Esli menyibak selimut, turun dari ranjang, sembari menepuk paha orang yang ada di sampingnya. “Aku akan pergi,” katanya.Rambut amat cepak berwarna amat pirang muncul dari balik selimut, sambil mengusap matanya. Eye shadow berwarna ungu yang masih menempel tampak semakin tercoreng karena sentuhan jari itu.“Hei, tapi aku masih ingin di sini.” Suara berat dan serak—tapi bernada lembut merayu dan melambai, muncul saat bibir yang terpoles lipstik yang juga warna ungu membuka. “Boleh, tapi kau benar-benar tidak boleh keluar dari sini sebelum aku keluar dari hotel. Kau baru bisa pergi sampai aku keluar dari sini. Siang nanti paling tidak.” Esli bicara sambil memakai kembali pakaiannya. Jas dan lainnya, karena semalam ia langsung ke kamar itu setelah menghadari makan malam dengan beberapa pendukungnya. Pengusaha lokal juga pastor yang cukup terpandang dari San Jose Del Castillo. Ia memantapkan dukungan untuk wilayah selatan Guadalajara.Daerah selatan itu selama ini belum sempat ‘disentuh
“Terima kasih atas kehadirannya. Saya tidak akan memberi sambutan panjang lebar, karena saya tidak ingin membuang waktu Anda yang berharga.”Esli membuka sesi orasi dengan simpatik. Itu adalah trademark yang dipakai oleh Esli. Tidak pernah bertele-tele dalam menyampaikan visi dan misinya. Ia memberi contohnya hasil apa yang akan diberikannya saat nanti terpilih.Peserta yang saat ini duduk di hadapannya adalah kumpulan dari ketua asosiasi pengusaha dan pastor. Mereka tidak butuh teknis mendetail tentang rencananya. Asalakan bisa mengambil hati mereka, maka area selatan akan menjadi miliknya. Mereka punya pengaruh cukup kuat di komunitas.Yang ditekankan Esli tentu saja pembaharuan. Di area selatan ada banyak area kumuh, pembangunan untuk merubah wajah kota terdengar sejuk pastinya. Tapi tentu tidak hanya itu, Esli juga mengikutkan perkembangan ekonomi serta perbaikan taraf hidup seperti pada umumnya kampanye.Sesi singkat yang diakhiri tepuk tangan. Lalu ia memberi kesempatan untuk be
[Sejumlah bukti yang saat ini muncul, sudah menunjukkan kalau kabar yang beredar saat ini adalah benar. Beberapa saksi juga sudah maju untuk menyebutkan kecurangan apa saja yang dilakukan perusahaan itu untuk mengambil alih lahan. Mereka menyebut dengan jelas kalau politikus Esli Ramos terlibat didalamnya.Esli Ramos yang saat ini diunggulkan dalam pemilihan walikota baru, diperkirakan akan menghadapi aneka skandal buruk. Sejauh ini Senor Ramos masih menyangkal, tapi melihat banyaknya bukti, kita akan menunggu apakah pernyataan ini akan berubah]Tangan Esli yang ada di atas lututnya gemetar, bukan takut, tapi marah. Matanya tidak lepas memandang layar kecil yang ada di menempel pada kursi kemudi. Berita yang didengarnya sepanjang perjalanan hanya memperlihatkan kalau keadaanny
Ed berada di taman. Area itu yang dulu dipakai Ed untuk mengadakan pesta pernikahan.Tidak banyak yang berubah, kecuali bertahan beberapa tanaman yang mati diganti, juga keberadaan kursi yang taat ini menjadi tempatnya duduk. Kursi panjang kayu yang menghadap ke arah pantai, berada persis di bawah pohon.Ed sedang menunggu, dan orang yang ditunggunya sudah datang. Otiz tampak mendekat dan berbisik padanya.“Suruh saja langsung ke sini,” kata Ed sambil menumpangkan kakinya. Ia tidak berdiri untuk menyambut, tapi malah mengetukkan jari pada permukaan kursi kayu itu.Usaha untuk menenangkan diri agar tidak terlalu emosional. Ed tidak mau marahnya menjadi berlebihan karena akan membuat keinginannya membunuh muncul. Ia tidak boleh membunuh, sesuai dengan pesan Rub
Liz membuka bungkusan rambutnya yang basah, sementara matanya tidak lepas memandang ponsel. Merasa ada yang aneh, tapi butuh beberapa saat sebelum bisa menebak apa yang membuat ponselnya itu terasa janggal.Liz duduk di ranjang, dan menyambar ponselnya itu setelah sadar. Ponselnya terlalu sunyi. Liz merasa aneh karena selama ia mandi dan sarapan kesiangan tadi, tidak ada satu pun pesan masuk. Ini tidak normal. Ponsel Liz biasanya tidak akan sunyi kecuali mati. Ada saja pesan masuk dari temannya, atau panggilan untuk sekadar bertanya acara apa, atau mau kemana hari ini. Liz menurunkan layar notifikasi dan hanya melihat pesan menumpuk dari ayahnya dan Mendez. Pesan yang sengaja tidak Liz baca tentunya.Ia menghindari ayahnya, karena tahu ia akan mengomel. Liz tidak tahu apakah Ed akan melapor pada ayahnya atau tidak, tapi lebih baik menghindar. Melihat gencarnya pesan dan panggilan tidak terjawab dari ayahnya dan Mendez. Liz bisa menduga kalau Ed mungkin sudah melapor pada ayahnya, a
“Hariku sedang buruk, dan kau memutuskan untuk melakukan ini sekarang?! Apa kau tahu siapa aku?!” bentak Liz. “Maaf, tapi ini peraturannya.” Resepsionis itu kokoh bertahan. “Peraturan apa?! Aku sudah lama dan sering menginap di sini, dan tidak pernah sekalipun hal ini terjadi! Kau saja yang kurang ajar!” Liz berkacak pinggang tidak terima. Resepsionis itu tetap bertahan tapi. “Kami tahu, Senora. Tapi peraturan adalah peraturan. Kami hanya menjalankan tugas. Anda tidak bisa terus tinggal di sini kalau tidak…” “SIALAN!” Liz memaki. Ia ingin segera menyusul teman-temannya, tapi masalah yang ini lebih menyebalkan. “INI!” Liz melemparkan kartu kreditnya ke wajah resepsionis wanita itu. “Ambil dan jangan harap aku akan kembali ke sini lagi! Aku akan memberi review buruk pada hotel ini, dan kau lihat saja! Semua orang akan tahu kalau pelayanan kalian amat buruk!” pekik Liz, sambil menuding. “Maaf.” Resepsionis itu masih berusaha sopan, sambil menunduk mengambil kartu kredit Liz dari l
“Ed!” Liz menyambut dengan haru, saat melihat Ed sendiri yang melangkah masuk ke kantor polisi—bukan Otiz atau siapa pun yang mewakilinya.“Kalian lihat saja! Kalian akan menyesal!” Liz berseru dengan nada penuh kemenangan sambil menunjuk ke arah polisi yang berjaga tidak jauh dari sel. Ia memperlakukannya dengan buruk menurut Liz, hanya karena tidak memenuhi permintaan seperti selimut dan bantal tambahan.Liz yang sejak tadi menyumpah dan memaki pada semua polisi yang membawanya, kini akhirnya bisa tersenyum. Ia girang melihat Ed yang akhirnya peduli. Liz ingin langsung menghampiri Ed, tapi ada jeruji yang menahannya.“Kau tampak sangat sehat. Tidak sesuai dengan bayanganku. Aku pikir kau akan tergeletak di lantai dan hampir mati. Sengsara paling tidak,” kata Ed denga
“Itu tidak mungkin! Tidak mungkin!” Liz menjerit sekuat tenaga, bahkan terlihat ingin membobol jeruji karena ingin melihat dengan lebih jelas, tapi apa yang diperlihatkan Ed sudah jelas. Berita itu tidak bohong. Alasan ayahnya diam dan sama sekali tidak bisa dihubungi adalah itu.“Sudah cukup?” Ed bertanya sambil mengulang video itu lagi. Menikmati saat Liz menjerit tidak percaya.“Begitulah. Aku rasa sekarang kau paham kenapa menyebut ayah sama sekali tidak berguna.” Ed tersenyum melihat Liz menggeleng dan terpuruk di lantai penjara sekarang. Mencengkram kepalanya dengan kedua tangan. Mungkin ingin mengingkari kenyataan tapi tentu tidak mungkin.“Akan ada surat datang untukmu beberapa hari ini. Untuk sementara, silakan menangis di sana. Puaskan diri. Siapa tahu kau bisa mem
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad