat tidak peduli, tapi tentu menyadari kalau Ed yang biasanya akan diam sudah berubah. Ed mungkin mencoba mempertahankan kedataran suaranya, tapi ada ketus yang tercetus beberapa kali. Ini saja sudah berbeda dari Ed yang biasanya.“Tidak ada.” Ed menyudahi kecurigaan Liz. Akhirnya tetap bergandeng tangan memasuki ruang pesta di rumah Esli itu.Pesta itu seperti dulu yang dihadiri Ed dan Ruby, bagian dari kampanye Esli untuk menebar janji dan mencari dukungan. Hanya suasananya sudah berbeda—yang paling jelas adalah pebedaan jumlah tamu.Esli yang
Liz sejak tadi hanya bisa diam karena shock, menatap gaun barunya yang sudah tidak mungkin diperbaiki. “Aku rasa kau membutuhkan air. Apa aku perlu mengantar?” Ed menawarkan dengan ramah, sambil mengulurkan scaf yang juga telah bernoda. Sikapnya sempurna. Tamu yang lain hanya memandang tanpa menghakimi. “Tidak perlu!” Liz dengan kasar menyambar scarf itu dan berbalik. Ia tidak mungkin berani membuat kekacauan saat pesta ayahnya. Liz cukup peduli untuk muncul membantu ayahnya berkampanye, ia peduli dengan kekuasaan—dan mendapat keuntungan—dari ayahnya. Ed tersenyum dan sejenak menyingkir ke sudut yang tidak terlalu ramai. Ia bebas, tapi perhatian banyak orang tertuju padanya. Ed menunggu sampai keadaan tenang, dan tamu yang lain menemukan bahan pembicaraan yang lebih menarik dari sekadar minuman tumpah. Ed memakai waktu itu untuk mencari sasarannya. Sudah terlihat beberapa, tapi Ed ingin mencari yang paling mudah dulu. “Disana.” Ed begumam pelan, dan bergerak dengan langkah santai
“Aku bukan vampire abadi. Tentu akan berubah. Aku bertambah tua,” kata Ed.Sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Ed lupa kapan persisnya, tapi mungkin tiga tahun lalu. Tentu banyak perubahan terjadi.“Wajahmu… Kau memutuskan untuk melakukan operasi.” Mayte memandang bekas luka Ed yang berkurang.Ed tersenyum. Bukan untuk Mayte. Ia tersenyum karena tiba-tiba merasa sejuk, karena teringat kalau Ruby sama sekali tidak membahas wajahnya. Bahkan setelah mereka ‘berdamai’ Ruby tidak sekalipun menyebut keadaan wajahnya. Mayte dan Liz menyebutnya. Mereka tahu wajahnya berubah dan membahas. Mungkin terkesan Ruby tidak memberi perhatian cukup padanya, tapi Ed justru tahu kalau bukan hal itu penyebabnya.Ruby tidak membahas karena menurutnya tidak penting. Wajahnya yang dulu dan sekarang sama saja untuk Ruby. Apa pun bentuknya untuk Ruby tidak berbeda. Ia menerima semua.Seluruh pemikiran itu yang membuat Ed tersenyum. Ed tahu hatinya telah memilih wanita yang tepat.“Aku pikir kau tidak ingin
“Aku hanya mengatakan kenyataan.” Mayte dengan anggun menatap Liz yang tampak memerah murka. Sama sekali tidak merasa bersalah.“Fitnah! Kau jangan sembarangan bicara!” Liz memekik, dan keinginan Ed untuk mendapat ketenangan hangus. Tamu lain yang tadi tidak terlalu tertarik mulai memandang dengan heran, bahkan sengaja datang dari ruangan lain untuk melihat keributan.“Cukup. Kita pergi.” Ed meraih lengan Liz, karena tidak ingin menjadi bahan tontonan. Geram, tapi tidak mungkin melanjutkan rencananya lagi setelah ini.“Tidak! Aku tidak terima!” Liz menepis tangan Ed, dan menunjuk ke arah Mayte.“Kau berani sekali menghinaku di sini! Di rumah ayahku!” bentaknya.“Aku tidak menghina. Semua orang tahu apa yang kau lakukan di belakang Ed.” Mayte menyipitkan mata. Tidak sangat emosi seperti Liz, tapi jelas sudah bertekad untuk tidak mundur.“Kau itu bicara apa?! Aku tidak melakukan apapun!” Liz semakin panik.“May, kau pulanglah.” Ed dengan lega menunjuk Marco yang tampak tergopoh menghamp
“Daddy!” Panggilan ceria yang langsung menghilangkan seluruh kabut dan hujan badai dalam kepala Ed. Mengubahnya menjadi hari cerah berpelangi. “Hai!” Ed mengangkat ponselnya sejajar dengan wajah, dan melihat AJ telah berbaring—bersiap. Ed sama, tapi ia baru saja terbangun setelah tidur gelisah. Perbedaan waktu membuat mereka berada dalam keadaan bertolak belakang. “Daddy, kapan kau kembali? Sudah lama.” AJ merengek. “Sayangnya masih belum tahu. Seingatku ini baru hari ke lima aku pergi. Dan bukankah kau bertanya hal yang sama kemarin?” Ed tersenyum karena pertanyaan itu sudah di dengarnya kemarin, dan kemarinnya lagi. “Iya, tapi berapa lama lagi?” AJ bergumam kecewa. “Secepat mungkin, AJ. Aku sudah berjanji bukan?” bujuk Ed. “Kau sekarang tidur, dan jangan membuat ibumu repot.” Ed memberi isyarat agar AJ berbaring. “Apa kau ingin aku yang membacakan cerita hari ini?” tanya Ed. “Mau! Aku mau!” AJ mengangguk bersemangat. Ed yang sudah menduga jawaban itu telah separuh jalan m
Ed langsung mematikan panggilan itu. Sempat panik, tapi kemudian lega. Liz bertanya siapa, jadi ia tidak tahu. Ed juga ingat ia tidak banyak menyebut nama Ruby saat mereka bicara.“Kau bicara pada siapa?! Kenapa kau memintanya untuk membuka baju?!”Liz melangkah masuk, mnegulangi bentakannya dengan nada lebih tinggi.“Siapa yang memperbolehkan masuk?” tanya Ed. Ada orang yang berjaga di luar, tidak seharusnya Liz bisa masuk sembarangan.“AKU ISTRIMU!” pekik Liz.“Ck!” Ed jengkel. Penjaga itu tentu tahu siapa Liz dan memperbolehkan. Ia lupa menambahkan Liz sebagai orang yang tidak boleh masuk tanpa izin.“Kau belum menjawabku! Siapa wanita itu?! Kau menyuruh siapa untuk membuka baju?!” Liz berusaha meraih ponsel Ed, tapi ditepis dengan mudah, karena tentu Ed sangat waspada.“Siapapun itu bukan urusanmu.” Ed menjawab datar, sambil berjalan melewati Liz. Ia memilih taktik menghindar. Tidak akan mengakui meski tertangkap basah.“Aku istrimu! Kau bermesaraan dengan wanita lain! Aku boleh…”
Esli menyibak selimut, turun dari ranjang, sembari menepuk paha orang yang ada di sampingnya. “Aku akan pergi,” katanya.Rambut amat cepak berwarna amat pirang muncul dari balik selimut, sambil mengusap matanya. Eye shadow berwarna ungu yang masih menempel tampak semakin tercoreng karena sentuhan jari itu.“Hei, tapi aku masih ingin di sini.” Suara berat dan serak—tapi bernada lembut merayu dan melambai, muncul saat bibir yang terpoles lipstik yang juga warna ungu membuka. “Boleh, tapi kau benar-benar tidak boleh keluar dari sini sebelum aku keluar dari hotel. Kau baru bisa pergi sampai aku keluar dari sini. Siang nanti paling tidak.” Esli bicara sambil memakai kembali pakaiannya. Jas dan lainnya, karena semalam ia langsung ke kamar itu setelah menghadari makan malam dengan beberapa pendukungnya. Pengusaha lokal juga pastor yang cukup terpandang dari San Jose Del Castillo. Ia memantapkan dukungan untuk wilayah selatan Guadalajara.Daerah selatan itu selama ini belum sempat ‘disentuh
“Terima kasih atas kehadirannya. Saya tidak akan memberi sambutan panjang lebar, karena saya tidak ingin membuang waktu Anda yang berharga.”Esli membuka sesi orasi dengan simpatik. Itu adalah trademark yang dipakai oleh Esli. Tidak pernah bertele-tele dalam menyampaikan visi dan misinya. Ia memberi contohnya hasil apa yang akan diberikannya saat nanti terpilih.Peserta yang saat ini duduk di hadapannya adalah kumpulan dari ketua asosiasi pengusaha dan pastor. Mereka tidak butuh teknis mendetail tentang rencananya. Asalakan bisa mengambil hati mereka, maka area selatan akan menjadi miliknya. Mereka punya pengaruh cukup kuat di komunitas.Yang ditekankan Esli tentu saja pembaharuan. Di area selatan ada banyak area kumuh, pembangunan untuk merubah wajah kota terdengar sejuk pastinya. Tapi tentu tidak hanya itu, Esli juga mengikutkan perkembangan ekonomi serta perbaikan taraf hidup seperti pada umumnya kampanye.Sesi singkat yang diakhiri tepuk tangan. Lalu ia memberi kesempatan untuk be
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad