“Hariku sedang buruk, dan kau memutuskan untuk melakukan ini sekarang?! Apa kau tahu siapa aku?!” bentak Liz. “Maaf, tapi ini peraturannya.” Resepsionis itu kokoh bertahan. “Peraturan apa?! Aku sudah lama dan sering menginap di sini, dan tidak pernah sekalipun hal ini terjadi! Kau saja yang kurang ajar!” Liz berkacak pinggang tidak terima. Resepsionis itu tetap bertahan tapi. “Kami tahu, Senora. Tapi peraturan adalah peraturan. Kami hanya menjalankan tugas. Anda tidak bisa terus tinggal di sini kalau tidak…” “SIALAN!” Liz memaki. Ia ingin segera menyusul teman-temannya, tapi masalah yang ini lebih menyebalkan. “INI!” Liz melemparkan kartu kreditnya ke wajah resepsionis wanita itu. “Ambil dan jangan harap aku akan kembali ke sini lagi! Aku akan memberi review buruk pada hotel ini, dan kau lihat saja! Semua orang akan tahu kalau pelayanan kalian amat buruk!” pekik Liz, sambil menuding. “Maaf.” Resepsionis itu masih berusaha sopan, sambil menunduk mengambil kartu kredit Liz dari l
“Ed!” Liz menyambut dengan haru, saat melihat Ed sendiri yang melangkah masuk ke kantor polisi—bukan Otiz atau siapa pun yang mewakilinya.“Kalian lihat saja! Kalian akan menyesal!” Liz berseru dengan nada penuh kemenangan sambil menunjuk ke arah polisi yang berjaga tidak jauh dari sel. Ia memperlakukannya dengan buruk menurut Liz, hanya karena tidak memenuhi permintaan seperti selimut dan bantal tambahan.Liz yang sejak tadi menyumpah dan memaki pada semua polisi yang membawanya, kini akhirnya bisa tersenyum. Ia girang melihat Ed yang akhirnya peduli. Liz ingin langsung menghampiri Ed, tapi ada jeruji yang menahannya.“Kau tampak sangat sehat. Tidak sesuai dengan bayanganku. Aku pikir kau akan tergeletak di lantai dan hampir mati. Sengsara paling tidak,” kata Ed denga
“Itu tidak mungkin! Tidak mungkin!” Liz menjerit sekuat tenaga, bahkan terlihat ingin membobol jeruji karena ingin melihat dengan lebih jelas, tapi apa yang diperlihatkan Ed sudah jelas. Berita itu tidak bohong. Alasan ayahnya diam dan sama sekali tidak bisa dihubungi adalah itu.“Sudah cukup?” Ed bertanya sambil mengulang video itu lagi. Menikmati saat Liz menjerit tidak percaya.“Begitulah. Aku rasa sekarang kau paham kenapa menyebut ayah sama sekali tidak berguna.” Ed tersenyum melihat Liz menggeleng dan terpuruk di lantai penjara sekarang. Mencengkram kepalanya dengan kedua tangan. Mungkin ingin mengingkari kenyataan tapi tentu tidak mungkin.“Akan ada surat datang untukmu beberapa hari ini. Untuk sementara, silakan menangis di sana. Puaskan diri. Siapa tahu kau bisa mem
“Mmm…” Ruby meronta semakin panik, dan berusaha kembali mengayunkan lampu, tapi tangannya berhasil ditahan. “Aku mungkin gila, tapi mengayunkan lampu dengan ganas seperti itu membuatmu terlihat semakin seksi.” Bisikan suara rendah berhembus di telinga Ruby. Suara yang tentu saja akrab dan langsung membuat seluruh tubuh Ruby lemas. Jatuh terpuruk begitu tangan itu melepaskannya. “Jangan berteriak, Ruby. AJ akan terbangun.” Ed yang ikut duduk di lantai—di samping Ruby berbisik dengan nada geli, kemudian kembali membungkam bibir Ruby yang memang akan berseru karena marah—kali ini dengan bibirnya. Lumatan basah yang tentu saja menerbangkan sedikit amarah Ruby. “Aku merindukanmu, Cariño.” Ed berbisik sambil membelai pipi Ruby yang perlahan memerah. Selain lega, tentu karena marah. “Kau itu kenapa?!” Ruby melayangkan pukulan bertubi-tubi ke dada Ed—hanya menggunakan tangan tentu, bukan lampu lagi. Ed tertawa tanpa suara dan membiarkan Ruby melampiaskan kejengkelannya. “Maaf, aku tad
Ruby mengusap punggung AJ. Tidak ada bekas luka berarti disana, dan keadaan AJ juga sudah membaik.Ia sempat demam beberapa hari lalu, tapi kata dokter tidak akan menjadi masalah. Yang jelas dokter mengatakan kalau proses observasi kesehatan AJ belum selesai. Masih butuh paling tidak dua sampai tiga minggu sebelum AJ dinyatakan sembuh. Ia juga masih perlu meminum obat pada masa itu.“Mom, geli!” AJ menurunkan kaus yang dipakainya sambil tergelak. Tentu geli karena Ruby terus meraba punggungnya.“Oh, maaf.” Ruby tadi hanya ingin melihat keadaannya, sekarang disambung oleh melamun.“Mommy, kenapa kita ke sini?.” AJ memandang danau dari tempat mereka duduk.“Mmm… Ingin saja.” Alasan palsu dari Ruby.Keberadaan mereka disitu adalah usulan Ed tadi pagi. Setelah bangun dan keluar sebelum AJ bangun, ia meminta Ruby membawa AJ ke dermaga yang ada tidak jauh dari rumah. Katanya ingin memberi kejutan, tapi Ruby tidak bisa membayangkan apa. Ia tidak bisa bertanya lebih jauh, karena Ruby belum s
“Kita kemana?” tanya Ruby.Ia tidak sangat hapal jalan di sekitar bandara Guadalajara, tapi tahu kalau mereka tidak sedang menuju ke Puerto Valarta. Meski tidak ingat betul, tapi Ruby yakin mereka tidak seharusnya melewati area hutan.“Ke pantai!” AJ yang duduk di samping Ibanez—di depan, menyahut.“Belum, AJ.” Ed mengoreksi.“Lho? Kenapa?” AJ naik ke atas kursi dan berbalik ke belakang. Terlepas dari sabuk pengaman.“Duduk kembali, atau aku akan memindahkanmu ke belakang.” Ruby tidak biasanya menegur dengan ancaman, tapi setelah menghadapi perjalanan puluhan jam bersama AJ yang terlalu bersemangat sudah hampir menguras tenaganya.
“Kenangamu disana tidak bisa dikatakan bagus. Aku tidak tahu ternyata kau begitu merindukannya.” Ed menebak alasan Ruby adalah rindu, tapi salah kaprah. Ruby tidak sampai sangat merindukan tempat itu. Banyak hal baik terjadi disana—bersama Ed, tapi tidak sedikit juga hal buruk terjadi disana. Hal buruk yang masih bisa membuat Ruby merinding saat mengingat, terutama berkaitan dengan Mia dan Pedro. “Aku… itu tempatku. Sebagai istrimu,” ujar Ruby, sambil menghindari pandangan Ed Ruby merasa diakui saat tinggal disana. Ed biasa berpindah kesana kemari tapi Puerto Valarta adalah tempatnya pulang. Ruby baru tenang kalau ia dan AJ ada disana, memang memiliki Ed secara utuh. Dengan berada di rumah lain—di tempat lain yang bukan rumah Ed, Ruby merasa tersingkir. Rumah tempat
“Aku hanya ingin tahu,” gumam Mayte. Jelas bohong, karena Lori nyaris tidak bisa mendengar suaranya.“May, kau carilah pria lain. Jangan dengarkan ayahmu, jangan terima perjodohan darinya. Kau cari diluar sana pria yang memang kau cintai. Kau tidak akan bisa melupakan Ed kalau masih bersama pria pemberian ayahmu!” Lori tidak tahan lagi.Ia tahu Mayte kemarin bertunangan karena ayahnya. Pertunangan yang kandas karena pria itu nyaris membunuh Mayte. Berperilaku kasar padahal menikah saja belum. Mayte tidak akan bisa menemukan pria lain kalau ia terus bersama pria sampah yang disodorkan ayahnya.“May.” Lori menjentikkan jarinya di depan wajah Mayte yang tampak melamun.Mayte menggeleng. “Aku tidak menemukannya. Kau tidak mengerti. E
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad